NovelToon NovelToon
Sunday 22.22

Sunday 22.22

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Romantis / Balas Dendam / Cinta Karena Taruhan
Popularitas:1.1k
Nilai: 5
Nama Author: sun. flower. fav

Di tengah keindahan Jogja, proyek seni yang seharusnya menggembirakan berubah menjadi teka-teki penuh bahaya. Bersama teman-temanku, aku terjebak dalam misteri yang melibatkan Roats, sosok misterius, dan gadis bergaun indah yang tiba- tiba muncul meminta tolong.
Setiap sudut kota ini menyimpan rahasia, menguji keberanian dan persahabatan kami. Saat ketegangan memuncak dan pesan-pesan tak terjawab, kami harus menemukan jalan keluar dari labirin emosi dan ketegangan yang mengancam.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sun. flower. fav, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Mr Roats

Mataku enggan berpaling sama sekali, menunggu pesan selanjutnya, balasan dari Eja. Kurang lebih tiga jam aku tiduran di sofa tanpa rasa mengantuk. Kulihat Ebra dan Bhaskara tertidur pulas di lantai, sementara Evan masih sibuk melanjutkan rakitan barunya yang tak kunjung kelar.

Aku tersenyum memandang Evan. Sungguh, tidak ada bosannya memandangi rakitannya yang telah ia kerjakan selama berminggu-minggu. Cowok asal Malang itu punya semangat yang tak pernah padam. Jadi ingat pertama kali kenal dengannya, gara-gara bubuk susu sialan yang kalau diingat-ingat benar-benar bikin malu.

Empat tahun lalu, Evan adalah cowok yang terlebih dahulu kuajak kenalan di hari pertama masuk kuliah. Aku terpaku melihat gambaran abstraknya yang ditempel di papan karya. Aku sering menatapinya, mengamati ekspresi wajahnya saat menggambar. Hal memalukan pertama yang kulakukan pada Evan adalah menumpahkan susu bubuk saset yang kubawa ke atas lukisannya. Aku meminta maaf padanya, mungkin akan menjadi rasa bersalah yang berkelanjutan karena itu lukisan yang luar biasa bagusnya. Tapi saat aku minta maaf, dia malah tersenyum dan bilang, “Nggak masalah, jadi tambah estetik gambaranku,” dengan menggunakan bahasa Jawa khasnya, yang justru tidak semakin membuatku lega, tapi malah merasa bersalah.

Dia orang yang teliti, coretan kesalahan kecil baginya tidak bisa ditoleransi meskipun masih bisa diperbaiki. Sempat aku menanyai mengenai keluarganya, namun dia tidak merespon sedikitpun, sampai sekarang.

"Evan," panggilku sambil melempari kuaci ke arahnya. "Kira-kira si Eja balas lagi nggak ya?" Aku berbicara sendiri, Evan tetap asyik berkegiatan. Jika aku lanjut bertanya, hanya sia-sia suaraku.

Dari Evan, Ebra, dan Bhaskara memang tahu tentang Eja. Aku sempat menceritakannya pada mereka. Aku menceritakan tentang pengecutan Eja bahkan aku blak-blakan bilang kalau aku sering memikirkan kira-kira hal apa yang dilakukan Eja di sana. Kan, benar itu nyatanya.

"Kalau besok si anonim jadi kerja sama kita, kita bakal ke Jogja," ujar Evan tiba-tiba. Mataku melotot, spontan aku berlari melompati dua tubuh yang tergeletak di bawah, mendekati Evan.

"Kita dapat job di Jogja?" Aku mengguncang tubuh Evan meyakinkan ucapannya barusan. Di antara mereka bertiga, tidak ada yang memberitahu kalau klien anonim itu dari Jogja. Evan hanya mengangguk penuh yakin tanpa berpaling dari rakitannya.

Setelah itu, aku berlari ke ruang galeri, kemudian mataku menyusuri semua sudut dan memastikan semua mahakarya tertata rapi. Aku juga menyapu kembali lantai agar benar-benar bersih. Tapi tunggu, aku teringat sesuatu. Kenapa jadi begini? Aku lupa kalau ini tawaran job yang kutolak mentah-mentah tadi. Tubuhku jadi kaku. Bimbang sekali rasanya dipertemukan dua pilihan yang bertolak belakang.

Aku mencoba mengatur napas dan menenangkan diri. Perasaan gelisah mulai merayapi pikiranku. Bagaimana jika ini kesempatan yang tak boleh kulewatkan? Namun, di sisi lain, aku tak ingin mengorbankan prinsip dan nilai yang selama ini kupegang teguh.

