Menikah dulu... Cinta belakangan...
Apakah ini cinta? Atau hanya kebutuhan?
Rasa sakit dan kecewa yang Rea Ravena rasakan terhadap kekasihnya justru membuat ia memilih untuk menerima lamaran dari seorang pria buta yang memiliki usia jauh lebih tua darinya.
Kai Rylan. Pria buta yang menjadi target dari keserakahan Alec Maverick, pria yang menjadi kekasih Rea.
Kebenaran tanpa sengaja yang Rea dengar bahwa Kai adalah paman dari Alec, serta rencana yang Alec susun untuk Kai, membuat Rea menerima lamaran itu untuk membalik keadaan.
Disaat Rea menganggap pernikahan itu hanyalah sebuah kebutuhan hatinya untuk menyembuhkan luka, Kai justru mengikis luka itu dengan cinta yang Kai miliki, hingga rahasia di balik pernikahan itu terungkap.
Bisakah Rea mencintai Kai? Akankah pernikahan itu bertahan ketika rahasia itu terungkap? Apa yang akan terjadi jika Alec tidak melepaskan Rea begitu saja, dan ingin menarik Rea kembali?
Ikuti kisah mereka....!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon FT.Zira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
7. Hari Pernikahan.
"... Untuk saling memiliki dan menjaga, mulai hari ini dan seterusnya, baik dalam suka maupun duka, sehat dan sakit..."
Janji suci yang Kai ucapkan mengalun begitu lembut ke dalam pendengaran Rea, seakan tersirat sebuah ketulusan di setiap kata dalam sumpah yang Kai ucapkan. Netranya mengunci wajah Kai yang kini berdiri di depannya di hadapan pastor yang tengah menikahkan mereka.
Setelan tuksedo hitam yang melekat sempurna di tubuh pria itu seakan menutupi kekurangan yang Kai miliki. Di bawah pantulan cahaya mentari yang menembus jendela gereja, garis wajahnya terlihat lebih bersinar dalam penglihatan Rea.
"... Untuk mencintaimu sampai maut memisahkan..."
Begitu sumpah pernikahan itu disahkan, dan dilanjutkan dengan pemberkatan, tiba bagi keduanya untuk bertukar cincin.
Hal selanjutnya yang akan terjadi justru membuat tubuh Rea menegang, terutama saat Kai merangkum wajahnya seraya mendekatkan wajah, mengikis jarak di antara mereka sampai ia bisa merasakan bibir Kai menyentuh lembut bibirnya sebagai akhir dari ikrar pernikahan yang mereka lakukan. Hanya sentuhan lembut tanpa tuntutan sebagai pelengkap dari upacara pernikahan.
Kedua mata Rea mengerjap, air matanya bergulir tanpa ia minta. Pernikahan impian yang sempat ia harapkan akan terjadi sekali seumur hidup baginya, hari ini terjadi hanya sebagai pelengkap bisnis semata.
Akankah pernikahan yang terjadi hanya atas dasar kebutuhan berakhir bahagia? Rea menggeleng pelan, menepis semua angan yang sudah ia kubur bersama pengkhianatan yang ia terima dari mantan kekasihnya, menyambut takdir yang tertulis dengan menanamkan satu kalimat di dalam hatinya.
Tidak ada lagi cinta. Hanya ada bakti sebagai istri kepada suami.
Keluarga yang ia pikir mencintainya bahkan secara terang-terangan menunjukkan senyum bahagia mereka saat Kai setuju untuk mempercepat tanggal pernikahan dengan balasan mereka mendapatkan apa yang mereka inginkan dari Kai.
"Lächle, Liebling, (tersenyumlah, sayang)," Kai berbisik lembut seakan tahu apa yang sedang Rea rasakan, lalu menarik diri dan tersenyum.
Sesaat Rea takjub dengan apa yang baru saja Kai ucapkan, terpesona untuk kesekian kalinya dengan senyum tipis yang terukir di bibir pria itu, satu kalimat sederhana dalam bahasa Jerman yang Kai ucapkan entah mengapa membuat ia tersenyum manis tanpa paksaan.
Kai membalikkan badan, menghadap tamu undangan untuk menyampaikan rasa terima kasihnya pada mereka yang telah hadir di acara pernikahannya hari ini, melingkari pinggang wanita yang telah sah manjadi istrinya sekaligus membawa sang istri untuk menyapa para relasi bisnis yang hadir.
