Flower Florencia hidup dalam tekanan—dari keluarganya yang selalu menuntut kesempurnaan hingga lingkungan universitas yang membuatnya merasa terasing. Di ambang keputusasaan, ia memilih mengakhiri hidupnya, namun takdir berkata lain.
Kim Anderson, seorang dokter tampan dan kaya, menjadi penyelamatnya. Ia bukan hanya menyelamatkan nyawa Flower, tetapi juga perlahan menjadi tempat perlindungannya. Di saat semua orang mengabaikannya, Kim selalu ada—menghibur, mendukung, dan membantunya bangkit dari keterpurukan.
Namun, semakin Flower bergantung padanya, semakin jelas bahwa Kim menyimpan sesuatu. Ada alasan di balik perhatiannya yang begitu besar, sesuatu yang ia sembunyikan rapat-rapat. Apakah itu sekadar belas kasih, atau ada rahasia masa lalu yang mengikat mereka berdua?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon linda huang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7
"Berani melawan Cici, sama saja cari mati," ketus salah satu kakak kelasnya, menatap Flower dengan penuh kebencian.
Namun, bukannya takut, Flower justru tersenyum sinis. Dalam sekejap, tangannya terangkat dengan cepat.
Plak! Plak! Plak!
Tamparannya mendarat telak di wajah ketiga gadis itu. Mereka terhuyung mundur sambil menjerit kesakitan, tangan mereka reflek menutupi pipi yang memerah.
"Aah!" pekik mereka hampir bersamaan.
Flower berdiri tegak, menatap mereka dengan penuh ejekan. "Kalian lemah sekali," ujarnya dengan nada meremehkan. "Hanya tamparan saja kalian tidak mampu mengelak."
Ia menyapu pandang ke arah mereka bertiga, lalu melanjutkan dengan suara tajam, "Cici itu gadis murahan dan pencuri. Apa yang kalian dapat darinya? Sejak dulu dia tidak suka padaku dan sengaja menghasut kalian. Tapi apa hasilnya? Kalian hanya mendapatkan pujian kosong, sementara dia mendapatkan nama. Kalian hanyalah peliharaan tak berguna!" sindirnya tajam.
Muka ketiga gadis itu memerah karena emosi. Salah satu dari mereka menggeram marah, lalu berteriak, "Kurang ajar!"
Tanpa peringatan, mereka bertiga serempak menyerang Flower, mendorongnya ke belakang. Flower hampir kehilangan keseimbangan, tapi dengan sigap ia menangkis serangan mereka. Ruangan kecil itu menjadi medan pertarungan yang semakin panas.
Tiba-tiba, suara langkah cepat terdengar memasuki toilet. Dari balik pintu, muncul sosok yang sangat dikenali Flower—Cici. Dengan wajah penuh amarah, ia langsung menerjang ke arahnya.
"Kau memang pantas dihajar!" teriak Cici sebelum tangannya menjambak rambut Flower dengan kasar.
Flower merintih sesaat sebelum balas menyerang, mencengkeram pergelangan tangan Cici dan memutar tubuhnya untuk melepaskan diri. Tetapi sebelum ia bisa melakukan perlawanan lebih jauh, sesuatu yang tak terduga terjadi.
Blek!
Lampu toilet tiba-tiba padam, meninggalkan ruangan dalam kegelapan total.
"Akh! Apa ini?!" pekik salah satu dari mereka.
Suasana menjadi kacau. Dalam gelap, tidak ada yang bisa melihat siapa yang memukul siapa. Hanya terdengar suara tamparan, dorongan, serta jeritan marah yang bersahut-sahutan.
"Lepaskan aku, dasar gila!"
"Siapa yang menarik rambutku?!"
"Brengsek, ini tangan siapa?!"
Toilet berubah menjadi medan perang dalam kegelapan. Mereka saling serang tanpa bisa melihat siapa lawannya. Suara benda jatuh, sepatu bergesekan dengan lantai, serta teriakan kemarahan terus menggema di dalam ruangan.
Beberapa Jam Kemudian – Kantor Polisi
Cici, dan ketiga kakak kelasnya duduk berjajar di dalam kantor polisi dengan keadaan mengenaskan. Wajah mereka penuh bekas cakaran dan tamparan, rambut panjang mereka kusut berantakan, dan pakaian mereka sobek di beberapa bagian. Sementara Flower terlihat rambutnya cukup berantakan. Wajahnya kemerahan akibat bekas tamparan.