"Evan, kamu yakin ini keputusan yang tepat?" tanyaku dengan suara bergetar.

Evan menghentikan pekerjaannya sejenak, menatapku dengan pandangan penuh pengertian. "Kita perlu pekerjaan iki, Liza. Iki bisa membantu kita berkembang lebih jauh. Terkadang kita harus membuat keputusan sulit untuk mencapai tujuan besar."

Kata-katanya membuatku merenung sejenak. Memang, situasi ini tidak mudah, tetapi mungkin ini adalah ujian yang harus kami lalui. Dengan tekad yang perlahan tumbuh, aku mengangguk pelan, mencoba meyakinkan diriku sendiri.

"Okelah, kita akan coba," kataku akhirnya, meskipun hatiku masih diliputi kebimbangan. "Tapi kita harus tetap menjaga integritas kita. Kita tidak boleh melanggar prinsip yang kita pegang."

Evan tersenyum, "Iyo, Liza. Kita akan hadapi ini bersama. Dan siapa tahu, mungkin ini adalah langkah awal untuk hal-hal besar yang akan datang."

Dengan semangat yang baru, aku kembali ke sofa, menatap handphone yang masih diam di lantai. Aku masih menunggu balasan dari Eja, tetapi setidaknya sekarang, ada sedikit harapan yang menyelinap di hatiku. Mungkin, hanya mungkin, semua ini akan membawa perubahan yang lebih baik dalam hidupku.

***

Pagi-pagi tubuhku terasa lebih produktif dari biasanya. Biasanya, aku terbangun sekitar jam 06.00 pagi, tapi hari ini, sebelum adzan subuh berkumandang, mataku sudah mendadak segar. Sebenarnya, semalam tidak se-nyenyak malam-malam biasanya. Aku lebih memilih memejamkan mata, namun hati dan otakku terus berbisik, saling beradu argumen. Pikiran tentang Eja dan pesan-pesan dari Evan seolah berputar tanpa henti di kepalaku. Mungkin, jika Evan tidak terjaga semalam dengan kesibukannya, aku bisa tidur lebih nyenyak. Bisa jadi, Evan dengan semangat dan dedikasinya adalah alasan kenapa aku enggan untuk terlelap sepenuhnya, membuatku terusik dan terpacu oleh semangatnya yang tak kenal lelah.

Kini, kita berempat duduk bersama di ruang tamu, masing-masing menyibukkan diri sembari menunggu tamu anonim itu datang. Evan masih sibuk menggarap rakitannya dengan penuh konsentrasi. Bhaskara dan Ebra duduk santai di sofa, asyik memainkan handphone mereka. Sementara itu, aku duduk tegak di kursi, memutar bola mata berkali-kali, sesekali melirik jarum jam dinding yang terus berputar. Tapi, setelah kupikir-pikir, kenapa aku yang paling tegang di sini? Rasanya, ketegangan ini hanya milikku sendiri, sementara yang lain tampak begitu santai.

"Bhaskara," panggilku pada Bhaskara. Namun, semua malah ikut menoleh menatapku. "Aku boleh minta dimasakin, nggak?" kataku memelas. Aku selalu merasa lapar jika pikiranku kacau, apalagi sejak semalam aku sibuk mencerna suasana dan memikirkan banyak hal yang bikin pusing.

Bhaskara tersenyum. "Laper?" tanyanya, lalu meletakkan handphonenya ke atas meja. Aku mengangguk tanpa sungkan. Siapa lagi yang harus kumintai tolong kalau bukan Bhaskara? Dia paling jago masak di antara kita berempat dan juga paling perhatian, meskipun tidak terlalu suka bersuara. Masakannya selalu berhasil membuatku merasa lebih baik.

Seperti biasa, tanpa penolakan pula, Baskara langsung menuju dapur atelier. Tentu saja, Ebra dan Evan juga ikut meminta dimasakan.

"Kamu cewek, sesekali minta Baskara ajarin masak sana," ucap Evan duduk di sebelahku. Akhirnya cowok ini lepas dari pekerjaannya.

"Bisa masak kok aku, salad," jawabku membela diri.

"Bukan masak itu, salad kan gak usah dimasak," Evan mengolokku. Sempat kulirik Ebra sebentar, ternyata dia masih fokus main handphone. Kalau tidak, dia pasti ikut mengejekku.

"Aku gak suka masak," tukasku galak pada Evan. Memang benar, dari dulu aku tidak suka memasak. Aku hanya bersemangat membantu ibu jika membuat salad, selain itu aku mundur.

