"Aku memang lebih muda darimu, Elea," bisik Darren dengan suara rendah, nyaris berdesir di telinganya. Napas hangatnya menggelitik kulit Elea, membuat tubuhnya tanpa sadar bergetar. "Tapi, aku tetaplah seorang pria normal," lanjutnya, suaranya penuh keyakinan, meninggalkan ketegangan yang menggantung di antara mereka.
***
Darren Alaric Everleigh, pewaris tunggal sebuah perusahaan besar, memutuskan untuk menjalani kehidupan yang berbeda. Menyamar sebagai karyawan biasa, ia masuk ke perusahaan milik keluarganya tanpa seorang pun tahu siapa dirinya sebenarnya. Namun, hidupnya berubah saat ia ditempatkan sebagai asisten Elea Victoria Whitmore.
Elea adalah seorang wanita pekerja keras yang diam-diam menyimpan mimpi besar. Namun, mimpi itu selalu dihancurkan oleh suaminya, Adrian, seorang pria yang tidak pernah mendukungnya. Di tengah tekanan pekerjaan dan pernikahan yang dingin, Elea menemukan kenyamanan dalam kehadiran Darren—seorang asisten muda yang penuh perhatian.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kyurincho, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Unexpected Help
Elea duduk di ruangannya yang minimalis dan tertata rapi. Jendela besar di belakang mejanya memamerkan pemandangan kota yang ramai, dengan lampu-lampu jalanan mulai menyala seiring senja turun. Meski di luar terlihat gemerlap, suasana di ruangan itu terasa sunyi, hampir mencekam. Elea sibuk membaca dokumen yang menumpuk di mejanya, namun sorot matanya penuh kecemasan. Beberapa hari terakhir ini, namanya dikaitkan dengan tuduhan manipulasi laporan keuangan perusahaan—sebuah tuduhan yang menghancurkan kredibilitasnya sebagai kepala divisi keuangan.
Elea menghela napas panjang, berusaha mengabaikan suara berbisik yang ia dengar di lorong beberapa jam lalu. Semua orang seolah memandangnya dengan kecurigaan, bahkan orang-orang yang dulu menghormatinya.
Elea duduk dengan kepala tertunduk. Rasa malu dan marah bercampur dalam pikirannya. Ia tidak menyangka dirinya akan menjadi sasaran kemarahan Harland atas sesuatu yang tidak ia lakukan. Matanya berkaca-kaca, tetapi ia menolak membiarkan air mata jatuh di depan rekan-rekannya.
Ia memikirkan Adrian. Malam-malam sebelumnya, mereka bertengkar tentang mimpinya menjadi penulis. Kini, dengan kejadian ini, Elea merasa semakin tidak berdaya.
“Kenapa semuanya terasa begitu sulit?” pikirnya dalam hati.
***
Darren berjalan dengan santai, tangan di saku celana, dasi sedikit longgar, menampilkan aura cueknya yang khas. Namun di balik sikapnya yang terlihat santai, otaknya bekerja keras. Beberapa hari ini, ia memperhatikan perubahan suasana di kantor. Ia tahu Elea, wanita yang selama ini ia kagumi secara diam-diam, tengah menjadi sasaran fitnah.
Darren melirik ke arah ruangan Elea dari kejauhan. Ia tahu wanita itu tangguh, tetapi beban sebesar ini pasti menggerogoti hatinya. Darren merasakan gelombang emosi yang sulit ia jelaskan—kemarahan, kekhawatiran, dan tekad untuk membantu.
“Elea,” gumamnya, seolah menyebut nama itu memberinya semangat.
***
Tanpa mengetuk, Darren masuk ke ruangan Elea dengan langkah ringan. “Aku bawa kopi. Kurasa kau membutuhkannya,” katanya, menaruh cangkir kertas di mejanya.
Elea mengangkat alis. “Kalau itu alasanmu untuk datang tanpa izin, aku tidak tertarik.”
“Tajam sekali,” Darren tertawa kecil, menarik kursi di depan meja Elea. “Tapi serius, kau kelihatan seperti butuh istirahat.”
