Prita dihantui mimpi-mimpi samar tentang sosok misterius dan sosok asing bernama Tana' Bulan. Di tengah kesehariannya yang tenang di Loka Pralaya bersama sahabat-sahabatnya, Wulan dan Reida, serta bimbingan bijak dari Nyi Lirah, mimpi-mimpi itu terasa lebih dari sekadar bunga tidur.
Sebuah buku kuno berkulit, Bajareng Naso, menjadi kunci misteri ini. Ditulis oleh Antaboga, legenda di dalamnya menyimpan jejak masa lalu Prita yang hilang—ingatan yang terkubur akibat pengembaraannya melintasi berbagai dunia. Nyi Lirah yakin, memahami legenda Bajareng Naso adalah satu-satunya cara untuk memulihkan kepingan-kepingan memori Prita yang berserakan.
Namun, pencarian kebenaran ini tidaklah mudah.
Akankah Prita berhasil memecahkan misteri mimpinya dan memulihkan ingatannya yang hilang? Siapakah tamu tak diundang itu, dan apa hubungannya dengan rahasia yang dijaga oleh Luh Gandaru?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Margiyono, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bunga Sambutara
Benteng Jaga Utara...
Setelah mendapat perintah dari Nyi Lirah, Arka dan kedua temannya segera bergegas pergi ke benteng jaga utara pagi itu.
Dengan mengendarai Lesung Orembai mereka melesat cepat terbang menuju ke arah utara, ke tempat di mana pondok jaga berada. Seperti sebelumnya, Arka dan Carla duduk di bangku depan bertindak sebagai pengemudi Lesung Orembai, sedangkan Vyn duduk tenang di bangku belakang.
Setelah beberapa menit berlalu, sampailah mereka di pondok utara, Lesung Orembai yang mereka naiki perlahan melambat dan kemudian turun dengan perlahan di dekat pondok jaga. Mereka bertiga segera bersiap turun dari kendaraannya.
“Ayo, turun!” kata Arka yang lebih dulu turun dari Lesung Orembai.
Carla dan Vyn kemudian turun menyusul Arka yang sudah terlebih dahulu berjalan ke arah semak-semak di mana tadi malam ia terjungkal di situ setelah mendapat serangan sambaran petir.
Ia berjongkok mencari bebatuan yang mereka sebut dengan batu Zato.
“Hmm... seharusnya ada di sini,” guman Arka.
“Iya, “ Carla menimpali ucapak Arka, “batu itu seharusnya sudah muncul, peristiswa tadi malam itu kan lumayan seru!” kata Carla.
“Seru?” balas Vyn dengan nada tanya.
“Seru apanya?,” lanjut Vyn.
“Kalian hampir mati disambar petir tau! Dan itu kamu bilang cuma “seru”?” jawab Vyn sambil mencoba membuat matanya melotot.
Carla hanya diam saja mendengar celotehan Vyn, ia sudah paham dengan tingkah laku temannya itu, dan hal itu dilakukan hanya untuk membuatnya bertingkah seperti itu.
Sementara Arka, dia tengah sibuk memeriksa setiap celah dan sudut tempat itu, semak-semak, bebatuan dan rerumputan yang ada di situ diperiksanya satu per satu, berharap menemukan batu zato yang diperintahkan oleh tetua mereka, Nyi Lirah.
“Benar kata Bei Tantra,” guman Arka setelah tidak menemukan keberadaan batu zato di tempat-tempat yang ia cari.
“Iya, “ sahut Vyn, “hanya ada batu-batu biasa,” lanjutnya.
Setelah sekian lama mencari batu zato di tempat itu, mereka belum juga berhasil menemukan satupun bebatuan zato itu, Arka nampak berpikir keras, apa yang akan dilakukan selanjutnya.
“Kita ke pantai itu saja, Arka!” kata Carla setelah merasa usaha mereka di tempat itu tidak akan membuahkan hasil.
“Sebentar,” kata Arka.
