"Gue tahu gue salah," lanjut Ares, suaranya dipenuhi penyesalan. "Gue nggak seharusnya mengkhianati Zahra... Tapi, Han, gue juga nggak bisa bohong."
Hana menggigit bibirnya, enggan menatap Ares. "Lo sadar ini salah, kan? Kita nggak bisa kayak gini."
Ares menghela napas panjang, keningnya bertumpu di bahu Hana. "Gue tahu. Tapi jujur, gue nggak bisa... Gue nggak bisa sedetik pun nggak khawatir sama lo."
****
Hana Priscilia yang mendedikasikan hidupnya untuk mencari pembunuh kekasihnya, malah terjebak oleh pesona dari polisi tampan—Ares yang kebetulan adalah tunangan sahabatnya sendiri.
Apakah Hana akan melanjutkan balas dendamnya, atau malah menjadi perusak hubungan pertunangan Zahra dan Ares?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nunna Zhy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 1
Malam kembali turun dengan gemerlap lampu kota yang menyamarkan sisi gelapnya. Hana Pricillia—gadis penuh dendam, berdiri di depan sebuah klub malam Inferno, mengamati pintu masuknya yang dijaga ketat oleh dua pria bertubuh kekar. Musik berdentum keras dari dalam, menciptakan getaran samar di udara.
Setelah beberapa detik menimbang, gadis cantik dengan jaket kulit hitam sedikit kebesaran itu melangkah masuk ke dalam klub. Suara musik semakin keras, disertai aroma alkohol dan asap rokok yang menusuk. Hana melangkah dengan hati-hati, matanya memindai setiap sudut ruangan, mencari tanda-tanda yang mungkin membawanya lebih dekat pada sebuah jawaban.
Gadis itu duduk di kursi bar dengan santai, menatap bartender di depannya, lalu tanpa banyak basa-basi, menyodorkan amplop tebal berisi uang tunai. Gerakannya cepat, memastikan tidak ada yang memperhatikan.
Bartender itu melirik isi amplopnya sekilas, lalu menyisipkannya ke dalam saku celemek dengan cekatan. Dia mendekat ke arah Hana, suaranya hampir tak terdengar di tengah dentuman musik. “VVIP, dini hari,” bisiknya sebelum menyodorkan segelas soda dingin.
Hana mengangguk singkat, mengambil gelas itu dan meminumnya perlahan. Bartender ini adalah salah satu sumber informasinya—seseorang yang berhasil dia suap sebelumnya untuk memata-matai pergerakan tertentu di klub ini.
***
Dini hari datang dengan keheningan yang aneh, seolah dunia luar ikut menahan napas untuk apa yang akan terjadi. Musik di Inferno tetap menggelegar, tetapi di dalam kepala Hana, hanya ada suara denyut jantungnya sendiri.
Hana berdiri di depan cermin. Dengan gerakan mantap, dia melepaskan jaket kulit hitamnya, memperlihatkan dress pendek nan seksi berwarna hitam yang membungkus tubuhnya dengan sempurna. Sebuah kalung tipis menghiasi lehernya, memberikan sentuhan elegan pada penampilannya yang baru. Dia menggerai rambut panjangnya, membiarkannya jatuh hingga bahu, lalu mengusap sedikit lipstik merah di bibirnya.
Melihat pantulan dirinya di cermin, Hana menarik napas panjang. Sekarang, dia benar-benar terlihat seperti salah satu ladies yang sering menemani para tamu VVIP di klub ini. Penampilan ini bukan pilihannya, tapi dia tahu, untuk memasuki wilayah yang penuh bahaya seperti ini, dia harus memainkan peran dengan sempurna.
Setelah keluar dari toilet, dia menatap bartender yang berdiri di balik meja, memberikan isyarat samar dengan kepalanya ke arah pintu di ujung ruangan. Itu adalah pintu menuju area VVIP—zona tersembunyi di mana semua rahasia kelam klub ini tersimpan.
