NovelToon NovelToon
Teluk Narmada

Teluk Narmada

Status: tamat
Genre:Tamat / Teen Angst / Teen School/College / Diam-Diam Cinta / Masalah Pertumbuhan / Keluarga / Persahabatan
Popularitas:3.3k
Nilai: 5
Nama Author: Chira Amaive

Angin pagi selalu dingin. Ia bergerak. Menerbangkan apa pun yang sekiranya mampu tuk diterbangkan. Tampak sederhana. Namun ia juga menerbangkan sesuatu yang kuanggap kiprah memori. Di mana ia menerbangkan debu-debu di atas teras. Tempat di mana Yoru sering menapak, atau lebih tepatnya disebabkan tapak Yoru sendiri. Sebab lelaki nakal itu malas sekali memakai alas kaki. Tak ada kapoknya meskipun beberapa kali benda tak diinginkan melukainya, seperti pecahan kaca, duri hingga paku berkarat. Mengingatnya sudah membuatku merasakan perih itu.

Ini kisahku tentangku, dengan seorang lelaki nakal. Aku mendapatkan begitu banyak pelajaran darinya yang hidup tanpa kasih sayang. Juga diasingkan keluarganya. Dialah Yoru, lelaki aneh yang memberikanku enam cangkang kerang yang besar.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chira Amaive, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 8

Siang yang terik. Fara terlihat berlari-lari mengejar ayam-ayam kampung yang berkeliaran di pekarangan rumahnya. Fahim tidak di rumah. Ia bermain di kebun bersama teman-temannya seperti biasa. Usai sarapan bersama di rumahku dan berbincang mengenai beberapa hal, aku mengikuti bibi untuk ke rumahnya. Demi mengisi libur hari mingguku yang awalnya berencana ingin kuisi dengan rebahan seharian.

Debu-debu berterbangan sebab pergerakan lincah dari Fara. Anak berusia 5 tahun itu benar-benar aktif. Padahal, cuaca sedang terik-teriknya. Bibi sedang ke luar. Ia ingin ke rumah temannya sebentar. Orang yang berbeda dari waktu itu, namun kali ini aku enggan untuk ikut lagi. Teringat tragedi waktu itu.

Berbicara tentang Yoru. Kami tak bertemu dengannya ketika ke luar untuk berangkat ke rumah bibi. Ia sudah tak terlihat di depan pagar rumahku. Mungkin dia sedang menjelajah ke tempat yang lebih jauh lagi. Bisa jadi, seluruh bagian desa sudah ditelusurinya.

Gubrakkk...

Fara tersandung dan jatuh berdebam menghantam tanah kering itu. Seketika membuat debu-debu berterbangan makin banyak. Langkah cepatku segera meraih tubuh mungilnya. Tangisannya kencang sekali.

"Aduh, nggak apa-apa, Fara. Lain kali, hati-hati kalau lari. Kak Cine kan sering bilang gitu ke kamu. Kalau lari itu lihat-lihat jalan," ujarku lembut kepada Fara.

Tanpa sadar, kudapati seseorang berjalan ke arah kami. Ia menyodorkan sebuah plester. Aku menerimanya begitu saja dengan perasaan bingung. Kemudian ia berlalu tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

"Hei, Yoru!" panggilku.

Orang yang dipanggil itu malah terus berjalan tanpa berhenti apalagi menoleh. Panggilanku dianggap angin lalu. Namun, ada hal mengejutkan yang ia lakukan sebelum pergi. Tiba-tiba, seekor ayam yang melintas di depannya langsung ia tangkap. Setelah itu pandangannya menoleh ke arahku berada.

"Ayam panggang enak!" serunya yang dilanjutkan dengan menatap depan lagi sambil berjalan.

"HEI! Itu ayam bibi!" jeritku. "Fara, tunggu di dalam, ya. Kak Cine mau kejar orang itu dulu."

Fara hanya mengangguk dan melupakan lututnya yang terluka. Aku bahkan belum sempat menempelkan plester itu.

"Berhenti, YORU!"

Lelaki nakal itu berlari kencang sekali sambil menggendong ayam kampung betina milik bibi.

