Seorang kakak miskin mendadak jadi sultan dengan satu syarat gila: Dia harus menghamburkan uang untuk memanjakan adik semata wayangnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sukma Firmansyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7: Monster Jalanan
Lobi hotel The Royal malam itu cukup ramai dengan mobil-mobil mewah yang antre valet. Ada Mercedes, BMW, hingga Alphard putih. Namun, ketika petugas valet membawa keluar kendaraan milik Atlas, seluruh aktivitas di lobi seolah berhenti sejenak.
Suara raungan mesin terdengar lebih dulu. Rendah, berat, dan mengintimidasi. Seperti suara binatang buas yang terbangun dari tidur panjang.
VROOOOM... GRRMM...
Sebuah Lamborghini Aventador berwarna Matte Black (Hitam Pekat) meluncur perlahan dari ramp parkiran. Bentuknya tajam dan agresif, seolah-olah mobil itu dirancang untuk membelah angin—dan aspal—sekaligus. Tidak ada pantulan cahaya di bodinya yang doff, membuatnya terlihat seperti pesawat tempur siluman yang nyasar ke jalan raya.
Petugas valet keluar dari mobil dengan tangan gemetar. Dia membungkuk dalam-dalam saat menyerahkan kunci kepada Atlas.
"M-mobil Anda siap, Tuan Wijaya. Ini... ini buas sekali."
Orion membelalakkan matanya. Dia meremas lengan kemeja Atlas. Gadis itu terbiasa naik angkot yang sesak dan panas, atau paling banter ojek online yang helmnya bau apek. Melihat benda hitam gepeng di hadapannya ini, dia merasa sedang melihat pesawat alien.
"Kak... kita naik ini?" bisik Orion, sedikit takut. "Bentuknya seram. Kayak monster."
Atlas terkekeh. Dia mengambil kunci mobil itu, lalu mengusap kepala adiknya.
"Memang monster. Namanya 'Banteng Mengamuk'," kata Atlas santai. "Tapi tenang aja, selama Kakak yang pegang setir, monster ini bakal jadi kucing manis buat kamu."
Atlas membuka pintu mobil yang bergerak naik ke atas (scissor doors). Aksi teatrikal itu membuat beberapa tamu hotel wanita menahan napas kagum.
"Masuk, Tuan Putri. Hati-hati kepalanya."
Di Dalam Kokpit
Interior mobil itu sempit namun futuristik. Semuanya dilapisi kulit Alcantara hitam dengan jahitan benang merah. Tombol-tombol di konsol tengah lebih mirip tombol peluncur rudal daripada tombol AC.
Orion duduk di kursi penumpang yang memeluk tubuh mungilnya dengan erat (bucket seat). Dia terlihat tenggelam di dalam kursi besar itu.
"Sabuk pengamannya dipasang," perintah Atlas.
Setelah memastikan Orion aman, Atlas menekan tombol START di tengah konsol.
BLARR!
Mesin V12 di belakang punggung mereka meraung keras, membuat kursi bergetar. Orion terlonjak kaget, menutup telinganya, tapi kemudian dia tertawa kecil karena sensasi getaran itu menggelitik punggungnya.
"Siap?" tanya Atlas.
"Siap!" jawab Orion, meski tangannya mencengkeram pegangan pintu erat-erat.
Mobil meluncur keluar hotel, membelah jalanan Jakarta yang mulai lengang di malam hari.
Jalan Tol Dalam Kota
Awalnya, Atlas mengemudi dengan santai. Dia menikmati bagaimana setir mobil itu merespons setiap sentuhan jarinya. Suspensi mobil sport memang keras, tapi Atlas berusaha mencari jalur yang paling mulus agar Orion tidak terguncang.
Namun, ketenangan itu tidak berlangsung lama.
Di kaca spion, sorot lampu putih menyilaukan mendekat dengan cepat. Sebuah Ferrari merah meraung-raung, sengaja memepet bumper belakang Lamborghini Atlas.
Atlas melirik spion. "Cih. Bocah kurang perhatian."
Ferrari itu menyalip dari kiri dengan kasar, lalu memotong jalur tepat di depan hidung Atlas, memaksa Atlas menginjak rem sedikit.
Di dalam Ferrari itu, terlihat seorang pemuda bertopi terbalik tertawa-tawa sambil mengacungkan jari tengah keluar jendela, menantang balapan.
Wajah Orion memucat. "Kak! Dia jahat banget! Nanti nabrak!"
