Season kedua dari Batas Kesabaran Seorang Istri.
Galen Haidar Bramantyo, anak pertama dari pasangan Elgar dan Aluna. Sudah tumbuh menjadi pemuda yang sangat tampan. Ia mewarisi semua ketampanan dari ayahnya.
Namun ketampanan juga kekayaan dari keluarganya tidak sanggup menaklukkan hati seorang gadis. Teman masa kecilnya, Safira. Cintanya bertepuk sebelah tangan, karena Safira hanya menganggap dirinya hanya sebatas adik. Padahal umur mereka hanya terpaut beberapa bulan saja. Hal itu berhasil membuat Galen patah hati, hingga membuatnya tidak mau lagi mengenal kata cinta.
Adakan seorang gadis yang mampu menata hati si pangeran es itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon echa wartuti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Lucyana Evangelista
"Awwww!"
Pekikan itu membuat pandangan orang di sekelilingnya menoleh. Mereka melihat gadis itu terjatuh hingga terduduk di lantai, namun tidak berani membantu lantaran tidak ingin berurusan dengan Galen. Tidak ada satupun yang tergerak untuk membantu gadis itu, hanya berani melihat, dan juga merasa penasaran dengan apa yang akan dilakukan Galen pada gadis berkacamata itu.
Galen sendiri mengalihkan pandangannya ke asal suara. Ia melihat seorang gadis terduduk di lantai karena menabraknya. Galen memandang malas, tanpa berminat membantu gadis itu. Sudah sering siswi di sekolah itu bertingkah konyol hanya demi menarik perhatiannya.
Galen masih memandang gadis itu, menatap setiap gerakannya, hingga gadis itu berdiri tegap tepat di hadapannya.
"Ma-af." Gadis itu terkejut melihat tubuh tegap yang berdiri di hadapannya, tetapi masih belum berani menatapnya. Merasa penasaran gadis itu lantas mendongak, matanya membulat di balik kacamatanya, melihat laki-laki berdiri tegap di hadapannya dengan menunjukan tatapan penuh permusuhan.
Mata elang Galen bersirobok dengan mata bulat gadis yang kini berdiri di hadapannya. Memandang malas gadis itu, tetapi moodnya yang sedang berantakan membuat Galen kesal.
"Punya mata gak!" bentuknya.
"Punya!" Kaget dengan teriakan Galen, reflek membuat gadis itu menjawab dengan cepat.
Tidak ingin meladeni hal yang tidak berguna membuat Galen memilih pergi, tetapi langkahnya di hadang oleh gadis itu.
"Tunggu!" Gadis itu menghadang langkah Galen dengan merentangkan kedua tangannya.
Galen sontak menghentikan langkahnya, kembali menatap mata gadis itu, lantas membaca nama pada id card gadis di depannya, Lucyana Evangelista.
Semua orang di dekat keduanya syok, napas mereka seolah berhenti melihat keberanian gadis, yang merupakan siswi baru di sekolah.
Berani banget itu anak. Aku yang satu angkatan dan satu kelas sama Galen saja tidak berani bertindak seperti itu. Ini anak baru, apalagi kelas 10 lancang banget ngehadang langkah Galen.
Apa dia tidak tahu Galen paling tidak suka ada yang menghalangi jalannya?
Wajarlah, dia anak baru. Jadi tidak tahu.
"Minggir!" ucap Galen pelan tapi penuh tekanan.
"Tunggu!" cegah gadis yang memiliki nama Lucyana Evangelista itu. "Aku minta maaf. Aku tidak sengaja menabrak Kakak."
"Aku bilang minggir!" sentak Galen, tidak perduli dengan permintaan maaf Lucyana. Galen kembali ingin melangkah, tetapi gadis itu tidak memberikan jalan untuknya.
"Sebentar! Aku cuma mau tanya letak toilet kok."
Semua orang yang mendengar penuturan siswi baru itu menganga. Menganggap dia lancang bertanya hal konyol pada Galen. Ekspresi Galen sendiri datar, tetapi ia mendengkus lantaran siswi di depannya mencegah langkahnya hanya untuk bertanya tentang toilet.
"Haloo! Kak! Kamu baik-baik saja?" Lucyana menggerakkan tangannya di depan wajah Galen, semakin membuat orang di sekelilingnya makin sulit untuk bernapas.
Tetapi mereka tidak menghentikan Lucyana, mereka justru tertarik ingin melihat apa yang akan dilakukan oleh Galen padanya. Yang jelas bukan sesuatu yang baik.
"Aku anak baru dan —"
"Bisa baca gak?" Galen menukas ujaran Lucyana. Tangannya menunjuk ke arah kanannya.
Lucyana mengikuti arah yang Galen tunjukkan. Setelah itu kembali melihat ke arah Galen. Ia meringis mendapati ekspresi wajah Galen yang seolah ingin memangsa dirinya.
"Terima kasih, Kak." Tidak tahan dengan tatapan mau Galen Lucyana memilih menyingkirkan. "Sampai jumpa. Namaku Lucyana Evangelista. Kakak bisa panggil aku Ana." Lucyana berucap tanpa menghentikan langkahnya.
