Sartika hidup dalam keterbatasan bersama suaminya, Malik, seorang pekerja serabutan dengan penghasilan tak menentu. Pertengkaran karena himpitan ekonomi dan lilitan utang mewarnai rumah tangga mereka.
Demi masa depan anaknya, Sartika tergoda oleh janji manis seorang teman lama untuk bekerja di luar negeri. Meski ditentang suami dan anaknya, ia tetap nekat pergi. Namun, sesampainya di kota asing, ia justru terjebak dalam dunia kelam yang penuh tipu daya dan nafsu.
Di tengah keputusasaan, Sartika bertemu dengan seorang pria asing yang akan mengubah hidupnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon WikiPix, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PTP Episode 09
Sartika awalnya mengira bahwa warung kecil tempatnya berlindung adalah tempat yang aman. Namun, ketika malam semakin larut, ia mulai merasakan sesuatu yang tidak beres.
Pria tua yang menolongnya itu memang tampak ramah dan baik hati, tetapi ada sesuatu dalam cara bicaranya yang membuat Sartika merasa tidak nyaman. Tatapan matanya sering kali bertahan terlalu lama, menyusuri tubuhnya dengan cara yang membuat Sartika ingin segera pergi.
Ketika ia akhirnya tertidur karena kelelahan, rasa aman itu berubah menjadi ketakutan. Ia terbangun oleh sentuhan yang tidak seharusnya, membuat tubuhnya menegang seketika. Napasnya tersengal, matanya terbuka lebar dalam kegelapan.
Sartika ingin berpikir bahwa ini hanya mimpi buruk, tetapi kenyataan berkata lain. Pria tua itu tidak lebih baik daripada lelaki yang sebelumnya mencoba menyakitinya.
Jantungnya berdetak cepat. Tidak ada seorang pun di luar, tidak ada yang bisa menolongnya. Namun, ia tahu satu hal, ia tidak akan membiarkan dirinya kembali menjadi korban.
Sartika mengeratkan rahangnya, pikirannya berpacu mencari jalan keluar. Ia sudah cukup menderita. Jika tempat ini sama buruknya dengan tempat sebelumnya, maka ia harus bertindak sekarang juga.
Dengan gerakan cepat, Sartika mengayunkan tangannya, memukul pria tua itu dengan sekuat tenaga. Pukulannya mengenai pipi lelaki itu, membuatnya tersungkur ke samping.
"Akh!" pria itu mengumpat kasar, tangannya meraba pipinya yang terasa perih. Matanya menatap Sartika dengan marah, tetapi juga dengan nafsu yang belum padam.
Sartika mundur, napasnya memburu. Ia harus keluar dari sini, sekarang juga. Namun, sebelum ia sempat bergerak, pria tua itu sudah bangkit, matanya menyala dengan kemarahan.
"Berani kau melawan, hah?!" suaranya parau dan penuh emosi.
Sartika tahu, jika ia diam saja, lelaki itu tidak akan berhenti. Ia harus bertindak sebelum semuanya terlambat.
Tangannya meraba meja kecil di dekatnya, mencari sesuatu yang bisa dijadikan senjata. Sementara itu, pria tua itu mendekat, tangannya terulur, siap meraih tubuh Sartika kembali.
"Apa yang ingin Bapak lakukan?" suara Sartika bergetar, tetapi tatapannya tajam. Ia mencoba tetap tenang meskipun dadanya berdegup kencang.
Pria tua itu menyeringai, langkahnya semakin mendekat. "Jangan pura-pura polos, Nak. Aku sudah memberimu tempat untuk tidur, makanan, dan perlindungan. Apa salahnya kalau kau memberi sesuatu sebagai balasannya?"
Sartika merasakan mual menjalar di tenggorokannya. Tangannya meraba meja kecil di samping tempat tidur, mencari sesuatu yang bisa ia gunakan untuk membela diri.
"Bapak sudah tua, jangan melakukan hal seperti ini," suaranya terdengar lebih tegas sekarang.
