Pernikahan Brian Zaymusi tetap hangat bersama Zaira Bastany walau mereka belum dikaruniai anak selama 7 tahun pernikahan.
Lalu suatu waktu, Brian diterpa dilema. Masa lalu yang sudah ia kubur harus tergali lantaran ia bertemu kembali dengan cinta pertamanya yang semakin membuatnya berdebar.
Entah bagaimana, Cinta pertamanya, Rinnada, kembali hadir dengan cinta yang begitu besar menawarkan anak untuk mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon alfajry, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jadilah Pacarku
Hari berlalu, ospek pun telah usai.
Di kantin kampus, Brian memandangi telepon genggamnya.
"Ada apa?" Tanya Andre yang heran dengan Brian hari ini.
Brian hanya diam. Andre melirik sekilas layar kecil di Hp Nokoi milik Brian. Nomor dan nama Rinnada tertulis disana.
"Belum beraksi, sudah ditolak. Pasti". Ucap Andre sambil menyendokkan makanan ke mulutnya.
Tadi malam, Brian berhasil menelpon Rinnada. Gadis itu sempat mengangkat teleponnya.
"Halo"
"Hai". Brian riang mendengar suara di seberang.
"Siapa ini, ya?"
Ah. Lembutnya suara Rinnada, batinnya.
"Kau, tidak ingat suara siapa ini?"
"Tidak". Jawab Rinnada terus terang, membuat Brian kesal.
"Coba dengarkan baik-baik. Jangan sampai besok aku mendatangi kelasmu, ya!" Ancam Brian.
"Tidak tahu. Sudah ya!" Gadis itu langsung menutup teleponnya.
'Aaahhhh benar-benar!' Brian kesal setengah mati.
"Hahaha.." Andre cekikikan mendengar cerita Brian.
"Keras sekali perempuan ini". Brian tak berhenti sampai disitu. Dia kembali menyusun rencana.
Sore harinya, Brian datang ke kelas Rinnada. Tentu saja setelah bertanya kesana kemari.
Setelah melihat kondisi kelas yang tanpa dosen, Brian masuk ke dalam. Orang-orang di kelas itu menatap Brian yang masuk saja seperti kelasnya sendiri. Ia berhenti di bangku Rinnada. Rinnada menatap Brian dengan wajah datar.
Brian mengeluarkan coklat dari tas sampingnya. Coklat itu di hiasi pita merah jambu di ujungnya.
Reaksi orang-orang di dalam kelas pun berbeda-beda. Ada yang menatap iri, tersenyum baper, ada pula yang merasa jijik. Yaitu Rinnada sendiri.
"Aku sengaja kemari untuk memberimu ini. Jangan lupa, angkat teleponku malam ini". Ucap Brian tersenyum dan berlalu keluar dari kelas.
Sontak teman-teman baru Rinnada berteriak. Mereka merasa iri. Bisa-bisanya Rinnada mendapat perhatian dari senior sekeren kak Brian.
"Ah.. irinya aku..". Teman perempuan Rinnada mencolek pinggangnya.
"Ambillah". Rinnada meletakkan coklat itu di atas bangku temannya, Ami.
"Eh, kenapa?"
"Aku bosan makan coklat".
Dengan senang hati Ami menerima coklat itu.
*****
Malam harinya, Brian bersemangat menelpon Rinnada. Gadis itu pasti terpesona dengan gayanya yang memberikannya coklat tadi. Prasangkanya semakin kuat karena Rinnada mengangkat teleponnya.
"Hai. Rinnada. Lagi apa?" Brian tersenyum cerah. Ah.. gadis-gadis memang menyukai coklat dan lelaki yang keren.
"Siapa?"
Dubrak! Kepala Brian seperti terhantam tembok. Senyum yang tersungging di bibirnya lenyap tiba-tiba. 'Apa-apaan ini. Siapa? Aku?'
Brian menahan rasa kesalnya.
"Akulah laki-laki yang memberimu coklat. Bukankah kau menyukainya?"
"Tidak. Aku sudah bosan". Jawab Rinnada datar.
"Apa! Perempuan mana yang bosan dengan coklat??!!"
"Aku". Jawab Rinnada lagi. Dengan nada yang sama.