Seorang detektif memandang mereka dengan tatapan penuh kekecewaan. Di belakangnya, para orang tua mahasiswi berdiri dengan ekspresi campuran antara marah dan cemas. Tidak jauh dari sana, Yohanes dan Zoanna sebagai orang tua Cici—juga hadir di tempat kejadian, menatap dengan ekspresi tak percaya.
Detektif itu menghela napas panjang sebelum akhirnya berbicara dengan suara berat.
"Mahasiswi dari universitas ternama saling melukai satu sama lain..." ia menggelengkan kepala. "Lihatlah diri kalian, seperti apa sekarang?"
"Cici, apa yang terjadi? Kenapa wajahmu seperti ini?" tanya Sammy dengan cemas, langsung menghampiri putrinya yang wajahnya penuh bekas luka.
Yohanes juga menatap Cici dengan khawatir, matanya memeriksa luka-luka di wajah dan tangan gadis itu. Namun, berbeda dengan Cici yang langsung dikelilingi dengan perhatian, Flower yang duduk di sampingnya justru diabaikan oleh kedua orang tuanya. Seolah keberadaannya tidak berarti.
Flower hanya tersenyum tipis, tetapi ada kepedihan di matanya.
Sementara itu, detektif yang menangani kasus ini menatap Flower dengan serius. "Flower Florencia, di mana orang tuamu? Apakah kamu sudah menghubungi mereka?" tanyanya.
Sebelum Flower bisa menjawab, suara langkah tergesa-gesa terdengar di luar kantor polisi. Tidak lama kemudian, Alan dan Wilson masuk dengan wajah tegang.
"Pa, Ma, Cici!" seru mereka, langsung menghampiri meja polisi dengan emosi yang membara.
Melihat kedatangan kakak-kakaknya, Cici langsung berakting manja. Ia menggenggam tangan Wilson dan memasang ekspresi menderita. "Kakak, aku dipukul hingga terluka. Sampai saat ini masih sakit," ujarnya dengan suara yang dibuat lemah.
Mata Wilson menyipit tajam. Rahangnya mengeras saat ia melirik wajah adiknya yang penuh luka. "Siapa yang melukaimu? Beritahu kakak!" suaranya dingin, penuh ancaman.
Cici menundukkan kepala sejenak, lalu mengangkat wajahnya dengan ekspresi yang dibuat sedih. "Flower menyerangku karena masih marah padaku," jawabnya penuh drama.
Mata Wilson langsung berkilat marah. Ia mengalihkan pandangan tajamnya ke arah Flower. "Kenapa kau selalu mencari masalah?" bentaknya kasar.
Flower tetap tenang, tidak menunjukkan rasa takut sedikit pun. Ia hanya menatap Wilson dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Tolong tenang. Ini kantor polisi," ujar polisi itu dengan tegas, berusaha menghentikan ketegangan yang semakin memanas.
Namun, Zoanna tidak bisa menahan amarahnya. Ia menatap Flower dengan penuh kekecewaan dan kemarahan. "Kurang ajar sekali! Cici sangat baik padamu, tapi kau malah melukai wajahnya dan menamparnya!" serunya penuh emosi.
Flower menghela napas panjang, lalu menatap Zoanna dengan ekspresi datar sebelum akhirnya berkata, "Nyonya...."
Zoanna mengernyit, ekspresinya berubah bingung. "A-Apa? Nyonya?" tanyanya, tidak menyangka mendengar panggilan itu keluar dari mulut putrinya sendiri.
Flower menatap ibunya dengan penuh sindiran. "Nyonya, logika seperti apa yang membuat kalian percaya kalau aku menyerang anak kesayanganmu? Mereka berempat, sementara aku hanya seorang diri. Mereka menghina putrimu yang satu ini, dan aku membelanya serta melawan mereka. Tapi, kenapa malah aku yang dituduh?" ujarnya dengan nada tajam dan sengaja menekan kata "putrimu" dengan sinis.
Suasana mendadak sunyi.
Wajah Cici berubah tegang, sementara teman-temannya saling berpandangan dengan gugup. Salah satu dari mereka akhirnya membuka suara dengan tergagap, "T-Tidak! Bukan seperti itu!"
Yang lain pun ikut menimpali. "Kami tidak menghina siapa pun! Cici adalah teman kami!" ujarnya, seakan mencoba membersihkan nama mereka.
Polisi yang sedari tadi mendengar perdebatan itu akhirnya kembali menatap Flower. "Flower Florencia, kamu belum menghubungi keluargamu?" tanyanya lagi.
Flower mengangkat bahu ringan. "Tidak bisa. Mereka tidak bisa datang," jawabnya santai.
