MONSTER KEJAM itulah yang Rahayu pikirkan tentang Andika, suaminya yang tampan namun red flag habis-habisan, tukang pukul kasar, dan ahli sandiwara. Ketika maut hampir saja merenggut nyawa Rahayu di sebuah puncak, Rahayu diselamatkan oleh seseorang yang akan membantunya membalas orang-orang yang selama ini menginjak-injak dirinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BI STORY, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Gagal Lagi Ngerjain Rahayu
DI MEJA MAKAN
Andika meletakkan piring berisi roti tawar itu dengan dentingan yang sengaja dibuat terdengar ramah. Di atas roti milik Rahayu, ia telah mengoleskan tumpukan mentega yang dicampur dengan garam dapur dalam jumlah yang tidak masuk akal. Ia membayangkan wajah Rahayu yang tenang itu akan berubah drastis mungkin tersedak, mungkin memuntahkannya, atau setidaknya kehilangan martabatnya di depan meja makan.
"Ayo sarapan, Rahayu. Aku udah siapkan roti untukmu. Spesial, sebagai tanda maaf karena kejadian di kamar mandi tadi," ujar Andika dengan nada suara yang dibuat selembut mungkin, meski matanya berkilat penuh kemenangan.
Rahayu menarik kursi dengan perlahan. Ia duduk tegak, tangannya meraba permukaan meja hingga menyentuh pinggiran piring. Ia tidak langsung memakan roti itu. Rahayu diam sejenak, indra penciumannya menangkap sesuatu yang tidak lazim. Aroma gandum dan mentega itu tertutup oleh aroma mineral yang tajam dan menusuk—bau garam yang sangat pekat.
"Sok baik, ya?" batin Rahayu sinis.
Tepat saat itu, ponsel Andika yang terletak di atas meja bergetar hebat. Nama "Pamer (Papa Mertua) Rio" muncul di layar. Andika tersentak, segera menyambar ponselnya dengan wajah sumringah.
Ia merasa ini adalah momen sempurna untuk menunjukkan pada mertuanya betapa "harmonisnya" rumah tangga mereka.
"Halo, Pa? Selamat pagi," sapa Andika, suaranya berubah menjadi sangat sopan dan penuh bakti.
"Iya, Pa. Rahayu ada di sini, lagi sarapan bareng. Oh, Papa harus lihat, dia tampak ceria sekali pagi ini. Kami baru aja mengobrol santai. Rahayu sangat menikmati roti buatanku."
Sambil terus berceloteh dan membelakangi Rahayu untuk mencari sinyal yang lebih baik di dekat jendela, Andika tidak menyadari gerakan tangan istrinya.
Dengan gerakan yang halus, nyaris tanpa suara, Rahayu menukar piring rotinya dengan piring milik Andika yang berada tepat di sampingnya. Ia menggunakan sisa suara gesekan piring yang sangat minim, tertutup oleh suara tawa palsu Andika yang sedang meyakinkan Pak Rio betapa bahagianya putri beliau.
"Iya, Pa. Aku akan pastikan dia makan dengan lahap. Aku tutup dulu ya, Pa. Salam untuk Mama Laura," ucap Andika sambil mengakhiri panggilan.
Andika berbalik, kembali ke meja dengan senyum lebar yang meremehkan.
"Kenapa belum dimakan? Ayo, mumpung masih seger rotinya. Jangan sia-siakan niat baikku."
Rahayu mengangkat rotinya, lalu menggigit pinggirannya sedikit bagian yang tidak terkena selai maut itu dan mengunyahnya dengan tenang.
"Enak, Mas. Kamu nggak makan punyamu?"
Andika merasa puas. Ia merasa berhasil memperdaya wanita itu. Untuk merayakan kemenangannya, ia meraih roti di piringnya sendiri dan mengambil gigitan besar dengan penuh nafsu.
"Ugh—KAH! HOEK!"
Wajah Andika seketika berubah ungu. Rasa asin yang luar biasa hebat menghantam lidahnya seperti ledakan air laut yang busuk.
Rasa itu begitu pekat hingga tenggorokannya terasa tercekik seketika.
"Uhuk! Air... air!" Andika terbatuk-batuk hebat, matanya berair, dan ia hampir memuntahkan seluruh isi mulutnya ke lantai.
Rahayu tetap tenang, ia menyesap teh hangatnya dengan anggun.
"Kenapa, Mas? Rotinya terlalu enak sampai kamu keselek?" tanya Rahayu datar, namun ada nada kepuasan yang dingin dalam suaranya.
"Lain kali, kalau mau masak buat orang lain, dicicipi dulu. Takaran garamnya sepertinya bisa bikin orang stroke dalam satu gigitan."
Andika meraih gelas air putih dan menenggaknya sampai habis, napasnya memburu karena rasa asin yang masih membakar lidahnya. Ia menatap Rahayu dengan tatapan benci sekaligus tak percaya. Bagaimana bisa? Dia buta! Dia seharusnya tidak tahu!