"Hey, jangan bercanda. Memangnya keluargamu punya pabrik coklat!" Brian meledak. Suaranya sedikit meninggi. Tangannya berkacak di pinggangnya.
"Memang".
"Kau pikir.. ". Kalimat Brian menggantung.
"Apa? Kau punya pabrik coklat?"
"Ayahku".
"Ah.. Ayahmu." Brian sejenak terdiam. Menyesali pernyataannya tadi. Kenapa dia bisa tidak tahu bahwa ayah gadis ini pemilik pabrik coklat? Ah iya, dikota ini memang ada perusahaan coklat.
"Hahahahaha"
Terdengar suara tawa yang menggelitik di dada Brian. Suara tawanya, indah sekali.
"Sudah puas?" Tanya Brian kepada gadis itu.
"Sudah".
Brian tersenyum. Apakah ini permulaannya?
Mereka mulai berbincang banyak hal. Malam ini entah mengapa terasa indah. Brian meletakkan Hp nya di telinga sambil memiringkan tubuhnya di kasur. Memeluk guling. Membayangkan sedang memeluk Rinnada. Gadis itu sedang bercerita betapa bosannya perkuliahan. Sampai Brian sadar, Rinnada sudah tertidur. Dia bisa mendengar suara napasnya.
'Imutnya..' batin Brian.
****
Pagi yang indah, terlihat dari senyuman di bibir Brian. Dia melangkah dengan semangat memasuki kelasnya.
"Halo kawan-kawan. Cerah sekali hari ini. Ah.. aku tidak sabar dengan perkuliahan hari ini. Yang semangat, yaaaa". Suara Brian menggema dikelas. Dia duduk dengan seyuman yang menunjukkan giginya.
Tatapan aneh memenuhi wajah orang-orang dalam kelasnya.
"Ada apa dengannya?" Bisik-bisik temannya terdengar sayup-sayup.
"Mungkin dia kerasukan"
"Aneh sekali dia".
Tak lama, Andre masuk ke kelas. Wajahnya bengkak. Seperti terpaksa bangun pagi. Ya, hari ini banyak di antara mereka yang tidak berani terlambat. Siapa lagi kalau bukan prof Botak. Begitu sebutan mahasiswa untuk dosen galak kali ini.
"Hey, Andre. Temanmu itu sedang buang tabiat".
"Apaa!!" Andre yang antara sadar atau tidak, langsung menghampiri Brian yang sedang tersenyum menghadap ke depan sambil bertopang dagu.
"Brian! Kau kenapa! Apa yang terjadi!" Andre memegang kepala Brian dengan kedua tangannya. "Apa kau sakit keras?"
"AKH! Apa-apan kau!" Brian mendorong Andre. "Kau jangan ganggu. Aku sedang bahagia. Aku tak sabar menunggu prof botak hadir dan menyelesaikan mata kuliah yang hanya satu jam ini".
Perkataan Brian bagai petir di siang bolong. Menyambar setiap insan yang ada dikelas.
"Bisa-bisanya kau, orang paling malas dikelas, mengeluarkan perkataan hina seperti itu!" Ucap Andre yang merasa terzholimi dengan kata-kata Brian.
Bagaimana tidak, jelas-jelas nilainya jauh lebih tinggi dari Brian, dan Brianlah salah satu orang yang paling sering bolos di kelas.
"Bicara apa kau!" Brian menaiki bangkunya dan memulai orasinya. "Mulai detik ini, akulah orang yang paling rajin dikelas. Aku tidak akan meninggalkan satu mata kuliahpun dan akan mengikuti kelas prof botak dengan rajin dan cermat!" Brian tersenyum bangga dengan kalimatnya.
Teman-temannya bertepuk tangan dan bersorak atas kebodohannya.
"Dasar gila!" Andre menggeleng-gelengkan kepalanya. Tangannya refleks ikut bertepuk tangan.
****
Setelah mengikuti kelas prof botak, wajah Brian bertekuk-tekuk. Orasinya hanya sepanjang kacang panjang. Namun, dia mendadak semangat, saat mengingat perkataan Rinnada bahwa kelasnya berakhir pukul 11 dan di lanjut pukul 2 siang.
'Ah, sudah jam 11. Dia pasti sudah keluar' pikir Brian sambil melirik jam tangannya.
Brian menuju kelas Rinnada. Dilihatnya orang-orang mulai keluar satu persatu dari sana.
