NovelToon NovelToon
My Crazy Daughter

My Crazy Daughter

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Fantasi / Balas Dendam / Identitas Tersembunyi
Popularitas:1.7k
Nilai: 5
Nama Author: Matatabi no Neko-chan

Setelah diadopsi Verio, kehidupan Ragna berubah. Apalagi saat mendapat ingatan masa lalunya sebagai putri penjahat yang mati akibat penghianatan.
Memanfaatkan masa lalunya, Ragna memutuskan menjadi yang terkuat, apalagi akhir-akhir ini, keadaan kota tidak lagi stabil. Bersama Verio, mereka memutuskan menuju puncak dalam kekacauan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Matatabi no Neko-chan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 7

Verio dan Ragna melangkah perlahan di sepanjang koridor apartemen. Kehangatan kecil terpancar dari cara gadis itu bersandar nyaman di dada Verio. Namun, langkah mereka terhenti saat seorang pria dengan senyum licik menyapa.

"Verio," panggil pria itu dengan nada yang penuh ejekan. "Ku dengar kau punya anak sekarang." Matanya menyusuri sosok kecil di pelukan Verio, tatapan menilai terpancar dari wajahnya.

Verio menoleh, wajahnya tetap datar. "Benar," jawabnya singkat.

Pria itu terkekeh kecil, seolah tidak percaya dengan jawaban yang baru saja didengarnya. "Kau serius?" tanyanya sambil menggeleng pelan. "Mengadopsi seorang anak? Atau...," pria itu mencondongkan tubuhnya ke depan dengan tatapan menyeringai, "jangan-jangan kau berencana menikahinya setelah dia dewasa? Karena, ya... kau kan pernah gagal total—ditinggal calon istri, dituduh melecehkan saudari tiri, dan akhirnya diusir dari rumah."

Wajah Verio langsung mengeras, seluruh tubuhnya menegang. Kenangan kelam itu kembali menghantamnya, memaksa luka lama yang belum sepenuhnya sembuh untuk terbuka lagi. Tuduhan keji, pengkhianatan, dan kehancuran hidupnya semua terulang dalam ingatannya. Ia mengepalkan tangan erat, namun sorot matanya kini terarah pada Ragna, yang ia khawatirkan mendengar kata-kata tersebut.

Namun, gadis kecil itu bukannya terpukul. Sebaliknya, Ragna hanya menatap pria itu dengan sebelah alis terangkat, ekspresinya jelas-jelas menunjukkan kejengkelan.

"Om," kata Ragna dengan nada datar namun penuh sindiran, "apa Om suka berkhayal? Atau mungkin Om iri karena nggak ada yang mau menikah sama Om sampai sekarang?"

Pria itu terkejut, jelas tidak menyangka balasan seperti itu dari gadis sekecil Ragna. "Apa?!"

Ragna melipat tangan di dada, matanya memandang pria itu dengan tajam. "Papa nggak perlu menikahi aku buat jadi orang penting di hidupku. Dia sudah jadi Papa yang baik, beda sama orang yang cuma bisa ngomong tapi nggak punya isi."

Verio tak bisa menahan senyum tipis yang muncul di wajahnya, meskipun situasinya masih menegangkan. Gadis kecil itu benar-benar tahu cara membuat lawannya kehilangan kata-kata.

Pria itu memerah, menatap Verio dengan marah sebelum berbalik dan pergi, menggerutu pelan.

Verio menghela napas, melirik Ragna dengan campuran bangga dan geli. "Kau tahu, kau terlalu cepat tumbuh menjadi nyala api kecil, Ragna."

Ragna hanya menyeringai. "Kan Papa yang mengajariku."

Verio melanjutkan langkah setelah pria itu menghilang di ujung koridor. Suasana kembali tenang, tapi Verio masih bisa merasakan kemarahan yang tersisa dari interaksi tadi.

Ragna, di sisi lain, terlihat santai, seperti biasa. Dia melirik Verio yang masih diam. "Papa, nggak usah ambil pusing. Orang kayak gitu cuma pintar ngomong doang. Nggak usah dimasukin hati."

Verio mendengus kecil. "Kau bicara seperti sudah mengenal banyak orang dewasa yang menyebalkan."

"Yah, kalau orang dewasa itu modelnya seperti dia, aku rasa aku cukup berpengalaman," jawab Ragna dengan nada bercanda, membuat Verio tak bisa menahan senyum tipis.

