John Ailil, pria bule yang pernah mengalami trauma mendalam dalam hubungan asmara, mendapati dirinya terjerat dalam hubungan tak terduga dengan seorang gadis muda yang polos. Pada malam yang tak terkendali, Nadira dalam pengaruh obat, mendatangi John yang berada di bawah pengaruh alkohol. Mereka terlibat one night stand.
Sejak kejadian itu, Nadira terus memburu dan menyatakan keinginannya untuk menikah dengan John, sedangkan John tak ingin berkomitmen menjalin hubungan romantis, apalagi menikah. Saat Nadira berhenti mengejar, menjauh darinya dan membuka hati untuk pria lain, John malah tak terima dan bertekad memiliki Nadira.
Namun, kenyataan mengejutkan terungkap, ternyata Nadira adalah putri dari pria yang pernah hampir menghancurkan perusahaan John. Situasi semakin rumit ketika diketahui bahwa Nadira sedang mengandung anak John.
Bagaimanakah akhir dari kisah cinta mereka? Akankah mereka tetap bersama atau memilih untuk berpisah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon 𝕯𝖍𝖆𝖓𝖆𝖆𝟕𝟐𝟒, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
7. Perasaan yang Terusik
Bagaimana mungkin satu malam itu terasa begitu intens dan berbeda? Padahal, ia sudah terbiasa bersikap dingin dan tak terikat pada wanita manapun.
John mengusap wajahnya, berusaha menepis perasaan yang semakin mendalam itu. Ia sadar, melibatkan perasaan dengan Nadira hanya akan menambah kerumitan dalam hidupnya yang sudah penuh dengan batasan dan prinsip. Namun, bayangan Nadira kembali muncul dalam benaknya, membuatnya tak bisa membohongi diri bahwa ada sesuatu dalam diri gadis itu yang telah mengguncang dinding-dinding hatinya yang selama ini kokoh.
John mendadak tersentak. "Eh, tunggu! Dia sudah bisa keluar rumah dan membawa barang sebanyak itu. Bukankah itu artinya dia sudah sehat?" gumamnya, sorot matanya mulai berubah tajam. "Lalu... mengapa aku masih membiarkan dia di sini?"
John mendesah panjang, namun diikuti oleh kekesalan pada dirinya sendiri. "Tapi... tak mungkin aku menyuruhnya pergi malam-malam begini," bisiknya, mencoba mencari alasan untuk menenangkan dirinya. Bagaimanapun, Nadira sudah terlihat jauh lebih baik, bahkan bisa membawa dua kantong penuh barang-barang dari rumahnya. "Dia bawa barang sebanyak itu ke sini... bukankah itu berarti dia benar-benar ingin tinggal di sini? Apa dia lupa kalau aku hanya memberinya waktu tinggal sampai dia sembuh?"
John mengusap wajahnya kasar, menyadari dirinya mulai kehilangan ketegasan yang selama ini ia banggakan. "Argh... kenapa aku jadi tidak tegas seperti ini? Kenapa aku malah ragu-ragu?"
Namun, di dalam dirinya, John tahu alasannya. Bukan hanya karena ia tak tega, tapi karena kehadiran Nadira sudah mulai mengusik sisi-sisi terdalam hatinya yang lama ia kubur.
"Aku akan mencari tempat untuknya, agar ia tak lagi berada di sini," gumam John, lalu beranjak dari ruangan tamu. Ia duduk di meja kerjanya, menatap layar laptop sambil mencari beberapa tempat tinggal sementara atau bantuan sosial yang mungkin bisa menampung Nadira.
Pagi itu, John dan Nadira duduk berhadapan di meja makan. Sarapan berlangsung tenang, hanya diiringi bunyi piring dan gelas yang sesekali beradu. Nadira beberapa kali mencuri pandang ke arah John, lalu menunduk lagi, berusaha menyembunyikan rona malu di pipinya. Ada sesuatu yang hangat dan aneh di dalam dadanya setiap kali melihat pria itu, sesuatu yang membuatnya tak mengerti kenapa perasaannya bisa begitu dalam untuk seseorang yang dulu asing baginya.
