Ini kelanjutan kisah aku istri Gus Zidan ya, semoga kalau. suka🥰🥰🥰
****
"Mas, saya mau menikah dengan Anda."
Gus Syakil tercengang, matanya membesar sempurna, ia ingin sekali beranjak dari tempatnya tapi kakinya untuk saat itu belum mampu ia gerakkan,
"Apa?" Ia duduk lebih tegap, mencoba memastikan ia tidak salah dengar.
Gadis itu menganggukan kepalanya pelan, kemudian menatap Gus Syakil dengan wajah serius. "Saya bilang, saya mau menikah dengan Anda."
Gus Syakil menelan ludah, merasa percakapan ini terlalu mendadak. "Tunggu... tunggu sebentar. mbak ini... siapa? Saya bahkan tidak tahu siapa Anda, dan... apa yang membuat Anda berpikir saya akan setuju?"
Gadis itu tersenyum tipis, meski sorot matanya tetap serius. "Nama saya Sifa. Saya bukan orang sembarangan, dan saya tahu apa yang saya inginkan. Anda adalah Syakil, bukan? Anak dari Bu Chusna? Saya tahu siapa Anda."
Gus Syakil mengusap wajahnya dengan tangan, mencoba memahami situasi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon triani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7. ulah Sifa
Di dapur, Sifa terlihat sibuk menuangkan air ke dalam panci untuk membuat teh. Ia bergerak dengan gaya seadanya, sambil sesekali mengintip ponselnya untuk memastikan langkah-langkahnya benar. Namun, dalam satu gerakan ceroboh, tangannya tanpa sengaja menyentuh sisi panci yang panas.
“Aaaaahhh!” Sifa memekik, menarik tangannya dengan cepat sambil melompat mundur seperti melihat hantu.
Gus Syakil, yang duduk di kursi rodanya di ruang tamu, langsung memutar rodanya ke arah dapur. Wajahnya penuh kekhawatiran saat melihat Sifa meniup-nipup tangannya yang memerah.
Gus Syakil segera mendekat, “Sifa, apa yang terjadi? Kamu kenapa?”
Sifa menunjukkan tangannya dengan wajah memelas, “Aku... aku nggak sengaja nyentuh pancinya, panas banget, mas!”
Syakil memeriksa tangan Sifa dengan saksama, “Cuma merah sedikit, tidak apa-apa. Jangan lebay.”
Sifa mengerutkan dahi, “Lebay gimana? Kamu nggak ngerasain panasnya, tahu!”
Gus Syakil menghela napas panjang, “Sifa, ini baru bikin teh, lho. Masa begini aja kamu celaka? Kalau sampai masak nasi, bisa-bisa rumah ini kebakaran.”
Sifa menyandarkan diri ke meja dapur sambil mengerucutkan bibir, “Yah, maaf, mas. Aku kan nggak biasa ngurus dapur. Di rumah, semua ada Mbak Yanti, tahu.”
Gus Syakil mengangkat alis, "Siap mbak Yanti?"
"ART di rumah papa." jawab Sifa sinis. "Lagian kenapa sih mas Syakil nggak pakek aart, kan enak. Kita tinggal suruh aja."
Gus Syakil kembali menghela nafas, “Astagfirullah hal azim. Di dunia ini nggak semua yang kamu mau harus terpenuhi, Sifa."
"Kenapa enggak, ada papa, ada om Hadi."
"Itu di rumah papa kamu, dan hal itu nggak perlakuan di sini. Jadi, mulai sekarang kamu harus belajar. Mbak Yanti, papa kamu dan om Hadi nggak ada di sini. Lagipula, masa teh aja nggak bisa?”
Sifa menepuk dahinya, “Aku bisa, kok! Cuma... ya... ini insiden kecil. Aduh, gimana kalau tangan aku lecet? Ini tangan mahal, lho!”
Gus Syakil tertawa kecil, “Tangan mahal tapi nggak bisa bikin teh. Ironi sekali.”