"Anda sangat beruntung, Tuan Rylan. Anda mendapatkan istri yang sangat cantik," ucap salah satu dari relasi bisnis Kai usai berjabat tangan.
"Istri Anda juga masih sangat muda," sambut relasi lain.
"Sayalah yang sangat beruntung di sini," Rea menjawab tanpa memudarkan senyum di wajahnya, menatap secara bergantian relasi bisnis suaminya dengan satu tangan melingkari lengan sang suami.
"Sejauh saya mengenalnya, dia adalah pria terbaik yang saya temui seumur hidup saya,"
Para relasi bisnis itu tertawa singkat, tersenyum kagum pada Rea yang mampu memposisikan dirinya sendiri ketika berdiri di samping sosok Kai Rylan yang mereka kenal sebagai pebisnis yang sulit untuk didekati wanita.
.
.
.
Selama beberapa saat, Rea seakan lupa apa itu berkedip.
"Woah..."
Apa yang kini tersaji di depan matanya membuat Rea terpana. Rahangnya bahkan terbuka tanpa ia minta.
Kamar berukuran luas yang akan menjadi kamarnya bersama sang suami terlihat begitu menawan dengan hiasan bunga yang ada di setiap sudut kamar, tempat tidur bertiang empat berukuran besar dengan kain lembut yang menjuntai menyentuh lantai, taburan kelopak mawar yang tersebar di lantai serta tempat tidur, serta lilin aromaterapi dengan aroma lavender dan vanila memanjakan Rea yang baru saja masuk ke dalam kamar seorang diri.
"Indah..."
Rea bergumam pelan, membawa langkahnya mendekat ke tempat tidur besar dan merasakan betapa lembutnya seprai putih serta kain yang menjuntai pada tiang tempat tidur.
Pandangan Rea terhenti pada taburan kelopak mawar di atas tempat tidur, pikirannya seketika terhenti pada satu kemungkinan yang mustahil ia hindari.
"Apakah... Paman akan..."
Rea menggelengkan kepala, memilih untuk melupakan sejenak apa yang mengganggu pikirannya dengan melepaskan gaun yang masih ia kenakan setelah sesaat sebelum ia masuk kamar menolak bantuan para pelayan yang ada di kediaman Kai untuk membantunya membersihkan diri.
Siraman air hangat yang menerpa tubuhnya membuat Rea mengadahkan kepala, berharap beban pikiran yang mengganggunya luruh bersama air yang mengalir.
Pintu kamar terbuka bertepatan dengan Rea keluar dari kamar mandi dengan bathrobe yang membalut tubuhnya serta handuk kecil di kepala menutupi rambutnya yang masih basah. Satu alasan yang membuat Kai yang baru saja masuk ke dalam kamar terpaku.
"Apakah urusan Paman sudah selesai?" tanya Rea seraya melangkah mendekat.
Kai diam, menelan kasar salivanya sembari menggenggam erat tongkat penuntun di tangannya. Gerakan tangan Rea saat mengeringkan rambut membuat ia seakan lupa untuk bernapas.
"Apakah kamu baru saja membersihkan diri, Re?" tanya Kai berusaha setenang mungkin.
"Uhmm..." Rea mengangguk, lalu tertawa kecil sembari menepuk dahinya sendiri mengingat Kai tidak akan melihat anggukannya.
"Ya, tapi bagaimana Paman bisa tahu?" tanya Rea.
"Aroma sabun," jawab Kai.
"Indra penciuman Paman tajam sekali. Padahal kamar ini dipenuhi aroma dari lilin aromaterapi, tapi Paman masih bisa menebaknya," sahut Rea.
Kai hanya tersenyum, tetapi hatinya tak bisa berhenti mengumpat pada para pelayannya yang sudah menghias kamar secara berlebihan. Dalam benaknya ia hanya tidak ingin membuat Rea terbebani dengan pernikahan yang tidak wanita itu inginkan.
"Aku bantu, Paman," ucap Rea saat melihat Kai melepaskan jas yang pria itu kenakan.
"Apakah Paman ingin membersihkan diri?" tanya Rea.
"Ya, apakah kau juga akan membantuku?" Kai balas bertanya.
"EEHH...?"
. . . .
. . . .
To be continued...