Tanpa ragu, dia melangkahkan kaki jenjangnya menuju pintu VVIP, melewati pengunjung yang terhuyung-huyung karena mabuk dan penjaga yang tampak terlalu sibuk dengan obrolan mereka sendiri untuk peduli. Di depan pintu, dua pria berbadan kekar berdiri dengan sikap waspada, tatapan mereka tajam dan menakutkan, seperti elang yang mengawasi mangsanya.
Bartender yang tadi menerima uang dari Hana muncul di sampingnya, memberikan isyarat singkat kepada para penjaga. Tanpa banyak bicara, mereka membuka pintu dengan gerakan yang penuh otoritas, dan Hana melangkah masuk.
Ruangan VVIP terasa jauh lebih menakutkan dibandingkan area klub yang riuh. Suara musik samar menggema, tapi suasananya lebih sunyi, menciptakan aura misterius yang hampir bisa diraba. Lampu redup memantulkan kilauan dari dinding kaca dan meja-meja yang dihiasi botol-botol alkohol mahal, menciptakan suasana glamour yang dipenuhi dengan ketegangan.
Di sudut ruangan, beberapa orang duduk santai di sofa kulit hitam yang elegan, namun tatapan mereka tajam seperti pisau, seolah-olah siap menerkam jika ada yang berani melangkah terlalu jauh. Hana menelan ludah, berusaha menenangkan diri meskipun detak jantungnya berdebar keras.
Dia melangkah mendekati salah satu meja, di mana seorang pria dengan jaket kebesaran Red Dragon duduk, dikelilingi oleh dua wanita bergaun sexy yang menonjol dada montoknya yang menggoda. Pria itu—Aaron Wijaya, pemimpin geng motor Red Dragon—dikenal bukan hanya karena kekuasaannya, tetapi juga karisma yang menawannya.
Begitu mata Aaron menemukan sosok Hana, sebuah kilatan minat melintas di wajahnya. Dia menilai kehadiran gadis cantik ini dari atas hingga bawah, mengekstrak setiap detail dari penampilannya yang memikat. Dengan balutan dress yang pas di tubuhnya yang sintal serta riasan yang simpel namun memiliki daya tarik tersendiri, Hana terlihat seperti bintang yang terjebak dalam dunia malam yang keras dan berbahaya.
Senyum tipis tersungging dari bibir Aaron. "Kemarilah," titahnya dengan suara dalam dan menggoda, matanya tak pernah lepas dari Hana. Dengan gerakan angkuh, dia menyingkirkan dua wanita di sebelahnya, seolah-olah mereka hanyalah ornamentasi yang mengganggu perhatian.
Dengan langkah pelan namun pasti, Hana mendekat. Semua tatapan di dalam ruangan seolah mengikutinya, menciptakan aura yang menakutkan sekaligus menggoda.
Tanpa ragu, Hana dengan beraninya duduk di pangkuan Aaron langsung.
"Wow," Aaron terkekeh, seperti predator yang telah menemukan mangsanya. "Gue suka keberanian lo." Dengan satu tangan, dia menyentuh wajah cantik Hana dengan lembut, tetapi sentuhannya terasa penuh kuasa.
"Siapa nama lo?"
Hana mendekatkan wajahnya, dengan suara yang nyaris tak terdengar, ia berbisik "Esther," tepat di telinga Aaron. Suaranya yang lembut dan sexy seperti mantra, mengaitkan keduanya dalam permainan yang berbahaya.
Pria itu tersenyum tipis, matanya menyiratkan rasa penasaran yang bercampur kekaguman. "Esther," ucapnya pelan, mengulang nama itu dengan penuh kesan. "Nama yang indah."
Tangan Aaron yang nakal bergerak perlahan, menyentuh pipi Hana dengan sentuhan yang lembut namun penuh kendali. Jari-jarinya yang kasar mengusap bibir ranum Hana, menelusuri lekuknya dengan gerakan yang menggoda. Sensasi itu membuat napas Hana tertahan, tapi dia menolak untuk terlihat lemah di hadapannya.
