NovelToon NovelToon
Paman, Aku Mencintaimu

Paman, Aku Mencintaimu

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikahmuda / CEO / Cinta pada Pandangan Pertama / Cinta Seiring Waktu / Office Romance / Enemy to Lovers
Popularitas:5.3k
Nilai: 5
Nama Author: khayalancha

Tari Sukma Dara (24 Tahun) tidak tahu kalau sebuah kunjungan dari seseorang akan merubah nasibnya. Kehidupannya di Bandung sangat tenang dan damai, Ia tinggal di rumah tua dan membuka “Toko Bunga Dara”. Namun hari itu semua berubah, seorang perempuan bernama Tirtamarta Kertanegara mengatakan bahwa Ia adalah cucu kandungnya. Ia harus ikut ke Jakarta dan belajar dengan pamannya untuk menjadi penerusnya.
Gilang Adiyaksa (30 Tahun) tentu saja marah saat Tirtamarta yang Ia anggap seperti Ibunya sendiri mengatakan telah menemukan darah dagingnya. Tapi Ia tak bisa melakukan apapun, Ia hanya seorang anak angkat dan sekarang Gilang membimbing Tari agar menjadi cukup pantas dan apabila Tari tak cukup pantas maka Gilang akan menjadi penerus Kertanegara Beauty. Gilang membuat rencana membuat Tari percaya padanya lalu membuatnya hancur.

Hanya satu yang Gilang tidak rencanakan, bahwa Ia jatuh cinta pada keponakannya itu.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon khayalancha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 19 – Kilau yang Tak Pernah Cukup

Sudah lewat pukul sepuluh malam ketika Bu Tirta masih duduk di ruang baca rumahnya. Lampu kristal redup menyala, memberi cahaya hangat ke seluruh ruangan yang dipenuhi rak-rak buku dan koleksi foto-foto lawas. Di atas meja bundar di hadapannya, segelas teh chamomile mengepulkan uap pelan. Namun teh itu tak disentuhnya.

Ia hanya diam, menatap ke arah jendela gelap, dan mendengarkan detik jam yang berdetak perlahan.

Satu bulan.

Sudah satu bulan sejak ia membawa Tari masuk ke hidupnya. Cucunya sendiri. Darah dagingnya. Anak dari putri yang pernah ia usir tanpa sadar. Putri yang ia anggap gagal, dan kini... anak gadis itu hadir kembali dalam bentuk yang tak ia duga.

Namun hingga malam ini, ia sadar: ia tak benar-benar mengenal Tari.

Ia bahkan tak tahu makanan favoritnya, apakah ia menyukai bunga atau tidak, atau film apa yang terakhir ia tonton. Ia hanya tahu Tari lulus agribisnis, pernah merangkai bunga, dan kini bekerja keras mencoba membuktikan diri.

Sama seperti ibunya dulu.

Sama seperti dirinya.

Bu Tirta berdiri dan mengambil salah satu bingkai foto tua di rak belakang. Foto anak perempuannya waktu masih SMA, mengenakan seragam putih abu-abu, tersenyum cerah. Foto itu dulu ia simpan di laci, tapi Rahma diam-diam mengeluarkannya dan membingkainya.

Anaknya pergi ke London dua puluh lima tahun lalu. Membawa lari cintanya, katanya. Membawa luka yang ia toreh sendiri. Dan ia tak pernah mengejarnya. Tak pernah menyesal saat itu. Karena saat itu ia hanya percaya satu hal: kesuksesan menyembuhkan segalanya.

Tapi malam ini, kesunyian menyembuhkan keangkuhan.

"Bu," suara lembut Rahma terdengar dari ambang pintu, membuyarkan lamunan.

"Masuklah, Mah. Temani aku sebentar."

Rahma duduk di seberang, menatap wajah majikannya yang kini tampak lelah.

"Dulu ibumu pernah duduk di kursi itu," kata Bu Tirta pelan. "Dan aku terlalu sibuk untuk menatap wajahnya."

Rahma diam.

"Kau tahu, Rahma, aku mengira kalau aku punya segalanya... aku akan bahagia. Aku pikir, kalau aku bisa membeli rumah sebesar istana, orang-orang akan menghormatiku. Aku pikir kalau aku punya ratusan pegawai dan masuk majalah bisnis, aku tidak akan merasa sendiri lagi."

Ia tertawa pelan, getir. "Tapi ternyata... kesendirian itu tak bisa disumpal oleh lembaran saham."

Rahma menggenggam tangan wanita tua itu. "Ibu tidak sendiri sekarang. Ada Tari."

"Ada Tari. Tapi aku tidak mengenalnya. Aku bahkan memaksa Gilang untuk mengujinya. Aku biarkan dia tertekan. Aku bahkan tak membelanya saat dia dituduh." Matanya berkaca-kaca.

"Gilang juga menyayangi Ibu. Dari dulu. Tapi mungkin... Ibu terlalu keras padanya."

"Aku tahu." Bu Tirta mengangguk pelan. "Aku tahu dia mencintaiku seperti anak sendiri. Tapi aku tak pernah benar-benar memberinya tempat. Aku selalu melihatnya sebagai... bayangan. Pengganti."

Rahma terdiam. Lalu berkata pelan, "Ibu tahu siapa aku?"

Bu Tirta menoleh. "Tentu. Kau anak dari pengurus rumahku dulu. Yang suka menyuapiku bubur saat aku kecil."

"Aku di sini bukan karena itu. Tapi karena aku ingin melihat Ibu tidak lagi sendirian."

Dan malam itu, untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun, Bu Tirta menangis.

Bukan karena kecewa.

Bukan karena gagal.

Tapi karena menyadari bahwa kebahagiaan tidak datang dari pencapaian.

Melainkan dari siapa yang pulang bersamanya.

1
Rendi Best
lanjutkan thor🙏🙏
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!