Dia mencoba berkonsentrasi untuk menangkap setiap getaran energi yang barangkali bisa ia rasakan di tempat itu. Mendeteksi keberadaan barang yang mereka cari, batu Zato. Namun upaya itupun tak membuahkan hasil seperti yang diharapkannya.
“Benar kata Carla, Arka!” kata Vyn mengiyakan pendapat Carla untuk mencari batu zato itu di tempat lain, yaitu pantai tempat gadis itu terdampar.
“Baiklah, aku pikir juga begitu,” jawab Arka menyerah.
“Bagaimana kalo kita beradu kecepatan untuk sampai ke pantai?” tantang Vyn kepada kedua temannya.
“Hah?... nggak salah tuh?” balas Carla mengejek Vyn.
Ia tahu bahwa Vyn adalah teman mereka yang paling junior, kemampuannya jauh berada di bawah mereka berdua.
“He.he.he...,” ucap Vyn nyengir mendengar jawaban Carla, “siapa tahu hari ini aku menang,” balasnya
“Ayolah kalau begitu, sekalian uji kemampuan kamu Vyn.” Kata Arka memberi semangat kepada juniornya itu.
Tak lama kemudian, ketiganya tampak bersiap dan mengatur kuda-kudanya, dan dengan sekali gerakan tubuh ketiganya sudah melesat berlari cepat menuju pantai Sambutara, tempat di mana gadis tanpa nama itu terdampar pertama kali.
Tidak sampai lima menit mereka sudah sampai di pantai Sambutara yang jaraknya sekitar tiga kilometer dari tempat mereka semula. Nafas Vyn terengah-engah ketika sampai di tepian pantai, ia meresa puas karena berhasil mengalahkan kedua seniorya, Arka dan Carla.
“Wah, wah... kamu banyak kemajuan Vyn.” Puji Arka kepada Vyn.
Vyn tersenyum bangga pada dirinya sendiri, walaupun dalam hati ia tahu bahwa keduanya memang sengaja mengalah darinya. Carla hanya tersenyum cemberut, sambil melirik ke arah Vyn. Terik matahari siang di pantai itu semakin menyulitkan mereka untuk menemukan keberadaan batu-batu zato yang mereka cari.
Batu Zato adalah bebatuan magis yang ada di dunia Loka Pralaya, batu itu akan selalu muncul apabila terjadi peristiwa-peristiwa penting, perang yang berkecamuk, ledakan gunung, bencana alam atau hal-hal yang besar pasti akan memunculkan batu-batu zato di sekitar tempat kejadian.
Batu itu menyimpan memori yang dapat dibaca kembali oleh orang-orang Loka Pralaya, warnanya biru berkilauan agak redup, oleh karenanya akan lebih mudah ditemukan pada malam yang gelap dari pada siang hari.
Bibir pantai Sambutara yang dipenuhi dengan bebatuan dan kerikil itu, setiap celah dan sudutnya sudah disisir dan digali, semak-semak yang tumbuh tak jauh dari pantai juga sudah mereka periksa, namun hingga matahari berada tepat di atas langit mereka belum berhasil juga menemukan batu itu.
“Bagaimana kalau kita kembali saja ke pondok jaga, Arka?” tanya Carla.
“Hmmm, aku masih belum menyerah, Carla.” Jawab Arka, lalu ia melanjutkan, “akan ku pastikan kita tidak kembali dengan tangan kosong,” lanjut Arka.
“Maksudmu?” Carla menyipitkan matanya, seperti meminta penjelasan atas maksud ucapan Arka.
“Coba kamu pikir lagi deh,” kata Arka sambil menggaruk keningnya yang tak gatal, “tujuan kita mencari batu-batu zato itu apa?” tanya Arka memberi teka-teki.
“Ya, mencari petunjuk.” Jawab Carla singkat
“Nah!,... itu, “ Arka menimpali ucapan Carla dengan singkat, seperti hendak memberikan kejutan baru.
“Nah itu apanya?” balas Carla, “Apa maksudmu, Arka?” tanya Carla terhenti sejenak.
Namun ketika dilihatnya Arka tersenyum sambil memandang matanya dengan tatapan fokus, Carla seperti tersentak menerima kode dari tatapan mata Arka itu.