Polisi itu mengernyit. "Mereka ada di mana?" tanyanya dengan curiga.
Flower menatap lurus ke arah keluarganya, lalu tersenyum tipis sebelum berkata, "Di alam lain."
Hening.
Jawaban itu membuat semua orang di ruangan terdiam sejenak. Wilson dan Alan langsung menatap Flower dengan ekspresi terkejut dan menahan emosi. Sementara Sammy dan Marcus tampak kaku, seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
Detektif itu menghela napas, mencoba untuk tetap profesional. "Lalu, apakah kamu memiliki saudara?" tanyanya lagi.
Flower tertawa kecil, lalu menjawab dengan nada sarkastik, "Iya, aku memiliki dua kakak laki-laki. Sayang sekali, mereka tidak peduli padaku. Bahkan kalau aku mati, mereka juga tidak peduli."
Matanya menatap langsung ke arah Wilson dan Alan, membuat kedua kakaknya itu menegang.
"Mereka hanya fokus pada hidup mereka sendiri," lanjut Flower, suaranya penuh sindiran. "Jadi aku tidak bisa menghubungi mereka. Karena aku tidak punya nomor mereka."
Wilson mengepalkan tangannya, sementara Alan hanya diam dengan rahang mengatup rapat. Sammy menoleh ke arah kedua putranya dengan ekspresi tidak nyaman.
Flower tersenyum miring. "Lucu, bukan?" ujarnya pelan, tapi cukup tajam untuk menusuk ego keluarganya.
Suasana di ruangan itu semakin tegang. Semua mata tertuju pada Flower yang duduk dengan ekspresi datar, tetapi kata-katanya tajam seperti pisau yang langsung menusuk hati keluarganya.
"Aku memiliki dua orang kakak," Flower mengulang dengan nada sinis. "Tapi di mata mereka, aku hanyalah adik yang bodoh dan menyusahkan orang."
Wilson mengepalkan tangannya di sisi tubuhnya, sementara Alan mengalihkan pandangan, seakan tidak ingin berhadapan langsung dengan tatapan tajam Flower.
Flower tertawa kecil, penuh ironi. "Kakak pertamaku sangat kaya," lanjutnya, menatap Wilson dengan pandangan penuh makna. "Dan kakak keduaku seorang penyanyi terkenal." Tatapannya beralih ke Alan yang sedang menahan emosi.
Kemudian, ia menghela napas panjang sebelum berkata dengan nada lebih pelan, tetapi jauh lebih menyakitkan, "Sayang sekali, aku hanya seorang anak yatim piatu."
Ucapan itu membuat ruangan semakin sunyi. Bahkan Cici yang biasanya suka menanggapi, kali ini hanya menatap Flower dengan wajah sulit ditebak.
Zoanna, yang masih berdiri di dekat Cici, merasakan dadanya sesak mendengar kata-kata itu. "Flower..." panggilnya pelan.
Namun, Flower justru tersenyum sinis sebelum melanjutkan, "Nyonya, jangan salahkan aku kalau aku kurang ajar."
Zoanna terkejut dengan sebutan "Nyonya" yang kembali diulang oleh Flower. Ada sesuatu dalam nada suaranya yang membuatnya merasa ditampar secara tidak langsung.
"Karena sejak kecil, ibuku tidak pernah mendidikku."
Sekali lagi, kata-kata itu menghujam jantung Zoanna tanpa ampun. Wajahnya langsung memucat, tangannya mengepal di sisi tubuhnya.
Wilson dan Alan saling berpandangan, tetapi tidak ada yang berani membuka suara.
Flower tersenyum tipis. "Jadi, salahkan saja ibuku, Nyonya."
"Ayahku juga sudah meninggal, Jadi aku tidak pernah dididik oleh mereka. Hanya kedua kakakku saja diberi kehidupan yang mewah oleh mereka. Setelah itu mereka pindah alam. Sementara aku adalah anak dan adik yang terlantar. Jadi kalau Tuan dan Nyonya masih tidak puas, silakan penjarakan aku!" ucap Flower dengan senyum.
Senyuman Flower dan setiap ucapannya membuat keluarganya terdiam dan penasaran dengan sikap Flower yang selama ini diam dan berubah menjadi orang lain.
terimakasih untuk kejujuran muu 😍😍😍 ..
sally mending mundur saja.. percuma kan memaksakan kehendak...
kim gak mau jadi jangan di paksa
ka Lin bikin penasaran aja ihhh 😒😒😒
penasaran satu hall apakah Flower akan pergi dari Kim atau bertahan sama kim 🤨