Terlihat beberapa tetangga bibi yang melihat kami kejar-kejaran. Aku tak mau meneriakinya maling. Karena takut menimbulkan kemarahan warga dan membuatku turut dikejar massa. Cukup saja ini menjadi tanggung jawabku. Walaupun sebenarnya aku tetap khawatir karena dalam gendongannya ada seekor ayam. Tapi, sejauh ini tidak ada pergerakan warga sekitar.

"Ada apa, Nak?" tanya seseorang yang duduk di depan pintu rumahnya.

Pertanyaan yang membuatku memelankan lariku untuk menjawab.

"Ini, Bu. Dia nakal, jadi aku mau membalasnya," jawabku.

Aku melesat cepat sebelum ibu-ibu itu kembali bertanya. Tak apa. Semoga tak ada yang turut mengejar Yoru.

Lelaki itu benar-benar pelari yang cepat. Aku sudah tertinggal semakin jauh. Sampai pada akhirnya, raganya tidak terlihat lagi. "Aduh, bagaimana ini. Itu ayam bibi. Bagaimana jika dia benar-benar memanggangnya?"

"Loh, Cine. Kok kamu ada di sini. Fara kamu tinggalin di rumah?"

Di tengah rasa lelahku, malah bertemu dengan bibi.

"Fara ada di rumah. Aku harus melakukan sesuatu dulu, Bi. Maaf, tunggu aku kembali," jawabku yang langsung lanjut berlari.

"CINE!" panggil bibi, namun aku tetap lanjut berlari.

Dasar Yoru yang merepotkan.

❀❀❀

"Rupanya kamu di sini. Sudah kuduga."

Suara merdu air sungai yang jernih mengalir. Di ujungnya terdapat air terjun kecil yang biasa dijadikan prosotan oleh orang-orang yang mandi. Sungai merupakan tempat yang cocok untuk memanggang ayam. Benar saja. Di sela rasa pasrahku yang tidak menemukan keberadaan Yoru, pikiranku mengarah ke sungai. Benar saja. Ia sedang berenang di sini.

Kemeja lusuh dan kusut yang selalu ia kenakan itu sedang terjemur di bawah terik dalam keadaan. Basah. Mungkinkah seperti itu caranya sehingga setiap hari selau mengetakan itu?

"YORU! Mana ayam bibi?" tanyaku tegas.

Ia seolah tak melihat kehadiran seseorang. Apalagi seseorang yang sedari tadi mengejarnya. Atau mungkin, dia memang berlari bukan karena dikejar. Melainkan agar cepat ke tempat ini untuk berendam.

"YORU!"

Kini aku sudah benar-benar geram. Aku memungut sebuah krikil kecil dan melemparkan batu itu ke arahnya. Tidak mempan. Ia masih asik berenang ke sana ke mari. Andai saja aku bisa masuk ke sungai. Sudah kutendang perutnya. Tapi, aku tidak mau basah-basahan.

"Hei, teman. Air sungai ini sangat segar," ujar Yoru.

Ucapan yang membuatku semakin naik darah karena pertanyaanku tidak dijawab.

"Mana ayamnya, Yoru?"

"Ayam panggang enak." Yoru menjawab.

Di sela rasa murka, aku mengelilingi tepi sungai dan mencari ayam bibi. Karena ada kemeja Yoru yang dijemur, aku berpikir bahwa mungkin ayamnya disembunyikan di sekitar sana.

"Menyingkir dari sana!" tegas Yoru ke arahku.

Aku segera mundur beberapa langkah karena terkejut.

"Jangan sentuh kemeja jelek itu! Kau sama jeleknya!" ketus Yoru.

"Hah? Dasar nggak jelas. Ayam bibiku mana, woy!"

Lagi-lagi dia terdiam dan lanjut berenang. Rasa geram menggelutiku, geram sekali.

"MANA, YORU? Kenapa kamu menyebalkan sekali? Cowok aneh!"

Tentu saja, ia hanya seperti mendengar angin lalu.

Kesabaranku sudah habis. Akhirnya, aku menarik kemeja lusuh Yoru dan membantingnya ke tanah. Melihat itu, ia langsung ke luar dari sungai dan memungut kemejanya. Sorot matanya tampak sedih. Namun langsung berubah murka ketika melihat ke arahku. Aku ketakutan dan mundur beberapa langkah. Ia maju. Semakin mendekat dan tanpa kusangka ia malah mencekikku.

