Generation Sandwich, istilah yang sering di gunakan baru-baru ini. Mungkin sebagian ada yang menjadi pelakunya, ada juga yang menganggapnya hanya sebuah sudut pandang semata.
Tumbuh dan besar dari kalangan menengah kebawah menjadikan seorang gadis cantik bernama Hima Narayan kuat dalam menjalani kehidupannya.
Tanpa di ketahui banyak orang, nyatanya Hima menyimpan luka dan trauma tersendiri dalam hidupnya. Tentang pengkhianatan dan kekecewaan di masa lalu.
Ganindra Pramudya Suryawilaga : " Saat aku pikir kamu adalah rumah yang ku tuju. Tapi kamu justru menjauh saat aku ingin menggapai mu. Beri aku kesempatan sekali lagi Hima!"
Kehidupan keluarganya dan kisah cintanya tak pernah berpihak padanya. Akankah Hima menyerah dengan kehidupannya???? Lantas bagaimana dengan kisah cinta gadis itu?
Semoga para reader's kesayangan berkenan mampir, terimakasih 🙏🙏🙏🙏🙏
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ibu ditca, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8
Ganin benar-benar mengajak Hima untuk mampir ke sebuah warung makan seafood yang tak jauh dari kost mereka berdua.
"Heh...?? Ngapain ke sini?", tanya Hima yang baru menyadari Ganin mengajaknya ke warung seafood.
"Makan lah! Kan tadi gue bilang mau traktir Lo, Hima!", jawab Ganin. Hima menghela nafas panjang.
"Ganin! Sorry ya, gue sebenarnya ngga gila hormat. Tapi...Lo itu jauh lebih muda dari gue. Ngga bisa ya, manggil gue mba...atau kak...?"
Ganin terkekeh dan mengacak puncak kepala Hima gemas.
"Biar akrab aja Hima. Kan kalo manggil nama atau Lo gue kedengaran lebih akrab. Kalo aku kamu, kaya sama pacar tahu ngga!", kata Ganin.
"Ckkk mana ada, sejak kapan panggilan aku kamu cuma di pake sama orang pacaran."
"Udah, ngga usah protes. Yuk, mau pesan apa. Gue traktir serius!", kata Ganin.
Hima menatap Ganin dengan pandangan curiga.
"Uang makan kita cuma seratus ribu lho. Buat makan di seafood gini, habis lah!", bisik Hima.
"Tenang aja, duit gue aman kalo cuma traktir Lo doang!", kata Ganin.
Mau tak mau, Hima pun menerima tawaran makan dari Ganin. Ya, mungkin rejekinya di hari ulang tahunnya.
"Gue ke kamar mandi dulu ya. Nitip!", kata Hima pada Ganin. Gadis itu meletakkan tas dan ponselnya di atas meja.
Tuh anak benar-benar ya! Ngga takut apa ya hp nya hilang. Padahal baru kenal sama gue! Monolog Ganin.
Ting!
Banyak pesan yang masuk ke ponsel Hima di aplikasi hijau itu.
--Selamat ulang tahun Hima.
--Panjang umur cewek bawel.
--Hima, mba transfer lima ratus lagi dong. Duit udah sama ibu semua, ngga bisa di minta.
Ohhh....Hima ulang tahun! Batin Ganin.
Tak lama kemudian, Hima sudah kembali ke meja mereka.
"Lo ngga takut ya, gue bawa kabur hp sama tas Lo?", tanya Ganin penasaran.
"Ngga!", jawab Hima singkat. Pesanan mereka pun tiba. Hima melirik ponselnya. Ada beberapa chat yang masuk saat dia ke kamar mandi tadi.
Hima menghela nafas panjang dan setelah itu meletakkan ponselnya tanpa membalasnya lebih dulu.
🌾🌾🌾🌾
Azan magrib berkumandang saat Ganin dan Hima tiba di kost.
"Selamat ulang tahun, Hima Narayan!", kata Ganin saat keduanya akan masuk ke lorong kamar mereka.
Hima menghentikan langkahnya lalu menoleh pada Ganin.
"Lo tahu?", tanya Hima. Ganin mengangguk tersenyum.
"Oh... makasih! Jadi...Lo traktir gue karena gue ulang tahun gitu?", tanya Hima.
Ganin terkekeh kecil.
"Tadinya mah ngga tahu, gue emang niat traktir Lo aja. Tapi berhubung ngga sengaja tahu Lo ulang tahun, ya udah sekalian aja!", kata Ganin.
"Makasih!", kata Hima yang langsung memasuki kamarnya. Ganin memandangi pintu kamar Hima yang tertutup.
Seberat apa hidupnya, sampai di hari ulang tahunnya saja wajahnya ngga ada senang-senangnya! Batin Ganin. Setelah itu ia pun menyusul masuk ke kamarnya sendiri. Dan nanti baru akan mandi setelah tubuhnya tak lagi berkeringat.
🌾🌾🌾🌾🌾🌾🌾
"Udah dong Lin. Kamu jangan merecoki adik kamu terus. Kasian Hima kalo terus-terusan kalian rongrong begitu!", kata Harun.
