Beberapa bulan setelah ditinggalkan kedua orang tuanya, Rama harus menopang hidup di atas gubuk reot warisan, sambil terus dihantui utang yang ditinggalkan. Ia seorang yatim piatu yang bekerja keras, tetapi itu tidak berarti apa-apa bagi dunia yang kejam.
Puncaknya datang saat Kohar, rentenir paling bengis di kampung, menagih utang dengan bunga mencekik. Dalam satu malam yang brutal, Rama kehilangan segalanya: rumahnya dibakar, tanah peninggalan orang tuanya direbut, dan pengkhianatan dingin Pamannya sendiri menjadi pukulan terakhir.
Rama bukan hanya dipukuli hingga berdarah. Ia dihancurkan hingga ke titik terendah. Kehampaan dan dendam membakar jiwanya. Ia memutuskan untuk menyerah pada hidup.
Namun, tepat di ambang keputusasaan, sebuah suara asing muncul di kepalanya.
[PEMBERITAHUAN BUKAN SISTEM BIASA AKTIF UNTUK MEMBERIKAN BANTUAN KEPADA TUAN YANG SEDANG PUTUS ASA!
APAKAH ANDA INGIN MENERIMANYA? YA, ATAU TIDAK.
Suara mekanis itu menawarkan kesepakatan mutlak: kekuatan, uang,
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sarif Hidayat, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7 Perubahan pada tubuh Rama
"Sistem, ambil hadiah uang lima juta Rupiah!" Perintah itu keluar dari mulut Rama, penuh keraguan dan sedikit gemetar.
[Ding: Proses akan segera di mulai. Tuan ingin mengambilnya secara cash atau dipindahkan ke akun Bank milik Tuan?]
"Cash saja... Aku belum punya akun bank," jawab Rama cepat.
[DING: Pengambilan Uang Sedang Di Proses...]
[DING: Uang telah Berhasil Dicairkan. Silahkan Tuan Cek ke Dalam Saku Celana Milik Tuan.]
Jantung Rama berdebar kencang. Ia segera merogoh saku celana yang masih dikenakannya. Begitu tangannya keluar, ia terpaku, matanya melebar tak percaya. puluhan lembar uang seratus ribuan berwarna merah, rapi dan renyah, tergeletak sempurna di telapak tangannya.
"Sistem... apakah ini... sungguhan?" Rama bertanya, pupilnya memantul pada warna merah cerah uang itu seolah melihat fatamorgana. Ia masih sulit mencerna realitas aneh ini.
[DING: Jika Tuan Meragukannya, Tuan bisa langsung membelanjakannya. Apa yang Sistem berikan 100% keasliannya. Harap kedepannya Tuan tidak lagi meragukan semua Hadiah yang Sistem Berikan.]
Rama seketika terdiam, rahangnya sedikit turun. Entah kenapa, intonasi datar Sistem terasa seperti sentakan kekecewaan yang dalam—seperti seorang gadis yang dihadapkan pada ketidakpercayaan pasangannya.
"Ah... I-itu... Maafkan aku, Sistem," Rama berujar cepat, jemarinya naik menggaruk pelipisnya yang tidak gatal, sebuah gestur canggung. "Bukan maksudku meragukanmu. Hanya saja, aku masih belum terbiasa dengan semua yang aku alami saat ini." Ia menarik napas. "Aku berjanji, mulai sekarang aku akan memercayai semuanya 100% tanpa keraguan lagi." Ada nada tulus dan sedikit rasa bersalah dalam suaranya.
Hening.
Tidak ada balasan dari Sistem. Rama hanya bisa menghela napas lembut, kekecewaan kecil itu ia singkirkan. Ia lalu melonggarkan ikatan handuk yang melilit pinggangnya, membiarkannya jatuh ke lantai.
"Sial... ini benar-benar terlalu besar, bukan?" Saat melihat ukuran kejantanannya, Rama tidak bisa menahan desahan napasnya yang tertahan. Ukurannya begitu besar dan panjang, bahkan dalam keadaan "tertidur" sekalipun.
"Aku tidak bisa membayangkan seberapa ukurannya jika 'terbangun'," gumamnya. Ia mencoba menggenggamnya, merasakan ukurannya yang memenuhi telapak. Seketika, pikiran absurd berputar di kepalanya: bagaimana nanti jika ia memiliki istri? Apakah istrinya akan sanggup menerimanya?
"Apa yang aku pikirkan," Rama tersenyum bodoh, menertawakan kecanggungan pikirannya sendiri.
Tok.
Tok.
Tok.
"Kak... kenapa kamu lama sekali?" Tepat saat itu, suara Bela terdengar lagi, nada suaranya sedikit tidak sabar.
"Iya... sebentar lagi Kakak keluar," jawab Rama, buru-buru meraih dan mengikatkan kembali handuknya. Ia bergegas ke lemari kecil.
Cklek...
"Eh, kok tidak terkunci?" Pikir Bela. Dorongan rasa penasaran karena Rama terlalu lama membuat Bela, dengan wajah polos tanpa prasangka, langsung memutar gagang pintu dan melangkah masuk.
"Kak... apa yang sebenarnya kamu—Akhhhhhhh!"
Teriakan nyaring Bela langsung memecah keheningan kamar, menggema dan memantul. Rama, yang baru saja mengenakan celana, langsung tersentak kaget, nyaris menjatuhkan kausnya.
"Astaga, Bela! Apa yang kamu lakukan!" Rama cepat-cepat menaikkan ritsleting celana. "Bukankah Kakak menyuruhmu menunggu sebentar?"