DUK
Kakinya tidak menyenggol tempat sampah membuat orang yang melihatnya tertawa.
Galen sendiri mendengkus melihat tingkah konyol gadis itu. Setelah itu Galen memilih untuk pergi. Lagi-lagi moodnya kembali berantakan lantaran berpapasan dengan Evan. Kekasih Safira itu menghadang langkahnya disusul oleh ketiga teman Galen.
"See, kamu boleh pintar dan kaya, tampanmu juga oke. Tapi kamu kalah untuk mendapatkan Safira. Dia lebih memilihku," ejek Evan.
Galen menatap Evan malas. Ingin sekali dirinya memukul Evan, tetapi tidak ia lakukan. Mereka ada di area sekolah. "Masih kurang pukulanku waktu itu?" tanya Galen sarkas. "Perlu aku kasih tahu sama Safira, kalau kamu menang Olimpiade karena sogokan uang yang ada nilainya itu!" ancam Galen.
Setelah mengatakan kalimat itu, Galen pergi dengan diikuti oleh ketiga temannya diiringi tawa ejekan. Evan dibuat tidak bisa berkata-kata. Yang menjadi pertanyaan darimana Galen tahu semua itu?
Sementara itu, di dalam toilet, Lucyana sedang mendapatkan bullying dari kakak kelasnya. Padahal dirinya tidak tahu apa kesalahannya. Kania Ariesta, nama yang tertera di id card siswi cantik itu.
Setelah masuk ke dalam toilet, tidak lama Kania dan dua dayangnya datang. Kania langsung mengunci pintu toilet, membuat Lucyana terkejut.
"Ada apa, Kak?" tanya Lucyana gugup karena tatapan Kania dan dua temannya itu.
Bukannya menjawab Kania justru mendorong Lucyana hingga tubuh belakang Lucyana menubruk tembok.
"Awww!" pekik Lucyana. Tangannya terulur untuk menjangkau rasa sakit yang ia rasakan di punggungnya.
"Amara, isi wastafelnya sampai penuh!" perintah Kania pada salah satu temannya.
"Beres!" Amara melakukan apa yang Kania suruh.
Lucyana berdiri dalam kebingungan melihat apa yang dilakukan oleh Kania dan dua temannya, tetapi setiap kali ia bertanya dirinya tidak mendapatkan jawaban, justru yang ia dapat hanya cacian dan juga makian.
"Sini!" Kania mencengkeram rambut Kania yang terikat layaknya ekor kuda, menariknya menuju depan wastafel.
"Kakak, lepasin. Arghht." Rambut Lucyana ditarik oleh seorang siswi cantik yang merupakan kakak kelasnya itu.
"Jangan mimpi!" Siswi cantik itu menenggelamkan kepala Lucyana ke dalam wastafel yang penuh dengan air lantas menariknya kembali.
"Hahhh, hahah!"
Belum sempat Lucyana menarik napas, ia kembali ditenggelamkan dan kembali ditarik membuat Lucyana terbatuk-batuk juga kesulitan untuk bernapas.
"Ini akibatnya jika kamu udah kecentilan sama pacar aku!" sentak Kania.
"Tapi aku tidak tahu siapa pacar Kakak? Aku anak baru, aku belum kenal siapapun," bantah Lucyana. Ia berucap dengan susah payah.
"Jangan bohong! Mau aku tenggelamkan lagi, hah!" ancam Kania tanpa melepaskan rambut Lucyana.
Lucyana menggeleng sembari menangis.
"Sunguh, Kak. Aku tidak kenal sama pacar Kakak," ucap Lucyana lagi.
"Kamu pikir aku percaya!" Kania melepaskan cengkraman tangannya di rambut Lucyana, lalu mendorong gadis yang merupakan adik kelasnya itu ke tembok, lantas mencengkram lehernya. "Dengernya, pacar aku itu Galen Haidar Bramantyo!"
"A-ku ti-dak kenal," ucap Lucyana. Nada bicaranya terputus-putus karena cekikan di lehernya.
"Kania, lepasin dia. Wajahnya udah merah banget. Kalau dia mati bagaimana?" ucap Amara takut.
"Dia mati pun aku tidak peduli!" Kania menolak untuk melepaskan Lucyana. "Dia udah lancang godain Galenku."
"Tapi —"
BRAK BRAK
"Buka!"
Gedoran dan suara lantang di depan pintu toilet itu mengalihkan perhatian Kania dan dua temannya. Kania dengan cepat melepaskan cengkraman tangannya di leher Lucyana.
"Buka, Sialan!"
Kania kenal jelas siapa pemilik suara itu.
"Buka!" perintah Kania pada Amara.
Amara mengangguk, lantas membuka pintu toilet. Namun … BRAK! Pintu toilet yang terbuka dengan cepat membuat Amara tidak sempat menghindar. Tubuh Amara terkena pintu kamar mandi membuatnya terduduk di lantai toilet yang basah.
"Aaaaa!" Amara menjerit lantaran seragamnya basah.
Bersamaan dengan itu masuklah seorang gadis yang langsung menatap tajam Kania.
"Beraninya main keroyokan!"