Sifa mendesah, menatap Gus Syakil dengan mata menyipit, “Yaudah, kamu aja yang bikin teh. Tapi aku nggak tanggung jawab kalau teh buatanmu nggak enak!”
Gus Syakil hanya menggelengkan kepala sambil tersenyum, lalu memutar rodanya menuju kompor. Dengan gerakan cekatan meski dari kursi roda, ia mengambil alih tugas memasak. Sifa berdiri di samping, bersedekap dengan wajah cemberut.
Ketika teh akhirnya selesai dibuat, Gus Syakil menyerahkan segelas pada Sifa.
Gus Syakil mengangsurkan gelas, “Nih, teh buatan saya. Mau coba?”
Sifa mencicipi dengan ragu, “Hmm...” ,setelah menyesap, matanya melebar, “Wah, ini enak banget! Kok bisa, mas?”
Gus Syakil tersenyum bangga, “Ya, karena saya nggak lebay waktu bikin. Dan saya nggak pakai drama kena panci panas.”
Sifa memutar bola matanya, “Halah, gaya banget. Coba aja kalo kamu yang kena panci, pasti juga lebay!”
“Mungkin, tapi setidaknya saya bisa bikin teh tanpa membahayakan nyawa.”
Percakapan itu diakhiri dengan tawa kecil dari Gus Syakil, sementara Sifa, meski masih sedikit kesal, tidak bisa menahan senyum kecilnya. Mereka akhirnya duduk bersama menikmati teh, menciptakan momen sederhana tapi hangat di tengah dinamika baru mereka sebagai pasangan.
Setelah selesai menikmati teh hangatnya, Sifa segera kembali ke kamar untuk mencuci muka, ia baru sadar jika bahkan rambutnya masih sangat berantakan.
Sedangkan Gus Syakil duduk di ruang tamu dengan ponsel di tangannya, memesan makanan melalui aplikasi. Setelah insiden panci panas tadi, ia memutuskan untuk tidak mengambil risiko membiarkan Sifa bereksperimen di dapur lagi untuk saat ini.
Tidak berapa lama Sifa kembali dengan wajah yang lebih segar,
"Kamu nggak mandi?" tanya Gus Syakil tiba-tiba begitu melihat kedatangan Sifa.
"Aku nggak mandi satu Minggu juga tetep cantik." jawab Sifa dengan santainya.
"Dasar jorok."
Sifa memicingkan matanya, menatap Gus Syakil, "Emang kamu mandi?"
Gus Syakil terdiam, untuk pertama kalinya pagi ini Gus Syakil tidak mandi karena tidak bisa ke kamar mandi sendiri, "Ini karena dhorurat."
"Dhorurat lagi, dhorurat lagi." celoteh Sifa sambil memilih duduk di lantai dekat meja, kemudian sibuk dengan cat kuku warna mencolok yang entah mengapa jadi fokusnya pagi ini.
"Nanti dibuang itu cat kukunya." ucap gsi Syakil bahkan tanpa menatap Sifa.
Sifa yang awalnya fokus pun segera menoleh ke arah Gus Syakil lagi, "Kenapa?"
"Nggak boleh," jawab Gus Syakil singkat.
"Nggak bolehnya kenapa?" tanya Sifa penasaran.
"Nggak sah buat sholat." jawab Gus Syakil lagi tapi tetap fokus pada layar ponselnya.
"Aku kan nggak sholat."
Kali ini Gus Syakil menoleh pada Sifa, "Kamu Islam kan?"
"I_ya sih kata mbak Yanti." jawab Sifa ragu.
"Kalau Islam, ya sholat."
"Memang harus?" tanya Sifa lagi terlihat semakin penasaran.
Tapi Gus Syakil memilih kembali fokus pada ponselnya, ia menyadari diantara mereka berdua ternyata memiliki banyak sekali perbedaan, dan itu artinya banyak sekali pr yang harus ia kerjakan setelah ini,
“Hmm, nasi pecel atau nasi goreng ya?" tanyanya sambil fokus pada layar ponselnya, padahal Sifa sudah begitu penasaran dengan jawaban dari Syakil membuat Sifa menghela nafas kesal.