"Aku hanya nggak ingin kau harus mendengar omong kosong semacam itu," kata Verio pelan, sorot matanya melunak saat ia melirik Ragna di pelukannya. "Kau masih terlalu muda untuk menghadapi tuduhan bodoh."

Ragna mengangkat bahu ringan. "Nggak masalah. Aku nggak peduli sama omongan orang kayak dia. Yang penting aku tahu Papa bukan seperti yang dia bilang."

Perkataan Ragna membuat Verio terdiam sejenak. Hatinya terasa hangat, meski ia jarang menunjukkan emosi semacam itu.

"Kadang aku berpikir," gumam Verio sambil menatap ke depan, "kau ini lebih dewasa daripada aku waktu seumuranmu."

"Karena aku anak Papa, tentu saja aku hebat," kata Ragna sambil terkekeh, memutar bola matanya dengan gaya dramatis.

Verio tertawa kecil. "Jangan terlalu percaya diri. Nanti dunia ini terlalu kecil untuk menampungmu."

"Kalau gitu, biar Papa yang membangun dunia lebih besar untukku," balas Ragna, separuh bercanda, separuh serius.

Verio hanya menggelengkan kepala, senyum hangat masih terukir di wajahnya. Ia tahu hidup mereka tidak pernah mudah, tapi momen-momen kecil seperti ini mengingatkan Verio bahwa ia telah membuat pilihan yang benar. Ragna adalah pusat dunianya sekarang, dan apapun yang terjadi, ia akan selalu memastikan gadis itu merasa dicintai dan aman.

"Baiklah," kata Verio akhirnya, menepuk bahu Ragna pelan. "Ayo kita pulang. Sepertinya malam ini kita butuh makan sesuatu yang enak."

"Pizza?" tanya Ragna dengan mata berbinar.

"Pizza," jawab Verio setuju, dan keduanya pun tertawa kecil sambil melangkah keluar dari gedung apartemen.

Verio mendorong troli belanja di lorong swalayan yang penuh dengan berbagai bumbu dapur, sementara Ragna duduk santai di dalamnya dengan catatan belanja di tangannya. Sesekali, Verio berhenti untuk mengambil barang dari rak, tak sadar bahwa gadis kecilnya telah keluar dari troli. Ragna kini sibuk memasukkan beragam camilan ke dalam troli tanpa sepengetahuan Verio.

Ketika mereka tiba di kasir, Verio melotot kaget melihat setumpuk camilan yang tiba-tiba memenuhi troli. "Astaga, bocah! Apa-apaan ini? Kenapa kau memborong begitu banyak snack? Mau jadi apa kau nanti, sekurus lidi?" omelnya sambil menunjuk camilan-camilan itu.

"Tapi, kan, Pa, ini untuk stok seminggu," jawab Ragna polos sambil mulai menghitung camilannya satu per satu. "Yang ini untuk hari ini, yang itu untuk besok, dan yang itu buat teman belajar..."

Verio menghela napas panjang, lalu mendorong troli menuju kasir dengan wajah pasrah. "Baiklah. Kali ini aku menuruti semua keinginanmu. Tapi dengar, bulan depan, nggak ada lagi acara borong snack seperti ini, ya?"

Ragna tersenyum lebar sambil mengangkat kedua tangannya. "Yeay! Aku cinta Papa! Tapi bulan depan aku bakal beli dua kali lipat dari sekarang!"

Verio mendelik. "Kau ini mau merampok aku, ya?"

"Tentu tidak, Papa. Aku cuma merampok dompet Papaku yang tampan, sabar, dan baik hati ini," balas Ragna sambil tertawa kecil.

Beberapa pengunjung yang berada di sekitar mereka menoleh dengan senyum geli melihat interaksi keduanya. Ada pula yang menatap iri, terkesan dengan keakraban di antara ayah dan anak itu.

Setelah semua barang dibayar, Verio dan Ragna membawa belanjaan ke mobil, memasukkannya ke dalam bagasi. Begitu semua selesai, Ragna tiba-tiba berseru, "Pa, aku lapar."

Verio menatapnya dengan ekspresi setengah tidak percaya. "Lapar? Baru juga selesai belanja. Kau ini apa, mesin makanan?"

"Aku ini anak yang sedang masa pertumbuhan, Papa! Wajar dong kalau cepat lapar," jawab Ragna dengan nada gemas, menatap Verio seakan protes.

Verio terkekeh mendengar pembelaan gadis itu. "Iya, iya. Ayo kita cari tempat makan dulu sebelum kau berubah jadi monster kelaparan."

