Nama: Alethea Novira
Usia saat meninggal: 21 tahun
Kepribadian: Cerdas, sinis, tapi diam-diam berhati lembut
Alethea adalah seorang mahasiswi sastra yang memiliki obsesi aneh pada novel-novel tragis, alethea meninggal dalam sebuah kecelakaan mobil yang di kendarai supir nya , bukan nya ke alam baka ia malah justru bertransmigrasi ke novel the love yang ia baca dalam perjalanan sebelum kecelakaan, ia bertransmigrasi ke dalam buku novel menjadi alethea alegria
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Agya Faeyza, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bryan pulang
Langit senja mulai meredup ketika pintu kedatangan internasional Bandara Soekarno-Hatta perlahan terbuka, menampakkan sosok Bryan yang melangkah keluar dengan tenang. Di sampingnya, Alex, sang asisten pribadi yang setia, menggiring koper hitam elegan sambil melirik arlojinya. Wajah mereka berdua tampak tanpa ekspresi, nyaris seperti patung hidup yang berjalan—tatapan datar, langkah pasti, dan aura dingin yang menyelimuti keduanya.
Di seberang kerumunan penjemput, Leon berdiri dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku jaket kulitnya. Tatapannya tajam, mengikuti setiap gerakan Bryan dengan intensitas yang sulit dibaca. Ia telah menunggu di sana selama lebih dari setengah jam, namun tak menunjukkan sedikit pun kegelisahan.
Bryan akhirnya menghentikan langkahnya tepat di depan Leon. tak ada senyum sambutan. Hanya tatapan yang bertemu dalam keheningan yang sarat makna. Udara seakan menegang di antara mereka. Sesaat kemudian, Leon mengangguk pelan.
"Mobil sudah siap, tuan" katanya singkat, suaranya datar, nyaris seperti perintah.
Bryan membalas dengan anggukan ringan. "Bagus."
Tanpa kata lebih lanjut, ketiganya berjalan beriringan menuju parkiran, langkah-langkah mereka menyatu dalam irama yang senyap. Dunia di sekitar mereka seolah meredup, menyisakan hanya tiga sosok yang bergerak dalam diam, masing-masing membawa cerita dan beban yang belum sempat terucap.
Mobil hitam berlapis anti peluru itu melaju tenang membelah jalan tol yang mulai lengang. Di dalam kabin, Bryan duduk di kursi belakang dengan mata tertutup, seolah mencoba menikmati ketenangan yang sudah lama tak ia rasakan. Di kursi depan, Leon memegang kemudi, mata waspada memindai jalanan. Alex duduk di samping Leon , tangannya masih menggenggam tablet, menyusun laporan terakhir yang belum sempat disampaikan.
Namun, ketenangan itu hanya berlangsung singkat.
Tiba-tiba, dari arah depan, dua SUV hitam melaju menyalip dan memotong jalan. Di saat bersamaan, dari belakang, suara raungan mesin mengancam mendekat cepat—dua kendaraan lain mengepung. Leon langsung menginjak rem dan membelok tajam ke bahu jalan. Seketika mobil berhenti, dan lampu-lampu sorot menyilaukan menyorot dari keempat arah.
“apa mereka semua ingin mencari mati,” gumam Bryan pelan"
"tuan , kita di hadang sekelompok orang, sepertinya mereka tau kalau kita pulang hari ini" . Ucap Alex
"siap kan senjata , sepertinya mereka bukan orang biasa " .ucap Bryan santai
"baik tuan di mengerti " . Ucap axel dan Leon bersamaan .
Pintu mobil terbuka hampir bersamaan.
Leon keluar lebih dulu, tangan kanannya sudah menggenggam pistol otomatis yang terselip di balik jaket. Tatapannya tajam, penuh naluri pemburu. Sementara itu, Alex dan Bryan ke belakang mobil, tubuhnya segera mengambil posisi siaga.
mereka penjahat bersenjata , berpakaian serba hitam bermunculan dari kendaraan musuh, belasan jumlahnya. Mereka mendekat dengan percaya diri, yakin jumlah mereka cukup untuk menumbangkan siapa pun yang berada di hadapan.
Namun mereka salah menilai.
Leon bergerak duluan. Dua peluru melesat cepat dan akurat, menjatuhkan dua orang terdepan. Tanpa henti, ia berlari ke sisi kanan, berlindung di balik bemper dan menembak dari sudut mati. Gerakannya cepat, mematikan, seperti mesin perang yang telah terasah bertahun-tahun.
Alex, meskipun tampak kalem dan tenang, menunjukkan sisi lain yang jarang dilihat siapa pun. Dengan gerakan efisien, ia menjatuhkan satu penyerang dengan tendangan keras, lalu menarik belatinya dari saku tersembunyi. Dalam hitungan detik, dua orang lainnya tumbang.
Bryan berdiri tenang di tengah semua kekacauan itu. Tatapannya dingin, penuh perhitungan. Seorang pria kekar mencoba mendekat dari belakang—kesalahan fatal. Bryan berputar, menangkap pergelangan tangan lawan dan mematahkan dengan satu gerakan bersih. Ia mengambil senjata musuh dan melesakkan peluru ke arah sisa penyerang yang tersisa.