"Kan tresno jalaran saka kulino, biasain dulu lama-lama ya mesti suka," ujar Evan sok menceramahiku. Belum sempat aku membalas ucapannya, dia keburu kembali ke rakitannya dan, ternyata dia cuma mau duduk merendahkan badan sebentar sambil merecokiku.

Aku menarik napas dalam-dalam, berusaha mengabaikan ocehan Evan. Suara panci dan wajan yang beradu dari dapur menandakan Baskara sedang sibuk memasak. Aku berharap makanan yang dimasaknya bisa sedikit menenangkan pikiranku yang sedang kacau. Kulihat lagi ke arah Evan yang kini serius dengan rakitannya, tangannya cekatan merakit potongan-potongan kecil menjadi satu kesatuan yang utuh. Betapa kontrasnya suasana hati kami berdua saat ini. Sementara itu, Ebra sesekali melirik kami dari balik layar handphonenya, senyum tipis mengembang di bibirnya, mungkin dia menikmati drama kecil ini.

Aku menghela napas lagi, kali ini dengan sedikit senyuman. Mungkin memang benar apa yang dikatakan Evan, aku hanya perlu membiasakan diri. Tapi untuk saat ini, biarlah Baskara yang jadi koki kami.

"Ebra, udah ada kabar belum dari si anonim?” tanyaku dengan nada kesal pada Ebra. Pagi-pagi mood-ku sudah dirusak Evan, mana belum sarapan pula. Namun, sebelum Ebra sempat menjawab pertanyaanku, dua mobil hitam datang dan parkir di depan atelier, terlihat dari monitor CCTV. Seketika itu, Ebra dan Evan langsung bangkit dari tempat duduk mereka. Jantungku berdetak lebih cepat, rasa tegang mulai merayap.

"Apa itu mereka?" gumamku, suaraku nyaris berbisik. Evan dan Ebra saling pandang sejenak, kemudian menatapku dengan raut serius.

"Sepertinya iya," kata Evan, nadanya lebih tegang dari biasanya. Baskara, yang mendengar suara mobil dari dapur, juga segera bergabung dengan kami di ruang santai, wajahnya penuh perhatian.

Kami bertiga berdiri diam, mata terpaku pada layar CCTV. Pintu mobil terbuka perlahan, beberapa pria berjas keluar dan melihat sekeliling dengan waspada. Suasana di dalam atelier mendadak sunyi, hanya terdengar detak jarum jam yang semakin menambah ketegangan.

Ebra dan Evan akhirnya pergi ke pintu utama untuk bersiap menyambut, aku membuntuti mereka, namun beberapa langkah kemudian, tanganku ditahan oleh Baskara dari belakang.

"Jangan ikut, di sini saja," ujarnya sambil menunjukkan sepiring nasi goreng buatannya.

"Katanya lapar," lanjutnya, lalu memaksa aku untuk kembali duduk di sofa.

Aku menggeliat tak sabar. "Tapi aku ingin ke sana," rengekku, namun hanya mendapat gelengan dingin dari Baskara.

"Nurut," tegasnya, dengan nada yang tak terbendung, lalu pergi menyusul Evan dan Ebra. Rasa kesal yang memuncak merasuki diriku, aku juga bagian dari aliater tapi dilarang ikut menyambut tamu.

Bergegas tanganku meraih remote dan meningkatkan volume monitor CCTV di seluruh ruangan aliater. Kulihat mereka saling bertatapan, ternyata tamu itu sama tingginya dengan para temanku. Padahal, aku membayangkan mereka pasti sangat tinggi saat turun dari mobil tadi. Tiba-tiba, adrenalin dalam diriku mulai memanas, menunggu momen ketegangan yang semakin dekat.

***

"Saya Roats, akun anonim yang mengirim pesan pada kalian," ucap pria berjas abu-abu itu, memandang tajam ke arah Ebra yang berdiri paling depan. Ebra menerima sapaannya dengan serius.

"Uh, nggak jelas suaranya kalau dari CCTV," gerutuku kesal, lalu  berlari mengendap-endap ke belakang etalase besar di ruang galeri untuk mengintip dan menguping perbincangan mereka.

“Seperti yang kita sepakati, DP-nya sudah masuk, ya," ujar Roats, suaranya tenang.

Alisku berkerut, heran. Mengapa harus seramai  itu untuk sekadar membahas kesepakatan? Kalau dalam novel, biasanya seperti ini adalah geng motor atau gangster. Tapi mereka datang dengan mobil dan uangnya juga banyak. Apa mungkin mereka itu mafia?