Aaron mendekatkan wajahnya, tatapannya terkunci pada bibir Hana yang memikat. Udara di antara mereka terasa semakin tipis, intensitasnya membakar seperti api yang hampir tak tertahankan. Namun, saat bibir Aaron hampir menyentuh miliknya, Hana dengan cepat mengangkat tangannya, meletakkan jarinya di bibir pria itu, menghentikan gerakannya.
"Oh?" gumam Aaron, menarik diri sedikit. Senyum di wajahnya memudar untuk sesaat, digantikan dengan seringai kecil yang menyiratkan rasa tertantang. "Berani banget lo nolak gue?"
"Gue ke sini bukan untuk jadi mainan," kata Hana tegas.
Aaron mengamati gadis itu beberapa saat, ekspresinya sulit ditebak. Lalu, dia tertawa kecil—tawa yang dalam, rendah, dan menggema di ruangan, menarik perhatian beberapa orang di sekitar mereka. "Lo emang beda, dan gue suka itu."
Tanpa peringatan, Aaron meraih pinggang Hana dan menarik tubuh rampingnya ke dalam pelukannya. Genggamannya kuat, membuat Hana sadar bahwa dia sedang berhadapan dengan seseorang yang tidak terbiasa mendengar kata "tidak."
"Mulai malam ini, lo milik gue, Esther."
Pengakuan itu membuat jantung Hana berdebar, bukan karena romansa, tapi karena rasa kemenangan kecil yang mulai tumbuh di dalam dirinya. Dia berhasil mendapatkan perhatian Aaron, ketua Red Dragon—dan itu artinya dia semakin dekat pada tujuannya.
Namun, di balik senyum tipis yang muncul di wajahnya, Hana tahu ini baru langkah pertama. Jalan menuju balas dendamnya masih panjang, dan bermain dengan api seperti Aaron berarti dia harus siap menghadapi segala risiko. Tapi dia tidak peduli. Balas dendam itu sudah terlalu lama tertunda, dan sekarang dia sudah berada di pusat kekuatan yang dia butuhkan untuk menghancurkan semuanya.
***
Enam bulan yang lalu....
"Bangun, ayang… tolong bangun..." Hana menangis tersedu-sedu, genggamannya pada tangan Rico semakin erat, seolah ingin mentransfer setiap tetes kehangatan yang masih tersisa dari tubuh kekasihnya. Tapi tangan itu dingin, kaku, tak ada lagi balasan seperti biasanya.
"Lo janji bakal menang balapan malam ini, tapi kenapa malah tidur di sini, hm? Lo nggak mau peluk gue, Rico Fernando!" Imbuhnya dengan terisak-isak, suaranya bergetar penuh harap. Tangan lentiknya tak henti-henti mengguncang tubuh kaku Rico—kekasihnya, berharap ada keajaiban, berharap pria itu membuka mata dan tertawa, berkata ini semua hanya lelucon buruk atau prank.
Namun kenyataan tetap dingin. Tubuh itu tetap diam, tak bergerak.
"Dokter! Tolong periksa pacar saya lagi! Dia nggak mungkin meninggal, Dok!" jerit Hana tiba-tiba. Matanya liar mencari siapa pun yang bisa memberikan harapan, meski hanya setitik.
Seorang perawat dengan lembut mendekat, menyentuh bahu Hana. "Mbak, ikhlaskan. Mas nya sudah meninggal dunia."
Hana menggeleng keras, air matanya semakin deras. "Nggak! Dia masih hidup! Tolong panggil dokter! Pacar saya nggak mungkin meninggal. Dokter! Dokter, tolong periksa Rico lagi!" Suara teriakan Hana memecah udara di ruang IGD yang suram.
Si perawat tetap mencoba menenangkannya, tetapi Hana tak peduli. Dunia terasa runtuh di sekelilingnya, menyisakan kekosongan yang menyesakkan dada.