“Darren, aku sibuk. Dan aku tidak ada waktu untuk leluconmu.”
Namun Darren tidak terintimidasi. “Aku tahu kau tidak melakukannya. Tuduhan itu omong kosong. Aku hanya ingin kau tahu, aku ada di pihakmu.”
Elea berhenti mengetik. Tatapannya melembut, meski tetap tegas. “Dan kau pikir apa yang bisa kau lakukan? Ini bukan urusan anak kecil yang suka main-main, Darren.”
“Aku mungkin anak kecil,” Darren menyeringai, “tapi aku anak kecil yang pintar. Aku tahu ada sesuatu yang tidak beres, dan aku berniat mencari tahu siapa yang melakukannya.”
“Darren—”
“Jangan bilang aku tidak bisa membantu, Elea. Aku tidak akan diam melihatmu dihancurkan seperti ini.”
Elea menatap Darren, bingung antara merasa kesal atau tersentuh. “Kau keras kepala,” gumamnya.
“Dan kau suka itu.” Darren melemparkan senyuman menggoda.
***
Berhari-hari setelah kejadian itu, Darren tidak bisa duduk diam. Ia tidak hanya merasa marah karena Elea diperlakukan tidak adil, tetapi juga merasa bahwa ada sesuatu yang tidak beres. Ia telah memeriksanya dan dokumen yang menyebabkan keributan di kantor itu tampak seperti kesalahan yang disengaja, bukan sekadar keteledoran.
Sebagai pewaris perusahaan, Darren terbiasa membaca situasi. Ia tahu betul bahwa dunia korporat penuh dengan intrik, iri hati, dan pengkhianatan. Namun, ia tidak menyangka bahwa ia akan menemukannya bahkan di level ini, di antara para karyawan biasa. Saat itu, pikirannya hanya satu: membersihkan nama Elea.
Ruangan kantor mulai sepi saat waktu makan siang tiba. Kebanyakan karyawan sudah pergi keluar untuk makan atau istirahat. Darren memanfaatkan kesempatan itu untuk menyelinap ke bagian administrasi, tempat dokumen-dokumen penting biasanya disimpan. Langkahnya mantap, meski ia berhati-hati agar tidak menarik perhatian.
Tempat itu gelap, dengan cahaya kuning temaram dari lampu yang berkedip. Ia telah mencuri akses kartu salah satu staf untuk masuk ke sini, mencari dokumen yang bisa menjelaskan bagaimana tuduhan terhadap Elea bisa muncul.
Tangannya berhenti di sebuah folder dengan nama "Divisi Keuangan - 2024". Saat ia membukanya, ia menemukan sesuatu yang aneh—dokumen palsu yang mencatut nama Elea, namun tanda tangan di bawahnya jelas berbeda dari miliknya.
“Siapa yang mencoba menjebakmu, Elea?” bisiknya pelan.
Darren mencuri waktu untuk memeriksa dokumen-dokumen yang terlibat dalam masalah ini. Dalam beberapa menit, ia menemukan kejanggalan. Ada perbedaan kecil pada tanda tangan digital Elea yang disisipkan dalam laporan tersebut. Ia tahu cukup banyak tentang teknologi untuk menyadari bahwa tanda tangan itu dipalsukan—dan ia yakin seseorang yang saat ini ia curigai adalah dalangnya.
Lalu ia melihat satu nama yang membuat darahnya mendidih: salah satu rekan kerja Elea yang selalu tampak terlalu ramah namun sering melontarkan komentar sarkastik tentang Elea di belakangnya.
***
Darren kembali ke meja kerjanya dengan dokumen di tangan. Lisa yang sedang mengunyah sandwich meliriknya dengan rasa ingin tahu.
“Kau terlihat seperti detektif dalam film,” kata Lisa sambil tersenyum tipis.
“Aku hanya memastikan sesuatu,” jawab Darren sambil duduk. Ia mendekatkan diri dan berbisik, “Lisa, aku punya pertanyaan. Apa kau tahu hubungan Elea dan Nadia seperti apa?”