Ia seperti mendapat jawaban dari sorot mata Arka itu.
“Ah .... mengapa baru kepikiran sekarang ya?” kata Carla seperti menemukan ide baru
“Nah,. Sudah tahu maksudku kan?” Arka berbalik tanya kepada Carla
“Iya, dan aku pikir batu zato hanyalah salah satu petunjuk, artinya masih ada petunjuk yang lain lagi” jawab Carla.
Vyn hanya bisa mendengarkan kedua seniornya itu beradu pendapat, matanya menyipit seperti ikut menyelami pikiran kedua temannya itu.
Matahari yang bersinar terik siang itu, memaksa mereka bertiga mencari tempat berlindung yang agak teduh, sekedar untuk mendinginkan temperatur tubuh mereka. Rimbunnya dedaunan pohon Sambutara yang berjajar di sepanjang bibir pantai itu menjadi pilihan mereka, daunnya yang rimbun itu memberikan pasokan eksigen yang akan menyegarkan paru-paru mereka.
Dan saat mereka duduk menyandarkan punggungnya di batang pohon itu, mata mereka menatap ke atas, rimbunnya daun Sambutara, bunga-bunga yang mekar saat ada makhuk baru itu .....
Carla tertegun sejenak, matanya tak bisa lepas dari bunga-bunga Sambutara itu. Ia bangkit dari posisi bersandarnya, punggungnya ditegakkan.
“Arka, “ tanya Carla sambil matanya tetap fokus melihat ke arah bunga Sambutara
“Hm.. iya” jawab Arka
“Bukankah bunga sambutara itu hanya akan mekar jika ada makhuk asing yang memasuki dunia ini?” tanya Carla.
Arka hanya mengangguk menatap mata Carla, menunggu penjelasan.
“Itu artinya, bunga-bunga itu pasti menyimpan energi dari momen itu,” Carla terdiam sejenak, lalu ia melanjutkan, “dan menurutku kita bisa menggunakannya untuk mencari tahu sesuatu.”
Katanya kemudian seperti berguman pada dirinya sendiri, lalu seperti bertanya kepada diri sendiri ia berguman:
“tapi bagaimana caranya ya?”
Vyn yang mendengar pertanyaan dari Carla itu ikut-ikutan mengeryitkan dahinya, nampaknya ia turut berpikir untuk menjawabnya.
Demikian juga dengan Arka, ia setuju dengan pernyataan Carla tentang bunga Sambutara itu, namun belum tahu bagaimana caranya agar energi dari bunga Sambutara itu dapat digunakan sebagai petunjuk.
Dan di saat Arka dan Carla sedang memutar otak mereka untuk mencari jawaban bagaimana caranya memanfaatkan energi dari bunga sambutara untuk mencari petunjuk tentang keberadaan Bei Tama, atau setidaknya petunjuk tentang apa yang sebenanya terjadi di tempat itu, dengan ringannya Vyn nyeletuk:
“Hey,.. kita bawa saja bunga itu kepada Nyi Lirah!” kata Vyn yang terdengar seperti bunyi petir di siang itu mengejutkan Arka dan Carla, bukan karena suaranya yang keras, namun mereka berdua sama sekali tidak berpikir sampai ke arah itu, kenapa tidak mereka bawa saja kepada Nyi Lirah? Ah, itu sungguh ide yang brillian!
“Ahaaa... kamu jenius Vyn!..” kata Carla sambil melompat memeluk Vyn erat-erat.
Arka hanya tersenyum melihat hal itu membiarkan keduanya merayakan momen-momen itu. dan selanjutnya mereka bergegas memetik beberapa bunga Sambutara yang ada di sekitar bibir pantai itu, menyimpannya dengan baik ke dalam tas kulit yang sudah mereka siapkan.
Setelah merasa cukup dengan bunga itu, mereka bertiga segera meninggalkan pantai itu menuju ke pondok jaga, tempat mereka meninggalkan Lesung Orembainya, dan selanjutnya kembali pulang menuju ke Gubuk Manah untuk memberikan laporan kepada Nyi Lirah.