Roats berjalan pelan mengelilingi galeri, memeriksa karya kami satu per satu. Dia menyentuhnya, merasakan teksturnya, meneliti keasliannya. Dia bahkan menyentuh patung-patung yang telah dibuat oleh Ebra dan Baskara. Terakhir, dia menatap lama patung kecil buatanku, patung pertama yang pernah kubuat, dan tidak ada lagi setelah itu.

“Aku akan menfasilitasi kalian dengan baik di Jogja nanti. Gedung tingkat 2 yang akan kalian tempati nantinya. Mau kalian buat galeri, ruang tamu, atau bahkan rumah, gedung itu lebih dari cukup," jelas Roats sambil membolak-balikkan patung kecil milikku.

“Kami hanya akan sebentar di sana, jika selesai semua, kita pergi,” timpal Ebra.

Roats menyeringai tipis lalu meletakkan patung kecil yang sedari tadi dia pegang, “Sejujurnya, saya tidak ingin wanitaku dilukis oleh pria lain,” ucap Roats, membuat Ebra, Baskara, dan Evan terheran.

Aku melihat Roats dari kejauhan dan mulai curiga. Dari penampilannya, senyumnya, cara bicaranya, bahkan orang-orang yang mengikutinya, pasti Roats bukan orang sembarangan.

“Aku yang akan memotret, melukis, dan membuat patung pacarmu,” sahutku, muncul dari kejauhan. Kali ini, mataku dan mata Roats saling beradu. Ujung mataku menangkap tatapan khawatir Ebra, Baskara, dan Evan. Mereka pasti takut terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.

“Oh, ternyata ada perempuan di antara kalian, atau mungkin ada perempuan lain yang belum muncul,” kata Roats, mendekat.

“Kami hanya berempat,” jawabku dingin.

Roats tersenyum dan mendekat padaku. Pria ini berhasil menakutiku. Spontan, tangan Ebra menggertak pundak Roats dari belakang, “Cukup bilang setuju atau tidak,” ucap Ebra tegas. Mata Ebra sedikit memerah, aku mengenal wajah kemarahannya itu.

Lagi-lagi Roats menyeringai, melototkan mata ke arahku.

“Kamu yakin mengerjakannya sendiri, cantik,” ucap Roats, tangan kanannya menyentuh daguku, membuat bulu kudukku merinding. Terutama setelah sugestiku bahwa Roats mungkin adalah mafia, sentuhan itu hampir membuatku hampir terbunuh.

Dengan sigap, Baskara menyibakkan tangan Roats dan menarikku menyembunyikanku di balik tubuh kekarnya. “Ya atau tidak,” tegas Baskara, tatapannya tajam menatap mata Roats.

Lalu salah satu awak Roats maju dan menyodorkan selembar kartu alamat pada Baskara.

“Sampai bertemu besok,” ucap Roats, menutup pertemuan. Dia dan delapan awaknya pergi. Para temanku mendengus kasar, tapi aku hanya terdiam menahan sesak.

“Sudah baik di dalam tadi,” bentak Ebra dengan suara sendu, pasca mengacak-acak rambutnya frustasi. “Kamu lihat sendiri tindakan Roats dan orang-orangnya tadi, Eliza. Bahaya buat kamu,” lanjutnya, memarahi.

“Kan ini bisnis bersama, aku juga harus ikut. Seandainya aku gak muncul tadi, dia gak akan yakin,” timpalku membela diri.

“Kamu gak perlu muncul. Kita bisa merekomendasikan kamu tanpa harus muncul kayak   tadi,” tambah Baskara dengan lembut, turut memarahi.

“kalau kamu gitu lagi, aku biarin kamu dibawa Roats, biar jadi korban selanjutnya, dilukis tanpa busana,” ujar Evan, masuk ke dalam.

Sialan, semuanya memarahiku, padahal yang tadi kulakukan itu secara spontan, aku juga berusaha menahannya.

“Sudah, makan dulu,” ajak Baskara, membawaku ke dalam. Aku sudah tidak bisa berkata apapun, tidak bisa menyalahkan juga karena aku tahu mereka pasti khawatir.

***

1
pausberkuda
semangattt🫶👏👏
Azzah Nabilah: weeehhhhh🥲
total 1 replies
ׅ꯱ƙׁׅᨮׁׅ֮ᥣׁׅ֪ꪱׁׁׁׅׅׅꭈׁׅɑׁׅ ηα
kerja bagus ija
Azzah Nabilah
jangan lupa ikuti kisan Eliza dan eja ya
Ohara Shinosuke
Semangat terus thor, aku yakin ceritamu akan menjadi luar biasa!
boing fortificado
Yang bikin author sebisanya aja ya, pengen lanjutin ceritanya.
Min meow
Tidak ada yang kurang.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!