Season kedua dari Batas Kesabaran Seorang Istri.
Galen Haidar Bramantyo, anak pertama dari pasangan Elgar dan Aluna. Sudah tumbuh menjadi pemuda yang sangat tampan. Ia mewarisi semua ketampanan dari ayahnya.
Namun ketampanan juga kekayaan dari keluarganya tidak sanggup menaklukkan hati seorang gadis. Teman masa kecilnya, Safira. Cintanya bertepuk sebelah tangan, karena Safira hanya menganggap dirinya hanya sebatas adik. Padahal umur mereka hanya terpaut beberapa bulan saja. Hal itu berhasil membuat Galen patah hati, hingga membuatnya tidak mau lagi mengenal kata cinta.
Adakan seorang gadis yang mampu menata hati si pangeran es itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon echa wartuti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Badai Sudah Berlalu
Galen sudah berada di rumah sakit, menunggu Lucyana yang masih tertidur, sedangkan Arabella pulang sekitar beberapa jam yang lalu. Ia juga sudah mendengar kabar dari Daren jika Joni sudah dijemput oleh polisi, tetapi Kamila dan Cintya berhasil kabur, lebih tepatnya dibiarkan untuk kabur. Lagi pula mereka tidak akan bisa pergi ke manapun.
Waktu sudah menunjukkan pukul dua dini hari. Galen masih terjaga, ia berdiri di samping tempat tidur, dengan kedua tangan masuk ke dalam saku hoodie yang masih ia kenakan. Mata elangnya memerhatikan Lucyana, wajah gadis itu terlihat damai. Luka-luka di tubuh gadis itu sudah diobati, tetapi mungkin butuh waktu yang cukup lama untuk mengobati luka batinnya.
Galen mulai dibuat gelisah, tidak pernah dirinya se-perhatian itu dengan perempuan lain kecuali Safira. Jika boleh jujur Galen sendiri tidak tahu, kenapa mau susah-susah ikut campur urusan gadis itu padahal mereka belum lama saling mengenal.
-
-
Keesokan harinya Galen masih berada di rumah sakit, menemani Lucyana. Bahkan ia sampai tertidur di sofa. Tidurnya terusik oleh suara ponsel. Buru-buru Galen mematikannya, takut mengganggu tidur Lucyana. Laki-laki itu bangun lantas melihat waktu pada layar ponselnya. Setelah itu melirik ke tempat tidur. Sampai pukul delapan pagi gadis itu belum juga bangun, entah apa yang membuat gadis itu tidur begitu lama?
"Aarght!"
Galen yang tengah berada di sofa menoleh ke tempat tidur, melihat Lucyana mulai bergerak. Namun Galen tidak langsung mendekat, membiarkan gadis itu sadar sepenuhnya. Mata elangnya menatap setiap gerakan Lucyana, tanpa berpaling barang sedetik pun.
Terlihat Lucyana mencoba meraih sesuatu di meja nakas. Air minum? Karena luka di lengan juga jarum infus menancap di pergelangan tangannya membuat gadis itu kesusahan.
Kening Galen berkerut, apa gadis itu tidak melihat keberadaan dirinya. Bisa kan dia minta tolong padanya. Galen lantas menaruh ponselnya, mengayunkan langkah ke dekat tempat tidur. Tangannya terulur meraih gelas berisi air putih.
"Bilang kalau butuh bantuan! Punya mulut, 'kan?" ucap Galen datar.
Lucyana tertegun melihat tangan kekar itu, lantas menoleh, menatap pada pemilik suara. Matanya bertemu dengan iris mata Galen. "Kak Galen."
"Jangan menatapku seakan aku ingin membunuhmu," ucap Galen membuat Lucyana memutuskan pandangan mereka.
"Sejak kapan Kakak berada di sini?" Lucyana mencoba bangun untuk mengambil posisi duduk, lengannya masih merasa ngilu, membuat Lucyana meringis setiap kali bergerak.
"Gak penting. Minum terus tidur lagi." Galen memberikan gelas itu kepada Lucyana.