Ragna tertawa sambil menggandeng tangan Verio, melangkah dengan semangat. "Tapi aku nggak mau jadi monster. Aku mau jadi anak Papa yang paling manis dan paling pintar memilih tempat makan enak!"

"Baiklah, kau yang pilih tempatnya. Tapi jangan pilih yang mahal, ya. Dompetku sudah tipis gara-gara boronganmu tadi," canda Verio, meski ada nada pasrah di dalam suaranya.

Keduanya pun berangkat mencari tempat makan, dengan senyum dan tawa yang menghiasi perjalanan mereka.

🐾

Keduanya memasuki sebuah kafe yang cukup ramai. Aroma kopi dan makanan panggang memenuhi udara, namun perhatian Verio langsung tertuju pada salah satu sudut ruangan. Di sana, sebuah keluarga tampak tertawa bersama, lengkap dengan suasana hangat khas keluarga sempurna.

"Sepertinya kita salah pilih tempat," gumam Verio, sedikit menyesal. Mata tajamnya memantau keadaan, khawatir jika suasana ini akan membuat Ragna merasa kecil hati atau tidak nyaman.

Namun, kekhawatirannya segera sirna ketika Ragna, yang berada dalam pelukannya, justru tampak bersemangat. Dengan mata berbinar, dia menunjuk salah satu meja kosong di sudut ruangan.

"Papa, kita duduk di sana, yuk," katanya dengan nada ceria.

Verio menatapnya penuh tanya, masih diliputi kekhawatiran. "Kau yakin? Kau nggak keberatan dengan... semua ini?" tanyanya sambil melirik ke arah keluarga yang terlihat seperti iklan bahagia itu.

Ragna mendongak, menatap ayah angkatnya dengan ekspresi santai yang khas. "Untuk apa keberatan, Pa? Justru mereka yang iri," balasnya sambil tersenyum penuh percaya diri.

Kemudian, dia menyandarkan kepalanya dengan nyaman di bahu Verio. Matanya menangkap beberapa anak perempuan seusianya yang menatapnya dengan tatapan penuh rasa ingin tahu—atau mungkin iri. Senyum sombongnya semakin melebar.

"Kau lihat, kan?" katanya pelan, hampir berbisik. "Aku punya Papa paling keren. Nggak semua orang seberuntung aku."

Verio terkekeh kecil, sebagian merasa lega, sebagian lagi terhibur dengan keberanian Ragna. "Tentu saja. Papa memang yang terbaik," katanya sambil mengusap kepala gadis itu dengan lembut.

Mereka pun menuju meja yang dipilih Ragna. Verio memesan makanan, sementara Ragna sibuk menikmati suasana. Tak ada rasa rendah diri di wajah gadis itu—hanya percaya diri yang memancarkan kepribadiannya yang kuat.

Keributan mendadak terjadi di kafe itu, menarik perhatian semua pengunjung. Seorang wanita dengan wajah penuh amarah melangkah cepat ke arah keluarga yang tadi tampak seperti keluarga sempurna. Suaranya melengking, melabrak tanpa ampun, membuat suasana menjadi tegang. Bisik-bisik mulai memenuhi ruangan, diiringi tatapan penasaran dari setiap sudut.

“Aku tahu kau main belakang! Dan di depan anak-anak pula, kau pura-pura jadi suami ideal!” teriak wanita itu, menunjuk pria di meja keluarga tersebut.

Ragna, yang duduk santai sambil menyeruput minumannya, menonton kejadian itu seperti menonton drama langsung. Dia menoleh ke Verio dengan santai, senyum licik menghiasi wajahnya.

“Kan, Pa,” celetuknya tanpa beban, “Apalah arti keluarga cemara yang dipamerkan kalau akhirnya begini juga.”

Verio melirik gadis kecilnya, mencoba menahan tawa. "Kau ini... selalu saja ada komentar pedas." Dia menggeleng-gelengkan kepala, namun bibirnya menyunggingkan senyum tipis.

Ragna menaik-turunkan alisnya penuh kemenangan. "Aku hanya bilang fakta, Pa. Mau gimana lagi?"

Suasana kafe yang tadinya hangat berubah jadi panggung drama, namun bagi Verio dan Ragna, itu hanya sekadar hiburan tambahan di hari itu.

Keributan semakin memuncak. Wanita itu tak berhenti melontarkan berbagai tuduhan di depan semua orang. Sang pria mencoba membela diri, tetapi gagal total karena setiap ucapannya justru memicu lebih banyak kemarahan. Anak-anak keluarga cemara tampak bingung, sementara sang istri hanya menunduk, wajahnya penuh rasa malu.