Gadis itu jatuh terduduk di lantai, masih memegangi tangan Rico yang dingin, seolah jika ia cukup lama di sana, Tuhan akan mengubah takdir buruk ini. "Ayang… bangun, lo nggak boleh ninggalin gue… gimana gue hidup tanpa lo?" bisiknya, hampir tak terdengar di antara isakannya yang terus memburu.
Hana tahu, di sudut hatinya yang paling dalam, Rico tak akan kembali. Tapi ia belum siap menerima takdir buruk itu. Tidak malam ini. Tidak sekarang.
***
Saat tubuh Rico perlahan diturunkan ke liang lahat, Hana berdiri di tepi gundukan tanah dengan tubuh gemetar. Pandangannya kabur oleh air mata yang terus mengalir tanpa henti. Suara talqin yang dilantunkan oleh Ustaz bercampur dengan isak tangis keluarga dan kerabat di sekitarnya, namun Hana nyaris tak mendengar apa-apa.
Ketika tubuh Rico sepenuhnya berada di liang lahat, Hana seolah kehilangan kekuatannya. Lututnya terasa lemas, nyeri tak tertahankan menyelimuti tubuhnya. Kakinya serasa tak bertulang, membuatnya jatuh terduduk di depan makam yang belum selesai ditimbun. Tangannya yang bergetar meraup tanah di sampingnya, mencengkeramnya erat seolah itu satu-satunya pegangan yang tersisa di dunia ini.
"Ayang... kenapa ninggalin gue secepat ini?" bisiknya pelan, hampir tak terdengar. Namun rasa sakit dalam suaranya terasa menusuk hati siapa pun yang mendengarnya.
Seorang sahabat, Haruka mencoba membantunya berdiri, namun ia menepis dengan lembut, memilih tetap di tempatnya. Pandangannya terpaku pada makam yang kian tertutup tanah. Setiap sekop tanah yang dilemparkan terasa seperti pukulan lain pada hatinya.
Saat tanah terakhir diratakan, Hana memejamkan matanya. Ada sesuatu yang patah dalam dirinya, sesuatu yang tak akan pernah bisa diperbaiki.
"Han, lo kudu kuat, ayok kita pulang."
Hana tak mengindahkan Ruka, tangan kecilnya gemetar, menyentuh batu nisan yang baru saja dipasang, seolah berharap bisa merasakan kehangatan yang dulu selalu ada.
“Gue nggak bisa... gue nggak bisa ninggalin Rico di sini sendirian, Ruka.” katanya lirih.
Ruka menghela napas panjang, mengusap lembut punggung sahabatnya. “Han, Rico nggak pernah sendirian. Lo harus percaya, Rico ada di tempat yang lebih baik sekarang. Dan dia pasti nggak mau lihat lo kayak gini...”
Hana menggeleng keras, tangisnya semakin pecah. "Kalau tahu kata-kata terakhirnya semalam itu adalah kalimat perpisahannya, gue nggak akan izinin dia balapan Ruka... Dan, sekarang dia pergi...”
Ruka menunduk, tak bisa membantah kata-kata Hana. Semua yang terjadi malam itu terasa seperti luka yang tak mungkin terhapus.
**Flashback On**
Deru mesin memenuhi udara malam, bercampur dengan sorak-sorai penonton setia yang selalu hadir di setiap pertandingan balap jalanan. Malam ini, arena penuh dengan semangat dan adrenalin yang meluap. Semua mata tertuju pada satu nama—Rico Fernando, yang menggantikan El Zio, pembalap utama Speed Demon, dalam pertandingan melawan Red Dragon.
Rico berdiri di samping motornya, tampak percaya diri, meski malam ini taruhannya besar. Pria blesteran Jerman itu mengenakan jaket balapnya yang penuh dengan logo Speed Demon, lalu menatap Hana, kekasihnya, yang berdiri tak jauh darinya.
"Doain gue, ayang," ucap Rico dengan senyum penuh arti, sambil meraih helm full face-nya.