Darah, debu, dan kilatan api senjata memenuhi udara. Dalam lima menit, semuanya selesai.
Para penyerang tergeletak, sebagian melarikan diri dengan sisa tenaga, dan yang lain terbaring tak bernyawa. Leon menendang satu senjata menjauh dan memeriksa sisa-sisa kendaraan musuh.
“mereka benar-benar mencari lawan yang salah ,” gumam Leon sambil menyeka noda darah dari wajahnya.
Bryan hanya menatap malam yang kembali sunyi, lalu berbalik menuju mobil.
"apa kau sudah menyelidiki siapa dalang di balik ini semua" tanya Bryan ke Leon .
" sudah tuan , menurut dari tato yang ada di lengan mereka semua , seperti nya mereka dari anggota mafia umbra yang di komandani valerius " . Ucap Leon serius .
"di balik valerius pasti masih ada ketua yang lebih memberikan perintah , apa kau tau siapa tuan nya valerius ?" . tanya nya lagi
"sejauh ini yang saya tau tuan dari valerius masih abu-abu tuan , dia hanya memerintah di balik layar tanpa keluar dari sarang nya " . Ucap Leon
“Kalau dia pikir ini cukup untuk menghentikan kita,” katanya dingin, “berarti dia sudah salah sangka , xel , telpon Andre , katakan pada nya aku ingin dia mengikuti setiap gerak-gerik dari valerius , setiap valerius bertemu seseorang laporkan semua nya pada ku ” . Ucap Bryan kepada Axel .
"baik tuan " ucap axel .
Alex dan Leon menyusul tanpa banyak bicara. Mesin mobil kembali meraung, membawa mereka melaju ke dalam kegelapan malam—perang sudah dimulai.
***
Di sebuah ruangan gelap dan mewah, jauh dari keramaian kota, suara amarah meledak membelah keheningan. Lantai marmer hitam berkilau di bawah cahaya lampu gantung kristal, tetapi atmosfer ruangan itu dipenuhi aura kematian. Di tengahnya berdiri seorang pria paruh baya, tubuh tegap, sorot mata seperti belati—dialah sang “Tuan”, dalang di balik bayang-bayang dunia bawah yang bahkan nama aslinya jarang diucapkan. Ia hanya dikenal sebagai Regnar.
Valerius berdiri di depannya, keringat dingin menetes di pelipis. ia datang untuk melaporkan apa yang sudah terjadi .
"tuan , orang-orang kita kalah melenyap kan Bryan tuan" . Ucap valerius menunduk
" mereka kalah ? Bahkan jumlah yang lebih banyak dari mereka bertiga ?? kau bercanda Valerius!” raung Regnar, suaranya menggema seperti gemuruh badai. “Belasan! Dan mereka tidak bisa mengalahkan TIGA ORANG?!”
Valerius menunduk, berusaha menyusun kata. “Tuan, mereka bukan orang biasa. Bryan bergerak seperti hantu, Leon seperti binatang buas, dan Alex... dia bahkan lebih berbahaya dari yang kita perkirakan—”
“Diam.” Suara Regnar memotongnya tajam. Ia melangkah mendekat, sepatu kulitnya berderap mantap di lantai. “Aku tak mau mendengar alasan dari seorang pecundang. Aku memberimu sumber daya, orang-orang terbaik, senjata, informasi. Dan apa balasannya? Mayat-mayat tak berguna ini yang datang ?". Ucap regnar marah .
Valerius mencoba bertahan, tapi tubuhnya gemetar. Ia tahu Regnar tak segan menghabisi orangnya sendiri.
Regnar berhenti hanya sejengkal dari wajah Valerius. Tatapannya menelusuk, dingin seperti es kutub. “Bryan bukan hanya target. Dia simbol kekuatan lama yang ingin kulenyapkan. Dan kau... kau bahkan tak bisa menggoresnya sedikit pun.”
Ia berpaling, menatap ke luar jendela yang menghadap ke kota dari lantai atas gedung tinggi. “Mulai saat ini, aku sendiri yang akan mengatur pergerakan. Kau ku beri satu kesempatan—tapi satu kesalahan lagi... dan aku akan kirim kepalamu dalam kotak ke keluargamu.”
Valerius menelan ludah, lalu membungkuk dalam-dalam. “Saya mengerti, Tuan.”
Regnar melambaikan tangan, mengusirnya seperti lalat. Setelah Valerius pergi, ia menekan tombol di meja kaca. Pintu tersembunyi terbuka, memperlihatkan siluet dua sosok asing dengan wajah tertutup bayangan.
“Panggil mereka,” kata Regnar pelan namun tajam. “Jika Bryan ingin perang... kita beri dia neraka.”
"Bryan keponakan ku tersayang sepertinya aku terlalu meremehkan mu hemm?? kau dengan papa mu itu sungguh merepotkan, jika aku tak bisa memiliki harta dan kekuasaan keluarga Alexander, jangan panggil aku regnar " . Gumam nya penuh dengan tatapan menajam .
gak salah Thor, harus nya klo kelas 10 itu sekitar usia 15 th ..
semangat nulisnya Thor 🥰
semangat nulisnya Thor 🥰🥰
penasaran dgn alur nya Thor..
semangat nulisnya ya 🥰🥰🥰