"I-ya." Lucyana dalam mode tidak ingin membantah, ia menerima gelas yang diberikan oleh Galen, lantas meminumnya sampai air tersisa hanya setengahnya.
Galen kembali mengambil gelas dari tangan Lucyana kemudian meletakkan kembali ke meja nakas.
"Terima kasih, Kak," ucap Lucyana dibalas gumaman oleh Lucyana.
"Sekarang istirahat!" perintah Galen lantas mengambil posisi duduk di kursi yang ada di tempat tidur.
Lucyana tidak langsung merespon perkataan Galen, ia memikirkan sesuatu. Matanya masih menatap Galen, mulutnya ingin mengeluarkan kata-kata, tetapi masih ragu.
"Ada apa?" tanya Galen ketika melihat Lucyana melamun.
"Itu … Kakak gak sekolah?" tanya Lucyana kikuk.
"Lagi malas," jawab Galen asal.
Lucyana kembali diam, sampai rasa penasaran memaksanya untuk bicara. "Kak, boleh aku bertanya?"
"Apa?" tanya Galen datar.
"Papaku —"
"Setelah apa yang dia lakukan padamu, kamu masih bisa memanggilnya papa?" Galen menukas ujaran Lucyana.
"Emm, bukan itu?" Lucyana menggaruk kepalanya yang tidak terasa gatal. Berhadapan dengan Galen memang membuat harus ekstra sabar, bukan hanya karena sikap dingin Galen, tetapi cara bicara Galen terkadang membuat Lucyana tidak bisa berkata-kata, ditambah wajah tampan yang laki-laki itu miliki, mampu membuat semua kata yang ia susun menghilang begitu saja.
"Dia sudah dibawa ke kantor polisi," ucap Galen tiba-tiba.
"Hah." Lucyana terkejut mendengar perkataan Galen.
"Kenapa? Keberatan?"
"Tidak," jawab Lucyana cepat. "A-ku hanya kaget. Papaku sebenarnya banyak menyuap polisi untuk menutupi kesalahan dia selama ini. Apakah kali ini dia akan lolos juga?" tanya Lucyana.
Galen tidak langsung menjawab, tetapi justru menatap Lucyana, ingin melihat eksperi wajah gadis itu, "Kali ini tidak."
Lucyana mendongak, menatap Galen penuh arti sampai Galen tidak bisa membaca ekspresi wajah gadis di depannya.
"Kak," ucap Lucyana lirih.
"Apa?"
"Terima kasih."
Giliran Galen yang menatap penuh arti, "Kamu masih punya hutang sama aku, ingat?"
"Hutang apa?"
"Bawain aku bekal setiap hari."
"Oh iya aku lupa." Lucyana menepuk keningnya sendiri. "Aku pasti akan buatkan bekal untuk Kakak. Yang enak pokoknya." Lucyana menunjukkan wajah cerianya.
Bekal?
Wajah ceria Lucyana kembali meredup mengingat sang pengasuh, orang yang selalu menyayangi dirinya selama ini.
"Bagaimana keadaan bibi?" tanya Lucyana, wajahnya berubah
"Maksudmu wanita tua yang tertembak itu?" tanya balik Galen.
Lucyana mengangguk, "iya."
"Pengasuhmu meninggal. Dia kehilangan banyak darah," jawab Galen.
Napas Lucyana serasa berhenti mendengar jawaban Galen.
"Kakak bohong, 'kan?" Suara Lucyana sudah serak lantaran menahan tangis.
"Tidak. Bahkan mayatnya masih ada di kamar mayat rumah sakit ini," jelas Galen.
Lucyana menggeleng, seakan tidak terima dengan kematian sang pengasuh. "Aku ingin melihatnya."
"Orang-orangku akan pengurus pemakamannya." Galen mencegah Lucyana yang ingin turun dari tempat tidur.
"Aku ingin melihatnya. Tolonglah! Dia yang mengurusku selama ini. Dia sudah seperti ibuku sendiri." Lucyana memohon dengan menyatukan kedua tangannya. "Dia juga tidak memiliki siapapun lagi. Suami dan anaknya meninggal sejak lama. Kak—"
"Pakai kursi rodanya!" ucap Galen membuat Lucyana mengangguk seperti anak yang penurut.