Mendengar suara adiknya yang panik, tatapan Atlas berubah gelap. Main-main dengannya boleh, tapi membuat adiknya takut? Itu dosa besar.
Sistem berkedip.
[Skill Aktif: 'Driving Mastery' (Level Dasar) - Ditingkatkan Sementara!]
[Mode: Predator Jalanan.]
Atlas tidak terpancing emosi untuk balapan liar. Dia hanya ingin memberi pelajaran tentang hierarki.
"Pegangan yang kuat, Dek," ucap Atlas tenang. "Kakak mau buang sampah sebentar."
Tangan Atlas memindahkan mode berkendara dari Strada (Jalanan) ke Corsa (Balap).
Suara mesin berubah menjadi lebih nyaring dan kasar.
Saat Ferrari merah itu sibuk zig-zag pamer kemampuan, Atlas melihat celah lurus yang panjang di depan.
Dia menginjak pedal gas dalam-dalam.
WHOOSH!
Gaya gravitasi (G-Force) seketika menekan tubuh mereka ke sandaran kursi.
Lamborghini itu tidak sekadar melaju, dia melesat seperti peluru. Dalam hitungan tiga detik, kecepatan melompat dari 80 km/jam ke 200 km/jam.
Dunia di luar jendela menjadi kabur. Lampu-lampu jalan berubah menjadi garis-garis neon panjang.
Ferrari merah yang tadi sombong itu? Dalam sekejap mata sudah tertinggal jauh di belakang, berubah menjadi titik merah kecil di spion, lalu lenyap ditelan kegelapan. Atlas melewatinya begitu saja tanpa menoleh, seolah Ferrari itu adalah mobil mogok di pinggir jalan.
Kecepatan, presisi, dan dominasi mutlak.
Setelah "sampah" itu hilang, Atlas perlahan melepas gas. Mobil kembali melambat ke kecepatan normal.
Atlas melirik ke samping, khawatir adiknya mual atau menangis ketakutan.
"Rion? Kamu oke? Mau muntah?"
Atlas terkejut.
Orion tidak menangis. Wajahnya memang sedikit pucat, tapi matanya berbinar terang benderang, dan senyum lebar menghiasi bibirnya. Napasnya memburu karena adrenalin.
"Kak..." Orion menatap kakaknya dengan antusias. "Tadi itu... tadi itu kayak terbang! Wushhh! Terus mobil jahatnya langsung ilang!"
Atlas bengong sebentar, lalu tertawa lepas. Dia lupa kalau adiknya ini mungkin terlihat rapuh, tapi mentalnya kuat karena sudah ditempa kemiskinan. Sedikit speed therapy ternyata justru membuatnya senang.
"Kamu suka?"
"Suka! Tapi jantungku mau copot!" Orion tertawa renyah. Tawa yang sangat jarang terdengar.
Sistem memberikan notifikasi manis.
[Adik Menikmati Sensasi Kebebasan!]
[Kebahagiaan: Meningkat Drastis.]
[Reward: Uang Tunai Rp 500.000.000 (Bonus Adrenalin).]
Atlas menggelengkan kepala. Bahkan ngebut pun dibayar, batinnya.
"Oke, Tuan Putri. Karena musuhnya sudah kalah, sekarang kita pulang ke istana."
Parkiran Hotel - Tengah Malam
Saat mereka turun dari mobil, Orion terlihat lelah tapi puas. Atlas menyerahkan kunci kembali ke valet (yang kaget melihat ban mobilnya sedikit berasap karena panas).
Atlas menggendong Orion di punggungnya (piggyback) menuju lift, karena gadis itu mengeluh kakinya lemas saking serunya tadi.
"Kak," gumam Orion di ceruk leher Atlas saat mereka di dalam lift.
"Hm?"
"Terima kasih ya."
"Buat apa? Mobilnya?"
"Bukan. Makasih karena Kakak nggak pernah nyerah sama aku. Makasih udah jadi Kakakku."
Langkah Atlas terhenti sejenak di koridor hotel yang sunyi. Kata-kata itu lebih berharga daripada saldo miliaran rupiah di rekeningnya.
Dia mengeratkan pegangannya pada kaki adiknya.
"Tidur yang nyenyak, Rion. Besok kita punya misi baru."
"Misi apa?" gumam Orion mengantuk.
Atlas tersenyum misterius.
"Misi mencari istana sungguhan. Kita nggak bisa selamanya tinggal di hotel. Kamu butuh rumah dengan taman bunga."