Pria tua itu tertawa kecil, tetapi ada nada ancaman di baliknya. "Jangan sok suci, Nak. Aku tahu perempuan sepertimu butuh permainan. Jika kau pintar, kau tidak akan melawan."
"Jangan macam-macam, Pak Tua! Aku bukan wanita yang kau pikirkan!"
Pria tua itu menyeringai, langkahnya semakin mendekat, seakan tidak gentar dengan perlawanan Sartika.
"Kau bisa berteriak, tapi siapa yang akan mendengar?" katanya pelan, nadanya mengintimidasi.
Jantung Sartika berdegup kencang. Ia tahu ia sendirian, tetapi itu tidak berarti ia akan menyerah.
Dalam kepanikannya, tangan Sartika meraba-raba meja kecil di dekatnya, tetapi tidak menemukan benda apapun yang bisa digunakan. Namun, ujung jarinya menyentuh sesuatu yang panjang dan ringan, sebuah sapu tua dengan gagang kayu.
Tanpa ragu, ia meraih sapu itu dan langsung mengayunkannya ke arah pria tua yang semakin mendekat.
Braak!
Ujung gagang sapu itu menghantam dada pria tua tersebut, membuatnya tersentak ke belakang beberapa langkah. Ia terbatuk, memegangi dadanya, tetapi bukannya menyerah, tatapannya justru semakin liar.
"Kau benar-benar gadis keras kepala!" geramnya, lalu melangkah lagi dengan lebih ganas.
Sartika tidak menunggu lebih lama. Ia mengayunkan sapu itu sekali lagi, kali ini ke arah wajah pria tua itu. Namun, dengan cepat, lelaki itu menangkap gagangnya, menariknya dengan kasar hingga Sartika hampir terhuyung ke depan.
Ia panik, tapi tidak menyerah. Sartika langsung menendang lutut pria tua itu dengan sekuat tenaga.
"Akh!" pria itu berteriak kesakitan dan terjatuh ke lantai.
Melihat kesempatan, Sartika langsung berlari ke pintu dan berusaha membukanya. Namun, pintu itu terkunci dari dalam!
Pria tua itu merintih di belakangnya, tetapi Sartika tidak mau membuang waktu. Ia mengarahkan pandangannya ke jendela kayu di samping ruangan. Tanpa pikir panjang, ia berlari ke arah jendela itu dan mendorongnya sekuat tenaga hingga terbuka.
Ia memanjat keluar dengan napas memburu, merasakan angin malam menyentuh kulitnya. Namun, belum sempat ia berlari jauh, suara marah pria tua itu menggema dari dalam rumah.
"Jangan kira kau bisa lari, perempuan sialan!"
Sartika tidak peduli. Ia segera berlari ke dalam gelapnya malam, meninggalkan tempat itu sejauh mungkin. Tidak tahu ke mana harus pergi, yang penting ia harus keluar dari sini, sebelum semuanya terlambat.
Sartika terus berlari di bawah gelapnya malam, napasnya memburu, kakinya terasa semakin lemah, tetapi ia tidak berani berhenti. Ia tidak tahu harus ke mana, yang ia tahu hanyalah ia harus menjauh dari tempat itu.
Namun, saat melewati jalanan kecil yang sepi, suara deru mesin mobil terdengar di belakangnya. Sebelum ia sempat menyadari bahaya, lampu sorot terang menyilaukan matanya.
Ciiit!
Mobil itu berhenti mendadak tetap di hadapannya, membuat Sartika refleks menutup mata dan melindungi wajahnya dengan tangan.
Ketika ia membuka matanya lagi, pintu mobil terbuka, dan seseorang turun dengan cepat.
Sri.
Sartika membeku di tempatnya. Wajah wanita itu tidak lagi penuh senyum seperti sebelumnya. Mata Sri dingin dan penuh amarah, bibirnya melengkung dalam seringai mengejek.
