Lastri selalu di injak harga dirinya oleh keluarga sang suami. Lastri yang hanya seorang wanita kampung selalu menurut apa kata suami dan para saudaranya serta ibu mertuanya.
Wanita yang selalu melayani keluarga itu sudah seperti pembantu bagi mereka, dan di cerai ketika sang suami menemukan penggantinya yang jauh berbeda dari Lastri.
Namun suatu hari Lastri merasa tidak tahan lagi dan akhir mulai berontak setelah ia bercerai dengan sang suami.
Bagaimana cara Lastri membalas mereka?
Yuk simak kisahnya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LaQuin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2. Tukang Ngadu
Bab 2. Tukang Ngadu
POV Lastri
"LASTRI! LASTRI! DIMANA KAMU?!"
Diah dan aku terkejut mendengar teriakan Ibu mertua yang berjalan masuk ke dalam rumah. Aku tahu alasan Ibu mertua yang terdengar marah memanggil seperti itu. Sudah pasti Mas Hendra menceritakan perdebatan kami pagi ini padanya.
Aku membuang napas kasar. Lalu meletakkan piring yang separuh isinya sudah di makan oleh Diah.
"Diah masih mau makan lagi?" Tanya ku pada anakku dengan lembut.
Diah mengangguk.
"Diah bisa makan sendiri? Ibu mau menemui nenek dulu."
"Bisa Bu."
Aku tersenyum. Lalu meletakkan piring itu di pangkuan Diah. Padahal aku masih ingin menemani putriku yang baru saja terlihat nyaman badannya. Tapi teriakan Ibu mertua pun tidak bisa aku abaikan karena jika ia sampai melihat aku menyuapi Diah, maka Diah juga akan menjadi sasaran kemarahannya.
Aku tidak ingin anakku di marahi. Padahal Diah juga cucunya, tapi perlakukan ibu mertua sungguh berbeda terhadap Diah dari dua cucunya yang lain yaitu, Dion dan Marla.
Diah pun sepertinya takut akan kedatangan neneknya. Dan ia pun pasti tahu neneknya akan marah bila melihat aku menyuapi dirinya. Karena itu, meski baru merasakan nyaman di tubuhnya, ia menyelesaikan makannya sendiri.
Kasihan anakku. Di usia yang baru menginjak 5 tahun ia sudah menerima perlakukan tidak nyaman dari nenek dan Ayahnya sendiri. Belum lagi Nilam, adik Mas Hendra serta mbak Tatik, kakak Mas Hendra yang juga tidak peduli dengan Diah padahal keponakan mereka juga.
Entah apa salah Diah hingga harus menerima perlakuan buruk dari keluarga suamiku. Padahal Diah juga darah daging mereka. Kalau pun mereka membenci ku karena aku orang asing, itu mungkin saja. Tapi ini Diah, Diah yang merupakan anak kandung Mas Hendra pun mereka tetap tidak menyukainya. Hatiku sakit...
Ku usap lembut pucuk kepala anakku sebelum meninggalkan dan beranjak menemui ibu mertua. Setelah itu baru lah aku membuka pintu kamar dan mendapati ibu mertua yang berada di depan pintu kamarku.
"Ada apa Bu? Kenapa Ibu teriak-teriak?"
Tanyaku pura-pura tidak tahu. Aku yakin pasti sebentar lagi ibu mertua memarahi ku yang meminta uang kepada Mas Hendra.
"Kamu ini, ngapain kamu minta uang sama Hendra? Apa tidak cukup uang bulanan yang Hendra kasih hah?!"
Benar kan apa tebakan ku? Benar-benar Mas Hendra tukang ngadu.
"Bu, Diah sakit. Aku hanya minta uang untuk berobat Diah. Apa itu salah?"
"Ya jelas salah. Harusnya uang bulanan itu cukup untuk di pakai berobat juga. Apalagi kalian cuma makan bertiga. Benar-benar tidak becus kamu mengatur pengeluaran!"
"Mas Hendra cuma ngasi aku uang bulanan 700 ribu Bu, dan itu untuk semua keperluan...."
"Halah, jawab saja kamu!"
Lagi-lagi ucapanku di sela tanpa aku bisa menjelaskan keadaan kami.
"700 ribu itu banyak! Kamu saja yang tidak bisa mengaturnya. Kan bisa kalian makan dua hari sekali saja, dan tidak perlu makan ayam dan daging setiap hari."
Haaah? Makan ayam dan daging setiap hari? Apa aku tidak salah dengar?! Lauk telur saja sudah mewah bagi anakku yang setiap hari hanya makan tempe dan tahu. Dengan bahan pokok yang serba mahal di sini, uang segitu tidak akan cukup untuk kebutuhan kami sebulan yang juga menanggung tuyul kepala hitam.
