Alya, gadis miskin yang baru saja menyelesaikan pendidikannya di salah satu universitas harus bekerja serabutan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya tertarik saat menerima tawaran menjadi seorang baby sister dengan gaji yang menurutnya cukup besar. Tapi hal yang tidak terduga, ternyata ia akan menjadi baby sister seorang anak 6 tahun dari CEO terkenal. kerumitan pun mulai terjadi saat sang CEO memberinya tawaran untuk menjadi pasangannya di depan publik. Bagaimanakah kisah cinta mereka? Apa kerumitan itu akan segera berlalu atau akan semakin rumit saat mantan istri sang CEO kembali?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon triani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7, Tara yang Rapuh
Hari demi hari, Alya semakin menyadari betapa dinginnya hubungan antara Aditya dan Tara. Meskipun mereka tinggal dalam satu rumah besar yang mewah, atmosfer di dalamnya terasa sangat sunyi dan tidak hangat. Setiap kali Aditya pulang dari pekerjaannya yang panjang, dia tidak pernah langsung menyapa Tara saat Tara masih terjaga, ia lebih memilih menyendiri di ruang kerjanya hingga berjam-jam.
Bahkan, ketika Tara tengga bermain di ruang tamu, Aditya hanya menyapanya sebentar dan kemudian melewati Tara dengan cepat, seakan tidak melihatnya. Begitu pula saat berangkat kerja, Aditya tidak pernah pamit atau memberi perhatian pada anaknya yang masih duduk di meja makan atau sedang bermain di ruang keluarga.
Dan Tara selalu dihadapkan dengan rutinitas padat setiap hari, mulai dari home schooling, les piano, les balet dan masih banyak lagi aturan yang harus Tara jalani sepanjang hari hingga anak itu kurang waktu untuk bermain.
Alya sering kali menyaksikan pemandangan ini dengan rasa cemas. Ia merasa bahwa hubungan antara ayah dan anak ini lebih mirip dua orang asing yang tidak saling mengenal, bukan hubungan ayah dan anak yang seharusnya penuh kasih sayang dan perhatian. Hal ini semakin terlihat jelas ketika Tara sering kali duduk sendiri di ruang tamu atau di kamar, menunggu sesuatu yang tidak pernah datang. Seakan-akan, Tara sudah terbiasa dengan rutinitas padat dan kesendirian, dengan tidak adanya figur ayah yang dapat memberikan kehangatan dalam hidupnya.
“Aku tahu tuan Aditya sangat sibuk dengan pekerjaannya. Tapi... kenapa dia bisa begitu dingin terhadap Tara? Apa dia benar-benar tidak merasa kehilangan momen berharga bersama Tara? Anak sekecil itu butuh perhatian, bukan hanya uang, aturan atau barang-barang mahal. Tara jelas merindukan kehadiran ayahnya, tapi sayangnya tuan Aditya tidak menyadarinya. Apa yang terjadi pada hubungan mereka? Kenapa mereka seakan-akan hidup di dunia yang terpisah?” batin Alya bergejolak.
Alya merasa terjebak dalam peranannya yang baru, bukan hanya sebagai pengasuh, tetapi juga sebagai saksi bisu dari hubungan yang terasing antara ayah dan anak ini. Dia ingin membantu memperbaiki keadaan, tetapi dia tahu bahwa itu bukanlah sesuatu yang bisa dia lakukan sendirian. Setiap kali dia melihat Tara merindukan perhatian, dia merasa tak berdaya. Terlebih lagi, Alya merasa bahwa Aditya, meskipun bekerja keras untuk memberi kehidupan yang lebih baik bagi Tara, tampaknya tidak pernah benar-benar memahami kebutuhan emosional anaknya.
Malam ini, setelah makan malam, Alya duduk di ruang keluarga bersama Tara yang sedang menggambar di meja kecilnya. Aditya baru saja pulang, ia hanya melihat sebentar ke arah Alya Daan Tara,
"Selamat malam, tuan Aditya." sapaa Alya dan Aditya hanya mengangguk sebentar kemudian melirik ke arah Tara dan langsung menuju ke ruang kerjanya tanpa menyapa Tara. Tara hanya melihat ayahnya pergi tanpa ada ekspresi yang jelas, namun Alya bisa melihat kerutan halus di dahinya, seolah ada sesuatu yang hilang.
Alya sengaja menggeser duduknya setalah Aditya masuk ke dalam ruang kerjanya, ia mendekat dan duduk di samping Tara, "Tara, kamu lagi gambar apa?"
Tara tersenyum tipis, "Ini gambar keluarga. Aku menggambar Ayah, Mama, dan aku."
Alya melihat gambar itu, lalu tersenyum lembut, "Gambar yang indah. Tapi kenapa kamu sendiri di sana?"
"Mama pergi ninggalin Tara, trus Ayah lebih sering sibuk di kantor daripada di rumah." ucap Tara dengan mata yang agak kosong, mengusap pensil di kertas.
"Tapi kamu tahu, Ayah bekerja keras untuk memberikan yang terbaik untuk kamu, kan?" ucap Alya hati-hati, mencoba tidak membuat Tara lebih sedih.
Tara mengangguk pelan, lalu menunduk, "Aku tahu. Tapi kadang aku cuma pengen ayah di sini, nemenin Tara main, atau cuma untuk bilang 'Halo' atau 'Selamat malam'. Tapi ayah nggak pernah lakuin itu."
"Alya mengerti, Tara. Tapi Tara tahu, bukan berarti Ayah tidak peduli padamu. Mungkin Ayah hanya tidak tahu bagaimana cara menunjukkan perasaannya." ucap Alya dengan lembut, menenangkan.
"Tapi... kan Tara pengen kayak teman-teman Tara lain, sapa Tara, ngajak main." ucap Tara dengan mata yang sedikit berkaca-kaca.