"I-itu... Ke-kenapa Kakak tidak memakai baju!" Bela berseru gugup, refleks menutupi seluruh wajahnya dengan kedua telapak tangan.
"Kan Kakak baru selesai mandi," jawab Rama santai sembari mengenakan kaus oblong putih. "Lagian kamu kenapa main masuk dan teriak segala? Bagaimana kalau Bapak dan Ibu dengar? Nanti Kakak dikira ngapain-ngapain kamu lagi."
"I-itu... H-habisnya Kakak lama sekali. Bapak dan Ibu menyuruhku memanggilmu," jawab Bela, suaranya sedikit tercekat karena terkejut.
"Sudah. Kakak sudah memakai baju," Rama berjalan mendekat, wajahnya menahan senyum geli. "Kamu ini aneh banget. Menutup muka, tapi jari-jarimu masih terbuka lebar seperti itu," Rama berkomentar, menatap gadis itu yang terlihat luar biasa lucu.
"A-aku...!?" Bela langsung tergagap, seperti seseorang yang tertangkap basah sedang mengintip. Pipinya langsung memerah membara hingga ke telinga. Bela buru-buru menurunkan tangannya, merasa malu karena memang tadi ia sempat mengintip dari celah jarinya dan melihat bentuk tubuh Rama yang terlihat jauh lebih gagah dari yang ia ingat.
Bela mengangkat kepalanya. Ia hendak membuka mulut untuk bertanya, namun Rama mendahuluinya.
"Ayo kita keluar. Bukankah Bapak sama Ibu sudah menunggu di meja makan?" tanya Rama, alisnya sedikit terangkat, menyadari tingkah aneh gadis itu.
"Itu... Ah, o-oke..." jawab Bela, kembali menunduk, menghindari tatapan Rama.
Rama menggelengkan kepalanya sekilas. Ia hanya bisa tersenyum samar melihat tingkah Bela, lalu melangkah keluar. Bela mengekorinya dari belakang, sesekali mencuri pandang ke punggung pemuda itu.
"Kenapa aku merasa Kak Rama semakin tinggi, dan... bahunya jauh lebih lebar?" Pikir Bela. Ia segera menggelengkan kepala, meyakinkan diri bahwa ia mungkin terlalu banyak berhalusinasi.
Di Meja Makan Sederhana
Pak Suhardi tengah membaca koran, sementara Bu Maya meletakkan beberapa lauk pauk dan piring makan. Melihat Rama muncul dengan Bela mengekor di belakangnya, Pak Suhardi langsung melipat korannya, matanya sedikit menyipit mengamati pemuda itu.
"Sebelah sini, Rama," ucap Bu Maya setelah menoleh sekilas, ekspresinya hangat.
"Iya, Bu... Terima kasih," Rama segera duduk di depan Pak Suhardi, sementara Bela duduk di depan Bu Maya.
"Silakan dinikmati, Rama. Maaf, ya, sarapan paginya hanya nasi putih dan lauk seadanya," kata Bu Maya.
Rama menjawab dengan nada lembut, senyum tulus merekah di wajahnya. "Tidak apa-apa, Bu May. Ini sudah lebih dari cukup. Justru Rama yang seharusnya berterima kasih karena sudah diberi tempat tinggal dan makanan yang seenak ini."
Bu Maya tersenyum lembut, tangannya mengambilkan sepiring nasi untuk Rama. "Makan yang banyak, Nak, dan jangan sungkan. Ibu sengaja masak banyak."
Rama mengangguk pelan. Hatinya menghangat, diperlakukan begitu baik layaknya seorang anak kandung. "Terima kasih banyak," ucapnya pelan.
"Bapak ini, kenapa diam saja? Ayo cepat makan sebelum sayurnya dingin," tegur Bu Maya, melihat suaminya hanya diam, tatapannya terkunci pada Rama.
"Rama... kok Bapak merasa kamu seperti ada yang berbeda?" Pak Suhardi akhirnya bersuara, ekspresi bingung tercetak jelas di kerutan dahinya. "Bapak merasa tubuhmu lebih berisi sekarang. Dan mukamu itu kayak terlihat lebih dewasa, seperti umur 20-an..."
Tanpa sadar, Bu Maya mengalihkan pandangannya kembali pada Rama, dan ia baru menyadari bahwa apa yang dikatakan suaminya benar. "Lho... iya, to? Ibu baru sadar. Kamu terlihat lebih bersih dan gagah sekarang."
"Nah kan! Sebenarnya dari tadi juga Bela merasa ada yang beda sama Kak Rama," Bela, yang sedari tadi diam-diam terus memperhatikan Rama dengan saksama, akhirnya ikut menimpali. "Bela pikir cuma perasaan Bela saja, ternyata Bapak sama Ibu juga merasa hal yang sama."
Rama terdiam beberapa saat, melihat mereka semua menatapnya penuh selidik. Ia semakin bingung bagaimana harus menjelaskan.
"Ah, itu... Sebenarnya aku juga merasa ada yang berbeda pada tubuhku sejak bangun tadi. Terasa... terasa lebih segar dan penuh tenaga," ujar Rama, berusaha mencari alasan yang masuk akal. "Tetapi... untuk penampilan, aku merasa sama saja. Tidak ada yang berbeda," kilahnya.
Pak Suhardi dan Bu Maya saling pandang sekilas. "Ah sudahlah. Yang jelas, asalkan Nak Rama tetap sehat, itu sudah baik," ucap Bu Maya, mengibaskan tangannya, tak ingin larut dalam kebingungan. "Ayo kita makan selagi nasinya masih anget." Pak Suhardi pun tidak bertanya lagi, meski ekspresi bingung masih sedikit tersisa di matanya.