Sambil memotong roti di piringnya, Nadira teringat kembali peristiwa di malam itu, saat John menyelamatkannya.
Satu bulan yang lalu....
Nadira berjalan pulang melewati jalan kecil yang lebih sepi dari biasanya. Dia tidak menyadari beberapa pria yang mengawasinya sejak tadi. Langkahnya cepat, namun suara langkah kaki lain yang terdengar di belakangnya membuat Nadira mulai merasa tidak nyaman. la mempercepat langkah, tetapi tiba-tiba seseorang menarik lengannya dengan kasar.
"Hei, cantik, jalan sendiri aja malam-malam? Nggak takut, ya?" ujar pria bertato di depannya dengan senyum licik.
"Maaf, saya harus pergi," ucap Nadira dengan gugup, mencoba melepaskan tangannya, tetapi genggaman pria itu terlalu kuat.
"Tunggu dulu. Jangan buru-buru. Kita ngobrol dulu, yuk. Temani kami sebentar," sahut pria lain sambil mendekat, memblokir jalannya.
Nadira mulai panik ketika salah satu pria mendekat, mencoba menyentuh pipinya. "Jangan sentuh aku!" teriaknya, namun teriakannya hanya memancing tawa dari pria-pria itu.
Salah satu pria mulai meraih bahunya dengan paksa, membuat Nadira berontak. "Lepas!" bentak Nadira. Namun tenaga mereka terlalu kuat baginya. "Tolong! Emp..." Dua orang pria langsung memegang kedua lengan Nadira dan salah satunya membekap mulut Nadira.
Pria bertato itu menyeringai lebar, tatapannya menyiratkan niat buruk. "Malam ini kita akan bersenang-senang. Cepat bawa dia ke markas!"
Mata para komplotannya berbinar penuh nafsu. "Tidak menyangka kita dapat mangsa segar seperti ini. Mangsa se-fresh ini jarang kita temui."
"Aku yakin dia masih perawan. Malam ini kita beruntung sekali." Mereka tertawa sumbang, suara mereka menggema di malam yang sunyi.
Nadira berusaha sekuat tenaga untuk melepaskan diri, meronta putus asa. Namun usahanya sia-sia, cengkeraman mereka terlalu kuat. Kekuatannya jauh di bawah mereka. Air matanya mengalir deras, membasahi wajahnya yang pucat.
"Apa aku harus berakhir seperti ini? Ya, Tuhan... begitu banyak cobaan yang Engkau berikan, jika aku harus berakhir dilecehkan orang-orang ini, lebih baik aku mati," gumam Nadira dalam hati putus asa. Air mata terus menetes dari matanya, ia menoleh ke kiri dan kanan mencari bantuan, tetapi jalan itu terlalu sepi.
Tiba-tiba, suara berat yang penuh otoritas menggema di belakang mereka. "Lepaskan dia. Sekarang juga."
Semua pria itu menoleh, dan di sana berdiri John dengan tatapan tajam yang memancarkan amarah. Tubuhnya tegap, dan auranya begitu mengintimidasi sehingga beberapa dari mereka tampak ragu.
Pandangan Nadira bertemu dengan John, bagaikan melihat seutas tali penyelamat di tengah lautan badai. Harapan berkobar di dalam hatinya, mungkin pria bule itu bisa menyelamatkannya
"Siapa kau? Jangan ikut campur urusan orang lain!" bentak salah satu pria dengan suara goyah. John berjalan mendekat denga tenang melangkah mantap, matanya tak lepas dari mereka. "Aku ulangi, lepaskan dia, atau kalian akan menyesal."
Salah satu pria yang lebih besar mencoba mendekati John, tetapi sebelum dia bisa menyerang, John sudah melayangkan pukulan keras ke wajahnya, membuatnya terjatuh ke tanah.
"Dengar baik-baik. Aku tidak punya waktu untuk bermain-main. Pergi sekarang, sebelum aku kehilangan kesabaran," ujar John dengan nada mengancam.