Tak lama, ia melihat Rinnada keluar sendirian sambil menenteng buku di dadanya.
"Hai.." Sapa Brian sambil menyunggingkan senyuman di bibirnya.
Hari ini, Rinnada memakai kardigan berwarna peach, kaos putih, dan rok navy selutut. Rambutnya digulung sampai puncak kepalanya dan menyisakan sedikit rambut di dekat telinganya.
Rinnada melihatnya sebentar, lalu melanjutkan langkahnya.
"Hei." Brian mengejarnya. Menghadang jalannya.
"Minggir". Pinta gadis itu.
"Ada apa? Bukankah tadi malam kita sudah akrab?"
Rinnada mengerutkan alisnya.
"Kau tadi malam ketiduran sambil bercerita. Iya, kan? Kenapa sekarang berubah".
Rinnada sejenak terdiam. Seperti menimbang-nimbang sesuatu.
"Bagaimana? Apakah sudah ingat?" Tanya Brian memastikan. "Ayo. Tadi malam kau bilang ingin makan bakso, kan."
"Aku tidak suka bakso". Ucap Rinnada seraya pergi meninggalkan Brian dengan tanda tanya. Mengapa gadis ini berubah tiba-tiba?
***
Beberapa jam kemudian, Brian menunggu Rinnada di jalan biasa ia lewati. Rinnada ada kelas siang ini.
Hatinya masih bertanya-tanya. Bagaimana bisa Rinnada berubah sikap. Apa dia sedang kesal karena kuliahnya? Mungkin saja, tadi malam, Rinnada cerita betapa bencinya ia dengan perkuliahan.
Brian sudah melihat Rinnada. Ia mulai mendekati Rinnada yang akan menyebrangi jalan. Lalu tiba-tiba, mata Brian menangkap motor yang melaju kencang ke arah Rinnada. Brian yang melihat, berteriak ke arah Rinnada.
"Hei, awas!"
Rinnada refleks melihat ke arah Brian yang langsung berlari ke arahnya dan menarik gadis itu kepelukannya. Suara motor yang melaju kencang itu memekik telinga. Mereka terjatuh bersamaan. Untungnya, Rinnada jatuh di atas tubuh Brian.
Motor itu melaju sangat kencang. Rinnada sampai memejamkan matanya.
Untuk beberapa saat, Brian menikmati ini. Rinnada berada di pelukannya, ketakutan. Orang-orang yang berlalu lalang, melihat ke arah mereka.
Seperti tersadar akan sesuatu, Rinnada mendongakkan kepalanya. Dilihatnya Brian penuh dengan senyuman. Dia langsung bangkit. Membersihkan baju dan merapikan rambutnya. Napasnya terdengar kesal.
Brian berdiri. "Ah, aku menyelamatkanmu." Ujarnya tersenyum.
"Sepertinya aku tidak perlu berterimakasih, karena kaupun menikmati itu, kan!" Wajah Rinnada terlihat kesal.
"Benarkah? Tapi itu tidak sebanding dengan... "
"Ah. Ya ampun, tanganmu.." Riannada memegang siku Brian. Ada luka yang mengeluarkan darah. "Ayo, ikut aku."
Rinnada menarik tangan Brian yang di ikuti dengan senyuman tanda rasa syukur atas berdarahnya lengannya itu.
Mereka menuju klinik dekat kampus. Lengan Brian sudah di obati. Rinnada terduduk lemas di sebelah Brian
"Maafkan aku..." ucapnya lesu. "Dan terimakasih sudah menyelamatkanku".
"Tidak apa. Aku senang bisa menolongmu." Brian merasa kali ini Rinnada tidak akan menghiraukannya lagi.
"Apakah itu sakit?" Rinnada menunjuk siku Brian yang berbalut perban.
Brian menggelengkan kepalanya.
"Benarkah?" Rinnada menekan siku Brian dengan telunjuknya.
"Awww!" Pekik Brian kesakitan
"Bohong" Rinnada memandang Brian. Yang di pandang hanya tertawa.
"Apa kau mau membayar ini?" Brian mengangkat sikunya.
"Bagaimana aku membayarnya?"
Brian tersenyum. "Jadilah pacarku"
"Apa!"
Bersambung....
cow gk tahu diuntung