Alya menarik napas panjang, kemudian berpikir sejenak, "Mungkin Ayah terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Tapi itu bukan berarti dia tidak sayang padamu, Tara. Kadang orang dewasa juga lupa untuk menunjukkan perasaan mereka."
"Rasanya Tara kayak nggak begitu penting buat ayah. Ayah cuma ngasih aturan dan aturan, tanpa mau tanya gimana Tara, perasaan Tara." ucap Tara dengan suara pelan.
Alya memegang tangan Tara dengan lembut, "Tara, kamu sangat penting. Ayahmu mungkin tidak tahu bagaimana menunjukkan itu, tapi kamu adalah hal terpenting dalam hidupnya. Percayalah, kadang orang dewasa juga punya cara yang berbeda dalam menyayangi."
"Aku bisa melihat betapa dalamnya luka di hati Tara. Dia hanya butuh Ayahnya, dan itu bukan hal yang salah. Tapi tuan Aditya seakan-akan terlalu tenggelam dalam dunia kerjanya, sampai lupa untuk memberi perhatian pada anak yang sangat membutuhkannya. Aku ingin membantu mereka. Aku ingin mengubah hubungan mereka. Tapi aku bukan siapa-siapa di sini. Hanya seorang pengasuh. Tapi kalau aku bisa membuat sedikit perubahan dalam hidup Tara, aku akan berusaha.” batin Alya. Meskipun keluarganya dalam keadaan kekurangan, setidaknya ia tidak pernah mengeluhkan tentang kekurangan kasih sayang, meskipun ayahnya sudah meninggal tapi ibunya selalu memberi kasih sayang lebih untuk dirinya dan adiknya.
***
Hari ini, Aditya pulang lebih larut dari biasanya, tampaknya lelah dengan pekerjaannya. Tara sudah selesai makan malam dan duduk di ruang tamu, menunggu sesuatu yang entah apa. Melihat Aditya datang, Tara langsung bangkit, namun sebelum dia bisa berbicara, Aditya sudah melewatinya begitu saja.
"Ayah, kamu pulang?" sapa Tara dengan suara pelan, hampir tidak terdengar.
Aditya melihat Tara sebentar, lalu mengangguk singkat, "Iya, Tara. Ayah capek, ayah ke kamar dulu."
Tara hanya mengangguk, terdiam sejenak, lalu menundukkan kepala.
Alya yang menyaksikan dari kejauhan, merasa semakin cemas, kemudian menghampiri Tara, "Tara, kamu mau ngobrol sama Alya ya?"
Tara tersenyum kecil, meski matanya sedikit sayu, "Tara mau ke kamar aja," ucap Tara datar dan memilih berlalu meninggalkan Alya begitu saja kemudian masuk ke dalam kamarnya.
Dua kamar yang saling berhadapan itu sekarang Sudja tertutup, tapi Alya merasa cemas dengan keadaan Tara.
Setelah mondar mandir di depan kamar Tara, akhirnya ia memutuskan untuk mengetuk pintu kamar Tara, berharap Tara akan memberi sahutan. Tapi setelah beberapa kali diketuk, Tara tidak juga membalas panggilannya. Hingga seorang pelayan menghampirinya,
"Mbak Alya,"
Alya pun segera menoleh, "Iya, bi?"
"Nona Tara tidak akan keluar sampai besok, mbak. Sebaiknya Mbak Alya tidur saja." ucap bibi itu.
Alya kembali menatap pintu yang tertutup itu, tapi kemudian menganggukan kepalanya."Iya bi, bibi tidur dulu saja."
"Baiklah, aku tinggal ya."
Alya hanya menganggukkan, tapi lagi-lagi tidak beranjak dari tempatnya. Ia memilih memutar kenop pintu dan ternyata tidak dikunci, ia melihat Tara tengah duduk di atas tempat tidur dengan lutut yang ditekuk, dengan kepala yang di sandaran di lutut.
Alya duduk di samping Tara dengan perlahan, dan mengusap puncak kepala Tara dengan lembut, "Tara, kamu tidak pa pa?"
"Jangan pura-pura peduli, aku tidak suka." ucap Tara sambil mengibaskan tangan Alya.
Alya menghela nafas, "Tara, kadang-kadang orang dewasa itu butuh waktu untuk mengerti perasaan mereka. Jika ayah Tidak bicara padamu, belum tentu ia Tidka peduli, mungkin ayah kamu juga butuh kamu mengerti, karena dia juga punya perasaan."
Mendengar ucapan Alya, Tara pun mengangkat kepalanya, "Benarkah? Apa ayah juga sama kayak Tara?"
Alya dengan cepat menganggukan kepalanya dan tersenyum tipis, "Tapi Alya janji, Alya akan bantu Tara untuk tahu perasaan ayah. Alya yakin Ayahmu sangat sayang sama kamu."
"Tapi kenapa dia nggak pernah menunjukkan itu?" ucap Tara dengan suara pelan, hampir menangis
Alya memeluk Tara dengan lembut, "Karena mungkin dia belum tahu bagaimana cara melakukannya. Tapi percayalah, di dalam hati, Ayahmu selalu peduli."
Alya bisa merasakan beban yang ada pada hati Tara. Semua yang diinginkan Tara hanyalah perhatian dari ayahnya, yang sepertinya sudah lama mengabaikan kebutuhan emosional anaknya. Namun, Alya juga tahu bahwa perubahan ini tidak bisa terjadi dalam semalam. Aditya harus belajar membuka hatinya, dan itu bukanlah tugas yang mudah. Tapi Alya sudah bertekad untuk membantu Tara melalui proses ini, meskipun jalan yang harus ditempuh sangat panjang dan berliku.
Bersambung
Happy reading