"Yoru, hentikan!" pintaku pasrah yang kini kesulitan bernapas.

Cengkramannya kuat sekali. Aku sudah sekuat tenaga ingin melepasnya, namun gagal.

"Yoru, aku bisa mati," lirihku lemah.

"Tanganmu sudah menodai kemejaku!"

"WOY!"

Terdengar suara beberapa orang lelaki yang berlari ke arah kami. Yoru tak langsung melepas cengkramannya hingga orang-orang yang datang itu menarik tangan Yoru untuk melepaskanku.

Tanpa ampun, 3 pemuda yang seperti berusia 20 an tahun itu mendorong Yoru hingga jatuh. Salah satunya maju dan menginjak perut Yoru yang masih terbaring.

"JANGAN!" jeritku dengan sisa suara.

Pemuda lainnya maju dan menarik lengan Yoru untuk membuatnya berdiri. Lalu Yoru ditampar dengan sangat keras.

Aku tak pernah melihat Yoru semarah itu. Apakah itu karena kemeja lusuh itu merupakan barang berharga yang ia miliki? Mungkin saja kemeja itu memiliki kenangan tersendiri sehingga membuatnya mencekikku. Ia hanya ingin melindungi sesuatu yang berharga miliknya.

Tak tega melihat Yoru dipukul, akhirnya aku maju dan merentangkan tangan di depan Yoru.

"Cukup. Aku tidak suka melihat kekerasan. Kalian mau berenang di sungai, 'kan. Silakan. Biarkan Yoru pergi. Dia sudah cukup mendapatkan pelajaran dari kalian.

"Tapi dia hampir membunuhmu, gadis kecil," ujar salah satu dari mereka.

"Iya, tapi sekarang aku masih hidup, bukan?"

"Awas aja kalau berani nyakitin dia lagi!" ancam pemuda itu.

Mereka bertiga langsung nyebur ke sungai.

Pelipis Yoru berdarah. Lagi-lagi, ia tak pernah lepas dari luka. Selalu saja.

"Ini, aku kembalikan," ucapku sambil menyerahkan kembali plester yang ia berikan kepadaku. "Aku akan bilang ayamnya dicuri tanpa menyebut namamu. Makan saja ayam itu. Anggap sedekah dariku. Aku yang akan membayarnya. Kupastikan itu halal untukmu."

1
_capt.sonyn°°
ceritanya sangat menarik, pemilihan kata dan penyampaian cerita yang begitu harmonis...anda penulis hebat, saya berharap cerita ini dapat anda lanjutkan. sungguh sangat menginspirasi....semangat untuk membuat karya karya yang luar biasa nantinya
Chira Amaive: Thank you❤❤❤
total 1 replies
Dian Dian
mengingatkan Q sm novel semasa remaja dulu
Chira Amaive: Nostalgia dulu❤
total 1 replies
Fie_Hau
langsung mewek baca part terakhir ini 😭
cerita ini mengingatkan q dg teman SD q yg yatim piatu, yg selalu kasih q hadiah jaman itu... dia diusir karna dianggap mencuri (q percaya itu bukan dia),,
bertahun2 gk tau kabarnya,,, finally dia kembali menepati janjinya yg bakal nemuin q 10 tahun LG😭, kita sama2 lg nyusun skripsi waktu itu, kaget, seneng, haru..karna ternyata dia baik2 saja....
dia berjuang menghidupi dirinya sendiri sampai lulus S2,, masyaAllah sekarang sudah jd pak dosen....

lah kok jadi curhat 🤣🤦
Chira Amaive: keren kak. bisa mirip gitu sama ceritanya😭
Chira Amaive: Ya Allah😭😭
total 2 replies
Iif Rubae'ah Teh Iif
padahal ceritanya bagus sekali... ko udah tamat aza
Iif Rubae'ah Teh Iif
kenapa cerita seperti ini sepi komentar... padahal bagus lho
Chira Amaive: Thank youuuu🥰🤗
total 1 replies
Fie_Hau
the first part yg bikin penasaran.... karya sebagus ini harusnya si bnyak yg baca....
q kasih jempol 👍 n gift deh biar semangat nulisnya 💪💪💪
Chira Amaive: aaaa thank you🥰
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!