Hana tersenyum lebar, matanya bersinar penuh keyakinan. Tanpa ragu, ia melangkah mendekat dan dengan manja mencium pipi kanan Rico. "Bintang malam ini adalah Rico Fernando," katanya dengan nada penuh percaya diri. "Gue yakin, malam ini lo bakalan bersinar."
Rico tertawa kecil, senyumnya menghangatkan malam yang dingin. "Kemenangan ini gue persembahkan spesial untukmu, my sunshine," "Selamanya cuma kamu yang bisa menerangi hati gue yang redup."
Bugh!
Hana memukul lengan Rico pelan, wajahnya memerah mendengar kata-kata Rico yang terasa terlalu manis. "Lebay," cicitnya malu-malu, namun senyumnya tak pernah surut.
Rico hanya terkekeh, lalu menyentuh pipi Hana dengan lembut. "I love you," ujarnya dengan tulus, lalu mencuri satu kecupan di bibir ranum sang gadis.
Cup!
"Ini jimat keberuntungan gue." Bisiknnya, sebelum mengenakan helm full facenya. Mata hazelnya yang berada di balik visor helm itu menatap Hana penuh cinta.
Malam itu, sorakan semakin memuncak, sementara Rico menyalakan mesinnya, suara knalpot motornya memecah udara. Dari kejauhan, Hana menatap punggung Rico dengan perasaan bangga dan doa yang tak putus-putus.
Gadis itu tak pernah menyangka bahwa malam itu akan menjadi pertemuan terakhir mereka dalam senyuman.
Prit!
Tiupan peluit panjang menggema di malam yang gelap, menandakan perlombaan dimulai. Dua motor melesat secepat kilat, beradu adrenalin dalam kompetisi yang selalu penuh risiko dan semangat. Penonton bersorak riuh, menyaksikan kedua pembalap yang berlomba-lomba menjadi yang tercepat dan keluar sebagai pemenang.
Di satu sisi, Rico Fernando mengendalikan motornya dengan lincah, menguasai jalur balapan dengan keterampilan yang sudah terasah. Meskipun lawannya, Welly—ketua Red Dragon—berusaha bermain curang dengan segala cara, Rico tetap tenang dan fokus. Ia menghindari berbagai trik licik yang dilakukan Welly, mengandalkan kecepatan dan ketepatan untuk tetap unggul.
Akhirnya, dengan kecepatan dan keberanian, Rico berhasil melintasi garis finish lebih dulu. Sorakan dan teriakan kegembiraan memenuhi udara, sementara rekan-rekan satu timnya, termasuk Hana, melompat kegirangan merayakan kemenangan tersebut.
Sayangnya, kegembiraan itu tak bertahan lama. Dengan brutal, Welly dan anggota Red Dragon yang lain tak terima atas kekalahan mereka, menyerang. Dalam sekejap, suasana berubah menjadi mencekam dan keributan yang tak terhindarkanpun terjadi.
Hana berdiri di pinggir lapangan, matanya terbelalak melihat kekacauan yang terjadi. Pukulan dan teriakan saling bersahutan, hingga pandangannya terfokus pada Rico yang terlibat dalam keributan tersebut.
Naas, di tengah perkelahian yang tak terelakkan itu, Rico diserang secara brutal. Suara benturan dan jeritan memenuhi udara saat ia terjatuh, tubuhnya terkulai tak berdaya dengan darah yang menggenang di sekitarnya. Sebuah besi bangunan, menancap tepat di perutnya.
Dalam sekejap, dunia Hana runtuh. Semua kebahagiaan yang baru saja dirasakannya terenggut dalam satu momen kelam.
**Flashback Off**
Tak seperti arti namanya, Hana, yang berarti bunga—indah, anggun, dan memikat—Hana Priscilia, gadis berusia delapan belas tahun itu, justru tak memiliki keindahan seperti itu lagi sekarang. Semua dunianya runtuh seketika, saat kekasihnya Rico Fernando tewas dibunuh oleh anggota geng motor—Red Dragon.
Bersambung...