"Kamu... kamu tukar rotinya?!" desis Andika dengan suara parau.
"Tanganmu bau garam, Mas. Dan hidungku gak buta," balas Rahayu sambil berdiri, meraih tongkatnya.
"Terima kasih sarapannya. Tapi sepertinya, kamu yang lebih butuh nutrisi untuk memperbaiki otakmu yang agak kurang sehat itu."
Rahayu melangkah pergi meninggalkan Andika yang masih berjuang menghilangkan rasa asin yang menyiksa di mulutnya, menyadari bahwa di rumah ini, ia sedang berperang dengan seseorang yang punya 'mata' di mana-mana.
Berikut adalah kelanjutan dari cerita tersebut:
Andika membanting gelas kosong itu ke atas meja. Rasa asin yang membakar lidahnya memang mulai pudar, namun rasa malu dan amarah di dadanya justru semakin memuncak.
Rumah ini terasa seperti penjara yang dipenuhi duri tak terlihat. Menatap punggung Rahayu yang menghilang di balik pintu kamar dengan langkah tenangnya membuat Andika merasa terhina.
"Sialan! Lihat aja nanti, Rahayu. Aku gak akan biarin kamu menang terus-menerus," geramnya pelan.
Merasa sesak berlama-lama di dalam mansion, Andika menyambar kunci mobilnya. Ia butuh udara segar, atau setidaknya tempat di mana ia kembali merasa sebagai seorang "pemenang."
Andika memarkirkan mobilnya di sebuah pusat perbelanjaan mewah. Ia berjalan menyusuri deretan toko brand ternama, membiarkan aroma parfum mahal dan suhu AC yang dingin menenangkan sarafnya. Saat ia melewati sebuah butik tas tangan, seorang wanita dengan gaya modis dan gaun pendek yang pas di badan keluar sambil menjinjing beberapa tas belanjaan.
"Mas Andika?" sebuah suara yang sangat ia kenali memanggil dengan nada manja.
Andika menoleh. Matanya membelalak kecil sebelum sebuah seringai muncul. Di hadapannya berdiri Santi, adik iparnya adik tiri Rahayu yang selama ini dikenal sebagai "si anak tiri yang haus perhatian."
"Santi? Kamu belanja sebanyak ini sendirian?" tanya Andika, matanya mulai memindai penampilan Santi yang kontras dengan kakaknya. Jika Rahayu adalah ketenangan yang dingin, maka Santi adalah api yang genit.
Santi mendekat, sengaja berdiri cukup dekat hingga aroma parfum manisnya menusuk hidung Andika. Ia menyentuh lengan Andika dengan gerakan yang tampak natural namun penuh maksud.
"Iya nih, Mas. Capek banget tahu, muter-muter sendirian. Papa lagi sibuk, dan Kak Rahayu... yah, Mas tahu sendiri kan dia nggak bisa nemenin aku belanja barang-barang cantik kayak gini," ucap Santi dengan nada meremehkan kakaknya sendiri.
Santi memperhatikan wajah Andika yang tampak gusar. Sebagai sesama orang yang licik, ia bisa mencium bau masalah dari jauh.
"Wajah Mas kok ditekuk gitu? Habis 'perang' lagi ya sama Mbak Rahayu yang sombong itu? Duh, Mas... aku benar-benar nggak paham kenapa Mas bisa betah sama perempuan kaku kayak dia."
Andika menatap mata Santi. Ia merasa menemukan sekutu, atau mungkin mangsa baru.
"Kakakmu itu memang butuh pelajaran, San. Dia pikir dia paling pintar karena bisa membaca situasi tanpa melihat."
Santi tertawa renyah, tawa yang dibuat-buat untuk memikat. Ia melingkarkan tangannya di lengan Andika, tidak peduli dengan status mereka sebagai saudara ipar.
"Daripada Mas Andika stres di rumah, mending temani aku makan siang yuk? Aku tahu tempat yang privat dan nyaman. Nanti aku kasih tahu Mas gimana cara 'menghadapi' Mbak Rahayu. Aku kan adiknya, aku tahu semua titik lemahnya," bisik Santi tepat di telinga Andika.
Andika merasakan ego lelakinya kembali naik. Ketertarikan mulai muncul saat ia melihat cara Santi menatapnya penuh ambisi dan tipu daya yang sama dengan dirinya sendiri.
"Boleh juga. Lagipula, aku emang butuh hiburan yang lebih... berwarna daripada rumah itu," jawab Andika mantap.
Keduanya berjalan berdampingan menuju restoran, meninggalkan bayang-bayang Rahayu di belakang. Di kepala Andika, sebuah rencana baru mulai tersusun, sementara di hati Santi, rencana untuk menggulingkan kakak tirinya dan mengambil alih kekuasaan Andika baru saja dimulai.
BERSAMBUNG
jangan lupa mampir juga keceritaku PENJELAJAH WAKTU HIDUP DIZAMAN AJAIB🙏