"Aku sudah menduga kau akan kabur, Sartika," ucap Sri, suaranya tenang tetapi mengandung ancaman. "Kau pikir bisa lari dari aku?"
Sebelum Sartika sempat berbalik dan berlari lagi, dua pria bertubuh kekar turun dari mobil dan langsung menangkapnya.
"Tidak! Lepaskan aku!" Sartika meronta, berusaha melepaskan diri, tetapi cengkeraman mereka terlalu kuat.
Sri mendekat, menepuk pipi Sartika dengan ringan tetapi penuh hinaan. "Kau sudah merepotkan banyak orang, Tika. Sekarang waktunya kau belajar untuk tidak membangkang lagi."
Dengan isyarat dari Sri, para pria itu menyeret Sartika kembali ke dalam mobil. Ia terus memberontak, tetapi sia-sia.
Pintu mobil tertutup dengan suara menggelegar, menjebaknya di dalam kegelapan. Mobil itu kembali melaju, membawa Sartika menuju nasib yang semakin tidak pasti.
Sartika merasa tubuhnya dilempar kasar ke lantai dingin gudang yang gelap dan pengap. Ia meringis, mencoba menahan rasa sakit yang menjalar di tubuhnya. Napasnya tersengal, otaknya berusaha memahami situasi.
Ketika matanya mulai terbiasa dengan kegelapan, ia menyadari ada seseorang di sudut ruangan.
Seorang wanita.
Wanita itu duduk di lantai dengan tubuh gemetar, tanpa sehelai pakaian pun menutupi dirinya. Rambutnya kusut, wajahnya penuh memar, dan matanya kosong seakan telah kehilangan harapan.
Sartika merasakan ketakutan yang luar biasa. Ia menelan ludah, berusaha menenangkan diri.
Sri berdiri di depan pintu, menatap Sartika dengan sinis. "Kau lihat itu?" Sri menunjuk ke arah wanita yang lemah tak berdaya di sudut ruangan. "Begitulah nasib wanita keras kepala yang mencoba melawan. Kau ingin berakhir seperti dia?"
Sartika menahan napas, tubuhnya menegang.
"Jangan coba-coba melawan lagi, Sartika," lanjut Sri dengan nada dingin. "Tidak ada tempat bagimu untuk lari. Semakin kau melawan, semakin buruk nasibmu."
Sri tertawa kecil sebelum akhirnya melangkah keluar, membiarkan Sartika terkurung dalam ruangan itu bersama wanita yang bahkan tidak bisa menatapnya.
Sartika duduk bersandar di dinding gudang yang dingin, mengatur napasnya yang masih tersengal. Matanya kembali tertuju pada wanita di sudut ruangan. Wanita itu tampak begitu lemah, tubuhnya gemetar, dan tatapannya kosong.
Dengan hati-hati, Sartika merangkak mendekatinya. "Hei… kau tidak apa-apa?" suaranya lirih, takut mengejutkan wanita itu.
Wanita itu tidak langsung menjawab. Butuh beberapa detik sebelum matanya yang sayu menatap Sartika. Ada ketakutan di sana. Luka memar di wajahnya tampak jelas di bawah cahaya remang-remang.
"Aku…" suara wanita itu parau dan hampir tidak terdengar. "Aku ingin pulang…"
Sartika merasakan dadanya sesak. "Kita akan keluar dari sini," katanya, lebih untuk meyakinkan dirinya sendiri.
Wanita itu menggeleng pelan, air mata mulai mengalir di pipinya yang lebam. "Tidak ada jalan keluar… mereka tidak akan membiarkan kita pergi… Aku sudah mencoba, dan ini balasannya." Ia menunjuk tubuhnya sendiri dengan lemah.
Sartika mengepalkan tangannya. Ia menatap sekeliling gudang, mencoba mencari sesuatu, apa pun yang bisa digunakan untuk melarikan diri. Ia tidak akan berakhir seperti wanita ini. Tidak akan.
Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar mendekat. Sartika dan wanita itu sama-sama membeku.
Pintu gudang terbuka. Seorang pria besar berdiri di ambang pintu, menatap mereka dengan ekspresi dingin.
"Ini makan kalian, bos tidak ingin kalian mati kelaparan di sini. Itu akan menyusahkan kami."
Pria itu melemparkan dua bungkus nasi ke lantai tanpa peduli, lalu menatap Sartika tajam sebelum akhirnya melangkah keluar. Pintu gudang kembali tertutup dengan suara menggelegar, meninggalkan mereka berdua dalam kegelapan.
Sartika menatap bungkusan nasi itu tanpa bergerak. Perutnya kosong, tetapi rasa takut dan amarah lebih mendominasi dirinya sekarang.
Wanita di sudut ruangan juga tidak bereaksi. Ia hanya menatap kosong ke lantai, seolah sudah terlalu lelah untuk berharap.
Sartika akhirnya mengambil salah satu bungkusan dan mendekati wanita itu. "Kau harus makan," katanya lembut, menyodorkan nasi itu.
Wanita itu menatapnya ragu, sebelum akhirnya menggeleng. "Aku tidak lapar."
Sartika menelan ludah. "Kau butuh tenaga. Kita harus keluar dari sini."
Wanita itu tersenyum pahit. "Sudah kubilang… tidak ada jalan keluar."
Sartika mengepalkan tangannya, menolak menerima kenyataan itu. Ia tidak akan menyerah. Ia tidak akan membiarkan dirinya atau wanita ini tetap terkurung di sini.
Sartika menghela napas, menatap wanita itu dengan cemas. Wanita itu masih duduk bersandar di dinding, tubuhnya gemetar, matanya kosong tanpa harapan.
"Kau harus makan," kata Sartika sekali lagi, mencoba menyodorkan sejumput nasi ke mulutnya.
Namun, tiba-tiba, wanita itu menepis tangan Sartika dengan kasar, membuat butiran nasi berhamburan ke lantai.
"Aku bilang aku tidak mau!" suaranya bergetar, tetapi penuh dengan keputusasaan dan kemarahan.
Sartika terkejut, tetapi tidak mundur. Ia menatap wanita itu, mencoba memahami apa yang ada di pikirannya.
"Kau butuh tenaga," katanya pelan, menahan sabar. "Kalau kau terus seperti ini, mereka akan semakin mudah memperlakukanmu seenaknya."
Wanita itu tertawa kecil, suara yang lebih mirip tangisan tertahan. "Kau tidak mengerti… Tidak ada gunanya lagi. Mereka akan tetap melakukan apa pun yang mereka mau. Makan atau tidak, aku tetap tidak punya pilihan."
Sartika merasakan dadanya sesak. Ia tidak bisa membayangkan berapa lama wanita ini sudah berada di sini, berapa banyak kengerian yang telah ia alami hingga kehilangan semua harapan.
Tetapi Sartika menolak menyerah.
"Aku tidak tahu siapa kau, dan aku tidak tahu apa yang sudah mereka lakukan padamu," ucap Sartika dengan nada tegas. "Tapi aku tahu satu hal, aku tidak akan membiarkan mereka menang. Kita akan keluar dari sini. Bersama-sama."
Wanita itu menatap Sartika dengan mata berkaca-kaca. "Kau tidak tahu apa yang kau bicarakan," bisiknya.
Sartika mengulurkan tangan lagi, kali ini bukan untuk menyuapi, melainkan menggenggam tangan wanita itu dengan lembut.
"Percayalah padaku," kata Sartika lirih. "Aku tidak akan meninggalkanmu."
Wanita itu terdiam cukup lama, matanya menatap tangan Sartika yang menggenggamnya. Ada keraguan, ketakutan, tetapi juga seberkas kecil harapan yang mulai muncul di sana.
Untuk pertama kalinya sejak Sartika tiba di tempat ini, wanita itu terlihat ragu akan keputusasaannya sendiri.