Sifa mengalihkan pandangan dari kukunya, “Mas, nggak enak tahu ngegantung orang."
Gus Syakil tertawa kecil, “Bagus. Kalau kamu penasaran, itu artinya kamu mau menjadi lebih baik."
Sifa melirik sekilas, lalu kembali ke kukunya, “Nggak nyambung," keluhnya, "Kenapa tanya makanan? Mau suruh aku buat bikin makanan?"
"Jangan sekarang deh, saya belum siap dapur ini kebakar."
" Kamu tuh ya, bukan menghargai usaha aku malah nyindir terus. Padahal kalau aku mau, aku juga bisa kok masak, cuma... ya... nggak perlu. Kan udah ada aplikasi pesan makanan.”
“Oh, gitu? Jadi keahlian masak itu sekarang kalah sama keahlian scrolling aplikasi?”
Sifa mengangkat jari-jari nya, menatap kuku-kuku nya yang indah, “Iyalah. Zaman sekarang, yang penting hasil, bukan proses. Mau masak atau pesan, asal makanannya enak, selesai.”
Gus Syakil menghela napas sambil melirik Sifa, “Kalau gitu, mulai sekarang aku pesan makanan aja setiap hari. Tapi kalau uang belanjanya habis di aplikasi, jangan protes ya.”
Sifa mendongak dengan wajah acuh, “Santai aja, mas. Aku ini anak sultan. Kalau uangmu habis, aku bisa bayar kok. Tapi... itu kan nggak akan terjadi. Jadi, pesan apa aja deh.”
"Memang status kamu yang itu masih berlaku di sini? Coba lihat mobile banking kamu, masih isi apa enggak?"
Sifa mengerutkan keningnya, ia jadi penasaran dengan ucapan Gus Syakil, ia pun meraih ponselnya yang ia biarkan di atas meja dan segara membuka aplikasi mobile banking miliknya, dan seketika matanya membulat sempurna,
"Kok bisa? Kamu bicara apa sama papa?" tanyanya pada Gus Syakil.
"Nggak banyak, hanya bilang kalau kamu sekarang jadi tanggung jawabku."
"Sifa segera berdiri dari duduknya, ",Tanggung jawab, tanggung jawab, emang bisa apa kamu dengan kursi roda itu!?" ucap Sifa kesal kemudian berlalu dari harapan Gus Syakil, membanting pintu kamarnya setelah sampai di kamar.
"Papa keterlaluan." keluh Sifa, ia berusaha untuk menghubungi sang papa tapi tidak juga di angkat.
"Papa kemana sih?" keluhnya.
"Oh, om Hadi." Sifa pun segera mencari nomor kontak pria kepercayaan papanya itu, hingga beberapa kali dan akhirnya di angkat.
"Hallo, Sifa."
"Om sama papa kan pasti?" tanya Sifa dengan cepat.
"Enggak. Om lagi di luar kantor."
"Jangan bohong deh. Tanya sama papa apa maksudnya ngebekuin semua m-banking aku."
"Baik, nanti om tanya. Om ada pekerjaanom tutup dulu ya."
sambungan telpon tertutup bahkan sebelum Sifa menyelesiakan bicaranya.
"Om Hadi, aku kan belum selesai bicara."
Sifa menghempaskan tubuhnya ke tempat tidur, "Aughhh." sepertinya Sifa lupa jika tempat tidurnya tidak sesempurna tempat tidur di rumah. Dan sepertinya Sifa juga lupa jika perkataannya tadi sudah melukai perasaan Gus Syakil.
Bersambung
Happy reading
malu 2 tapi mau🤭
saranku ya sif jujur saja kalau kamu yg nabrak syakil biar gak terlalu kecewa syakil nya
pasti dokter nya mau ketawa pun harus di tahan....
krn gak mungkin juga lepas ketawa nya...