"Drama gratis nih, Pa," gumam Ragna sambil menopang dagu, menikmati kekacauan di depan matanya.

"Aku merasa seperti di bioskop tanpa harus bayar tiket," balas Verio, sarkastis seperti biasanya.

Seorang pelayan mencoba meredakan situasi, tetapi wanita itu malah semakin menjadi-jadi. Gelas di atas meja dilempar, jatuh berantakan di lantai. Beberapa pengunjung mulai beranjak keluar, tak ingin terseret dalam keributan.

“Papa, gimana kalau kita pindah tempat aja?” tanya Ragna akhirnya, meski masih tampak menikmati pertunjukan dadakan itu.

“Aku juga berpikir begitu. Selain itu, aku nggak mau kau belajar jadi tukang labrak kayak wanita itu,” sahut Verio sambil berdiri. Dia meraih tangan Ragna, membantunya turun dari kursi.

Saat mereka berjalan keluar, Ragna sempat menoleh lagi, memandangi keluarga yang kini tercerai-berai itu. Dia tersenyum kecil.

“Papa, kau tahu? Mungkin kita bukan keluarga cemara, tapi aku lebih suka begini. Setidaknya, kita nggak fake.”

Verio berhenti sejenak, menatap gadis kecilnya dengan sorot lembut. "Setidaknya, kita asli." Dia mengusap kepala Ragna, lalu menggandeng tangannya. "Ayo, kita cari tempat makan yang tenang."

“Dan tanpa drama,” tambah Ragna dengan nada setengah geli.

Mereka keluar dari kafe itu, menyusuri trotoar yang dipenuhi lampu-lampu jalanan yang mulai menyala. Langit sore berganti malam, tetapi suasana kota tetap ramai. Verio dan Ragna berjalan santai, menikmati angin malam yang sejuk.

“Papa,” Ragna memecah keheningan. “Menurut Papa, mereka bakal damai lagi nggak?”

“Kalau kau tanya aku, aku bilang tidak,” jawab Verio santai. “Orang yang suka pamer kebahagiaan biasanya punya banyak retakan yang mereka sembunyikan.”

Ragna mengangguk, tampak memikirkan jawaban itu. “Berarti, kita nggak perlu pamer kebahagiaan, ya?”

“Ngapain? Hidup kita bukan untuk hiburan orang lain,” balas Verio, kali ini dengan nada lebih serius. “Kau hanya perlu bahagia dengan caramu sendiri, bukan versi orang lain.”

Ragna menatap Verio dengan senyum kecil. “Papa benar. Makanya aku nggak pernah iri sama keluarga cemara palsu itu.”

“Kau memang harusnya nggak iri,” sahut Verio sambil mencubit lembut pipi Ragna. “Kau punya aku, ayah paling keren di dunia ini.”

Ragna meringis sambil menepis tangan Verio. “Iya, Papa paling keren... tapi paling menyebalkan juga.”

Verio tertawa kecil, tangannya merangkul bahu Ragna. Mereka terus berjalan sampai menemukan sebuah warung kecil di pinggir jalan.

“Apa ini cukup tenang buatmu?” tanya Verio sambil menunjuk warung yang sederhana, dengan beberapa bangku kayu dan penerangan lampu kuning temaram.

“Kelihatannya nggak ada drama di sini,” jawab Ragna sambil tersenyum. “Ayo, Pa, kita makan di sini aja.”

Mereka masuk ke dalam, memesan makanan sederhana, dan menghabiskan waktu berbicara ringan tentang berbagai hal. Meski hanya tempat kecil, suasana di warung itu terasa hangat—tanpa paksaan, tanpa kepalsuan.

Di tengah malam yang semakin larut, Ragna menatap Verio dan berpikir, 'Mungkin dikehidupan ini, aku memang nggak punya keluarga yang sempurna dan tidak memiliki kekayaan seperti dulu. Tapi aku punya pria ini sebagai ayah. Itu sudah cukup.'

.

.

.

Verio Ganeshara

1
Listya ning
kasih sayang papa yang tulus
Semangat author...jangan lupa mampir 💜
Myss Guccy
jarang ada orang tua yg menujukkan rasa sayangnya dng nada sarkas dan penuh penekanan. tp dibalik itu semua,, tujuannya hanya untuk membuat anak lebih berani dan kuat. didunia ini tdk semua berisi orang baik, jika kita lemah maka kita yg akan hancur dan binasa, keren thor lanjutkan 💪
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!