Ku katakan tuyul kepala hitam karena bahan makan di rumahku yang sering hilang, juga ponakan mas Hendra yang kerap kali minta makan kesini. Heran saja, kenapa sampai Dion dan Marla si kembar itu bisa kelaparan. Padahal tampilan ibu dan bapak mereka bak orang sosialita, alias mewah.
"Bu, kami disini hanya makan lauk tempe dan tahu, Hanya Mas Hendra yang makan telur dan terkadang lauk ikan."
"Ya bagus lah! Hendra memang harus di perhatikan gizinya karena dia yang berkerja dan mencari nafkah di rumah ini. Anakku itu jangan sampai sakit! Pokoknya jangan lagi meminta uang gara-gara hal sepele. Gitu saja kamu mau buat susah suamimu yang bekerja keras di luar sana!"
Ya Tuhan, hal sepele katakan menyangkut nyawa anakku yang merupakan cucunya sendiri. Sungguh hati ku sakit mendengar ucapan ibu mertua. Apapun pembelaanku tetap saja selalu salah di matanya.
Aku terdiam dan hanya menunduk mendengar semua amarah ibu mertua ku yang katanya nasehat demi kebaikan diriku yang nyatakan untuk kebaikan mereka.
Bukan aku tidak tahu Mas Hendra selalu membagi gajinya untuk Ibu dan Nilam. Juga terkadang memanjakan anak mbak Tatik dengan membelikan mereka mainan.
Aku tidak masalah Mas Hendra juga membagi gajinya untuk ibu mertua. Karena beliau orang tua yang melahirkan Mas Hendra. Tapi aku kecewa atas sikap Mas Hendra yang tidak berlaku adil atas pembagian itu.
Yang ku tahu gaji Mas Hendra sebulan adalah 4 juta rupiah sesuai UMR. Namun aku hanya di beri 700 ribu rupiah yang tadinya 1 juta oleh Mas Hendra. Jatah bulanan ku di potong 50 ribu setiap bulannya. Alasannya selalu karena kebutuhan kami tidak banyak, hanya makan bertiga saja.
Mas Hendra mengatakan, kalau uang 1 juta dari gajinya berikan kepada ibu mertua, dan satu lagi ia berikan untuk Nilam yang masih kuliah untuk biaya sekolahnya. Lalu Mas Hendra sendiri memegang sisanya.
Padahal ada mbak Tatik yang suaminya seorang PNS. Apa dia tidak bisa bantu sedikit biaya sekolah Nilam? Kenapa semua biaya harus di tanggung oleh Mas Hendra? Kembali hatiku sakit mengingat mereka semua. Aku kecewa pada Mas Hendra dan keluarganya.
"Cepat bersihkan rumah ku! Jangan banyak alesan kamu, dasar pemalas!"
Ibu mertua menatap sinis kepadaku. Lalu berlenggang pergi meninggalkan rumah ku setelah puas mengeluarkan isi hatinya.
Dan lagi aku hanya bisa menahan sesak di dada, sakit hati atas semua ucapan ibu mertua.
Aku menemui Diah, anakku itu kembali tertidur setelah makanan dan minumannya habis. Kurasa kembali suhu tubuhnya di kening. Benar-benar tidak panas lagi. Syukurlah...
Ku balurkan lagi parutan bawang dan daun kembang sepatu pada punggung dan kepala Diah. Memastikan anakku tertidur dengan nyaman, baru lah aku pergi kerumah ibu mertua dan hanya merapatkan pintu rumah saja.
Tidak banyak perabot dalam rumahku. Hanya kursi kayu tua dan lemari usang yang terpanjang di ruang tamu. Meja makan seadanya serta rak piring saja yang ada di dapur, beserta kompor tentunya.
Aku melangkah menuju rumah ibu mertua. Aku harus segera membereskan pekerjaan disana dan segera pulang ke rumah ku untuk merawat Diah lagi.
"Assalamualaikum..."
Ku ucapkan salam di depan pintu sebelum masuk ke rumah ibu mertua. Sepertinya Mas Hendra sudah berangkat kerja karena motornya sudah tidak ada lagi di halaman ini.
Ada Nilam yang sedang duduk menonton televisi. Ia cuek tidak menoleh apalagi menjawab salamku meski aku kakak iparnya. Ku abaikan saja dia karena aku pun ingin segera menyelesaikan pekerjaanku.
Sebaiknya aku mulai mencuci pakaian saja, karena sepertinya ibu mertua baru akan mulai memasak di dapur. Tentunya setelah masak, aku juga yang akan membereskan semua. Jangan harap anak bungsu alias adik Mas Hendra itu turut membantuku. Yang ada aku malah di minta ganti rugi karena kuku lancipnya yang mirip vampir itu patah karena mencuci piring seperti dulu.
Bersambung...
tambah keluarga toxic,menjijikkan jadi lelaki..