Alin memutar bola matanya malas.
"Pak, Hima kan belum punya kepentingan yang mendesak. Dia masih sendiri, belum di bebani sama kebutuhan macem-macem. Beda dong sama Alin!"
Harun meletakkan remot televisi ke atas meja. Murtini tak ikut menyahuti obrolan bapak dan anak sulungnya itu.
"Tapi, Hima juga butuh buat masa depan dia. Emang kamu mau adik kamu sendiri terus? Dia juga setidaknya punya tabungan. Mungkin Hima juga ingin mudik, ketemu kita di rumah. Kalo di mintai uang terus, dia ngga bisa-bisa pulang!", lanjut Harun lagi pelan-pelan menasehati anak sulungnya.
"Salahin tuh ibu, Hima sebulan transfer tiga juta lho. Di pegang sendiri aja!"
Murtini menatap tajam anak sulungnya tersebut.
"Kamu pikir, uang yang Hima kasih buat apa hah? Buat cicilan bank, utang nikahan kamu! Udah mending adik mu mau bantu cicilan. Kamu sendiri malah boro-boro ngasih ke ibu!", sahut Murtini tak terima.
"Tapi kan....??!", Alim akan kembali mengucap, tapi Harun melerai anak dan ibu itu.
"Sudah Bu, Alin! Stop! Mending kamu ke kamar saja nak!", titah Harun pada anak sulungnya. Dengan kesal, Alin memasuki kamarnya. Kebetulan suaminya sudah ada di rumah setelah seharian di bengkelnya.
Harun duduk bersebelahan dengan Murtini yang masih terlihat marah.
"Sudah Bu, ngga usah begitu nanggepin Alin."
"Tapi Alin tuh ngga ada ngertinya Pak. Biar ibu keras, tapi ibu juga mikirin Hima. Dia kerja dari dulu ngga keliatan hasilnya. Kemarin-kemarin buat biaya sekolah Andre. Sekarang-sekarang buat bayar utang bank. Buat dia kapan??"
Harun mengusap lengan istrinya. Iya, istrinya memang suka keras saat berbicara. Tapi sebenarnya ia baik, hanya saja kadang penyampaiannya terkesan menyebalkan.
"Coba ya kalo Nanda....?", Harun menghentikan ucapan istrinya.
"Sudah Bu, jangan bahas Nanda lagi!", kata Harun. Murtini menatap layar televisi yang menayangkan berita banjir di salah satu kota.
🌾🌾🌾🌾🌾🌾
Hima mengambil sebuah ponsel jadul miliknya yang tersimpan di laci. Gadis itu menyalakan benda yang pernah canggih di jamannya beberapa tahun yang lalu.
Sambil menyalakan ponsel itu, Hima juga memasang charger karena ponsel itu sudah lama di matikan. Dan biasanya hanya saat-saat tertentu saja di aktifkan.
Layar kecil itu menyala langsung menunjukkan sebuah wallpaper bergambar Hima dan seorang laki-laki.
Lelehan bening itu menetes perlahan saat Hima membuka isi ponsel jadul itu.
Galeri foto itu berisi foto-fotonya jaman dulu. Saat ia dan subjek foto yang ada bersamanya berlibur ke salah satu tempat wisata alam.
Hima tersenyum dan sesekali mengusap bulir bening di pipinya tersebut.
"Ternyata aku tak bisa sekalipun membenci kamu, Nda! Walau pun kamu sudah membuat ku menangis! Membuat ku kecewa!", monolog Hima.
Hima menscroll video-nya bersama seseorang yang bernama Nanda itu. Ada tawa kebahagiaan yang di tunjukkan oleh video itu.
Moment yang terjadi saat dirinya dan Nanda berulang tahun. Keduanya memang kebetulan lahir di tanggal yang sama. Hanya saja Nanda satu tahun lebih tua dari Hima.
Tapi keduanya satu angkatan di masa sekolah. Keduanya menjalin asmara sejak masih remaja. Dan hubungan itu hampir di bawa ke jenjang yang lebih serius mengingat hubungan mereka yang sudah bertahun-tahun.
Keluarga masing-masing pun sudah menyetujuinya. Hanya saja, Nanda yang saat itu menjadi abdi negara harus siap di tugaskan ke mana pun dan kapan pun. Alhasil, keduanya pun menjalani hubungan jarak jauh.
Kadang di sela kesibukan, keduanya sama-sama meluangkan waktu untuk bertemu. Hima dulu bekerja di kampung halamannya. Hanya saja empat tahun terakhir sejak Nanda pergi, ia memilih untuk bekerja di luar kota.
Hima menonton semua video-video lawas itu hingga ia tertidur dengan sendirinya.
🌾🌾🌾🌾🌾
Terimakasih 🙏🙏🙏🙏
Kasih bonchap dong
mksh ya thor atas bacaannya yg luar biasa sukses trs dengan karya² baruy..love² buat ithor💖💖💖💖💖💖💖