Melihat salah satu teman mereka terkapar dalam satu serangan dan John yang tampak siap untuk melawan, para pria itu saling pandang dan akhirnya memutuskan untuk kabur.
Sepeninggal para pria itu, Nadira jatuh terduduk, tubuhnya tiba-tiba terasa lemas tak bertulang. Ia memeluk lutut, menggigil ketakutan setelah nyaris mengalami pelecehan.
John segera menghampiri Nadira yang masih gemetar ketakutan. "Kau baik-baik saja?" tanyanya lembut, menggenggam kedua bahu gadis itu. "jangan takut, kau sudah aman."
Nadira mengangguk pelan, tetapi air matanya terus menetes. "Aku takut," ucapnya dengan suara bergetar.
John melepas jaketnya dan memakaikannya pada Nadira, membuat tubuhnya yang menggigil sedikit lebih hangat. John menariknya ke dalam pelukan, mencoba menenangkan gadis itu. "Sudah, sudah... Aku di sini sekarang. Tidak ada yang akan menyakitimu lagi," bisiknya dengan nada menenangkan.
Setelah beberapa saat, John melepaskan pelukannya dan menatap wajah Nadira yang penuh kecemasan. "Mulai sekarang, jangan pernah lewat jalan sepi seperti ini lagi. Paham?" Nadira hanya mengangguk sambil menghapus air matanya.
John melirik jam tangannya dengan gelisah. Ia menatap Nadira yang berdiri kikuk di depannya, dengan mata penuh harap seolah meminta jawaban atas kebisuan pria itu sejak tadi. Namun, John tidak berniat melanjutkan percakapan lebih jauh. Ia menatap layar ponselnya, memesan taksi untuk Nadira dengan cepat.
"Taksi akan tiba sebentar lagi. Kau pulanglah," ucapnya dingin, tanpa memberikan kesempatan bagi Nadira untuk membalas.
Nadira mengerutkan kening, tiba-tiba merasa ada jarak yang begitu tebal di antara mereka. "Setidaknya... bisakah aku tahu namamu? Siapa yang baru saja menolongku?" tanyanya pelan, nyaris berbisik.
John mendesah, menatapnya sekilas tanpa ekspresi. "Itu tidak penting," jawabnya pendek, kemudian melangkah mundur, menjauh darinya.
Ketika taksi tiba, Nadira merasa sedikit kecewa. Tapi ia tidak ingin memaksakan jawaban dari John. Ia membuka pintu taksi dan duduk di dalam. Namun, sebelum taksi melaju, suara dari kejauhan membuatnya mengangkat kepala.
"John! Hei, John!" seru seorang pria lain dengan aksen khas.
John refleks menoleh ke sumber suara. Nadira yang duduk di dalam taksi menyadari hal itu. Nama itu, 'John'. Seketika ia mengulangnya dalam hati, memastikan ia tak akan melupakan nama pria yang telah menyelamatkannya malam ini.
Sambil menatap John yang sedang berbicara dengan orang lain, Nadira tersenyum tipis, lalu memalingkan wajahnya ke depan. Saat taksi mulai melaju, ia bergumam pelan, "Terima kasih, John."
...🍁💦🍁...
To be continued
beno Sandra dan sasa merasa ketar-ketir takut nadira mengambil haknya dan beno Sandra dan sasa jatuh jatuh miskin....
mampus org suruhan beno dihajar sampai babak belur sampai patah tulang masuk rmh sakit....
Akhirnya menyerah org suruhan beno resikonya sangat besar mematai2 nadira dan dihajar abis2an sm anak buahnya pm john....
belajarlah membuka hatimu tuk nadira dan nadira walaupun msh polos dan lugu sangat cocok john sangat patuh n penurut.....
Sampai kapan john akan hidup bayang2 masalalu dan belajar melangkah masa depan bersama nadira....
masak selamanya akan menjadi jomblo abadi/perjaka tuwiiiir🤣🤣🤣😂