-
-
Satu minggu sudah Lucyana dirawat di rumah sakit. Selama itu pula hidupnya tidak tenang. Beberapa orang datang bukan untuk menjenguknya, tetapi justru menanyakan keberadaan sang ayah. Ada juga yang menagih hutang. Galen tahu itu, meminta kepada pihak rumah sakit untuk memindahkan Lucyana ke ruangan khusus agar tidak terganggu.
Hari itu Lucyana diperbolehkan pulang, Galen yang akan mengantarnya pulang. Namun Lucyana mendapatkan kejutan lagi. Beberapa orang dari bank datang menagih hutang atas nama ibu tirinya. Sialnya rumah yang kini ia tinggali dijadikan jaminan. Lucyana jelas tidak sanggup membayar hutang-hutang itu, maka ia diberikan waktu sampai bulan depan jika ingin rumahnya tidak kena sita.
Galen tahu? Sudah jelas, bahkan bisa dibilang harta yang ditinggalkan oleh Ivy tidak akan cukup untuk membayar hutang itu.
"Kak, boleh aku repotin Kakak lagi?" tanya Lucyana pada Galen.
"Apa?"
"Aku ingin bertemu dengan papa aku."
"Sekarang?"
Lucyana mengangguk.
"Yakin bisa?"
"Bisa, aku gak akan sedih lagi."
Galen mengangguk, setuju untuk mengantar Lucyana ke penjara. Mereka lantas masuk ke dalam satu mobil yang sama, kembali meninggalkan rumah itu.
Hening mengambil alih suasana, keduanya fokus pada aktivitas masing-masing. Galen fokus mengemudi, sedang Lucyana fokus memerhatikan jalanan yang tengah mereka lewati. Mungkin raganya ada di tempat itu, tetapi tidak dengan pikirannya. Pikiran gadis itu sedang melalang buana.
Awalnya ia memiliki sedikit rasa sedih ketika tahu Joni masuk ke dalam penjara, tetapi mengingat semua tindakan dan akibat dari perbuatan papanya membuat Lucyana harus segera mengambil sikap.
"Kita sudah sampai." Perkataan Galen membuat lamunan Lucyana buyar.
Segera Lucyana turun dari mobil, berjalan masuk ke tempat papanya di tahan.
"Akhirnya kamu datang."
Lucyana mendongak ketika mendengar suara papanya. Terlihat laki-laki itu nampak sedikit lebih kurus dan tidak terawat.
"Apa kabar, Pa?"
"Kamu masih bisa tanya kabar saya? Mana ada orang baik-baik saja saat ada di dalam penjara.
"Ini salah Papa sendiri."
"Anak sialan!" ucap Joni pelan, tetapi penuh tekanan. "Berani sekali kamu sama saya!"
Lucyana tidak menunjukkan rasa takut sedikitpun, tidak seperti biasanya.
"Aku ke sini mau pamit sama Papa."
"Apa maksud kamu? Dari pada kamu bicara ngawur, lebih baik kamu sewakan pengacara untuk bebaskan saya!"
"Mau bayar pengacara pakai apa? Semuanya sudah habis karena ulah Papa. Bahkan rumah sampai disita oleh bank." Lucyana menyerahkan berkas hutang piutang milik Joni.
Mata Joni terbelalak, melihat apa yang tertera dalam berkas itu, meskipun tahu akan hutang-hutang itu Joni tetap merasa marah, ia mengusap wajahnya kasar, merasa frustrasi dengan situasi saat itu.
"Jika Papa butuh sewa pengacara, katakan saja pada istri dan anak kesayangan Papa."
Jika itu bisa, pasti sudah Joni lakukan, tetapi sayangnya sampai detik itu, Kamila dan Cintya tidak kelihatan batang hidungnya.
"Hanya itu yang mau aku bicarakan dengan Papa. Aku pergi. Papa jaga diri baik-baik. Semoga kelak jika kita bertemu Papa sudah berubah menjadi orang yang lebih baik."