Lisa meletakkan sandwichnya, alisnya mengernyit. “Mereka... bekerja sama, tetapi aku sering merasa ada ketegangan di antara mereka. Nadia kadang terlihat kesal saat Elea dipuji oleh Harland. Kenapa kau tanya?”
Darren tersenyum samar. “Hanya ingin tahu. Terima kasih, Lisa.”
Ia sudah mulai menduga siapa pelakunya. Selama ini, ia mengamati dinamika kantor dengan teliti. Mata Darren terpaku pada sebuah nama—Nadia, rekan kerja Elea yang sering terlihat iri terhadap perhatian yang didapat Elea dari atasan. Nadia adalah wanita ambisius, dengan senyum palsu yang sering kali menutupi ketidakpuasannya. Ia selalu ingin terlihat menonjol, tetapi bayang-bayang kemampuan Elea terus menghalangi jalannya.
***
Setelah jam kerja usai, Darren memutuskan untuk menghadapi Nadia. Ia menemukannya di area parkir, sedang memasukkan dokumen ke dalam tasnya.
“Nadia,” panggil Darren dengan nada tenang tetapi tegas.
Nadia menoleh, terlihat terkejut. “Darren? Ada apa?”
Darren melangkah mendekat, matanya tajam seperti elang yang mengawasi mangsanya. “Kita perlu bicara. Tentang dokumen yang menyebabkan masalah beberapa hari ini.”
Wajah Nadia berubah pucat, tetapi ia mencoba tersenyum. “Aku tidak mengerti maksudmu.”
“Oh, aku rasa kau sangat mengerti,” jawab Darren, menyilangkan tangan di dadanya. “Aku tahu kau yang memalsukan tanda tangan Elea.”
Nadia tertawa gugup. “Itu tuduhan serius, Darren. Kau tidak bisa bicara seperti itu tanpa bukti.”
Darren mengeluarkan salinan dokumen dari saku jasnya dan menunjukkannya kepada Nadia. “Aku punya bukti. Perbedaan ini mungkin kecil, tetapi cukup untuk membuktikan bahwa tanda tangan itu palsu. Dan aku yakin, jika aku memeriksa laptopmu, aku bisa menemukan lebih banyak.”
Nadia mencoba membalas dengan ketus, tetapi suaranya bergetar. “Kau tidak punya hak mengakses laptopku!”
Darren mendekat, suaranya lebih rendah tetapi penuh ancaman. “Nadia, aku punya lebih dari sekadar hak. Kau tahu siapa aku, bukan?”
Wajah Nadia memucat seketika. Ia memang tidak tahu identitas Darren yang sebenarnya, tetapi ketegasan dan aura kekuasaan yang ia pancarkan cukup untuk membuatnya ciut.
Darren menatapnya tajam. “Aku bisa memaafkan banyak hal, tetapi tidak ketika kau menjatuhkan orang yang tidak bersalah untuk keuntunganmu sendiri. Kau punya waktu sampai besok pagi untuk mengaku pada Harland dan membersihkan nama Elea. Jika tidak, aku yang akan melakukannya, dan percayalah, itu tidak akan baik untuk kariermu.”
Nadia tidak bisa berkata-kata. Ia menatap Darren dengan campuran ketakutan dan rasa bersalah, sementara Darren berbalik dan berjalan pergi, meninggalkannya dengan ancaman yang bergema di udara.
Darren merasa puas, tetapi hatinya masih berat. Ia tahu bahwa Nadia mungkin akan menurutinya, tetapi masalah ini hanyalah awal dari tantangan yang lebih besar. Elea mungkin akan terbebas dari tuduhan ini, tetapi luka emosionalnya akan memakan waktu untuk sembuh.
Darren berjalan menuju mobilnya, bertekad untuk terus melindungi Elea, meskipun ia tahu bahwa wanita itu mungkin tidak pernah meminta bantuannya. “Aku akan melindungimu, Elea,” pikir Darren sambil menghela napas panjang.
***