Shin adalah siswa jenius di Akademi Sihir, tapi ada satu masalah besar: dia nggak bisa pakai sihir! Sejak lahir, energi sihirnya tersegel akibat orang tuanya yang iseng belajar sihir terlarang waktu dia masih di dalam kandungan. Alhasil, Shin jadi satu-satunya siswa di Akademi yang malah sering dijadikan bahan ejekan.
Tapi, apakah Shin akan menyerah? Tentu tidak! Dengan tekad kuat (dan sedikit kekonyolan), dia mencoba segala cara untuk membuka segel sihirnya. Mulai dari tarian aneh yang katanya bisa membuka segel, sampai mantra yang nggak pernah benar. Bahkan, dia pernah mencoba minum ramuan yang ternyata cuma bikin dia bersin tanpa henti. Gagal? Sudah pasti!
Tapi siapa sangka, dalam kemarahannya yang memuncak, Shin malah menemukan sesuatu yang sangat "berharga". Sihir memang brengsek, tapi ternyata dunia ini jauh lebih kacau dari yang dia bayangkan!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arifu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kejutan dari kepala sekolah
Hari-hari di Akademi makin seru buat Shin. Setelah kemenangan "epik"-nya melawan Armand, dia makin terkenal, atau lebih tepatnya, makin jadi pusat perhatian gara-gara kelakuannya yang absurd. Tapi siapa yang peduli? Buat Shin, hidup di Akademi adalah panggung hiburan.
Pagi itu, Shin duduk santai di kelas sambil main-main dengan pensil yang dia putar-putar di atas jarinya. Leo yang duduk di sebelahnya seperti biasa tampak serius membaca buku sihir.
“Eh, Leo, lo nggak capek belajar mulu? Hidup ini kan bukan cuma soal buku,” kata Shin sambil menguap lebar.
Leo mendongak sebentar. “Setidaknya aku mencoba untuk menjadi siswa yang normal, tidak seperti kamu.”
Shin tertawa kecil. “Normal itu ngebosenin, bro. Lo harus coba sesuatu yang seru, kayak... ngisengin guru.”
Sebelum Leo sempat membalas, pintu kelas terbuka lebar. Seorang pria tua berjubah mewah dengan tongkat panjang masuk, diikuti oleh suara langkah yang berat. Kepala Sekolah, pria dengan aura yang bikin semua orang otomatis diam, berdiri di depan kelas.
“Anak-anak, hari ini kita kedatangan tamu istimewa...”
Semua murid langsung membisu. Tapi Shin? Dia malah ngangkat tangan.
“Eh, Kepala Sekolah, boleh gue tebak tamunya siapa? Jangan-jangan dia monster yang jadi guru privat, ya?”
Seluruh kelas langsung tertawa kecil, sementara Leo menutup mukanya dengan buku. Kepala Sekolah cuma menghela napas panjang, tapi ada sedikit senyum di sudut bibirnya.
“Tidak, Shin. Tamu kita hari ini adalah seseorang yang akan menguji kemampuan kalian secara langsung. Silakan masuk.”
Seorang pria besar berbaju zirah dengan pedang besar di punggungnya melangkah masuk. Wajahnya garang, dengan bekas luka yang melintang di pipi kirinya. Dia menatap semua murid dengan pandangan tajam yang bikin mereka bergidik.
“Ini adalah Sir Gareth, salah satu ksatria terkuat di kerajaan. Dia akan memimpin ujian khusus yang dirancang untuk mengukur keberanian dan kreativitas kalian,” lanjut Kepala Sekolah.
Shin, seperti biasa, malah bertepuk tangan keras. “Wah, seru nih! Gue udah lama nggak ketemu orang dengan wajah lebih serem dari monster di gunung.”
Sir Gareth melirik Shin dengan alis terangkat. “Dan kamu pasti Shin. Aku sudah dengar tentangmu.”
Shin menyeringai lebar. “Wah, gue udah terkenal, ya? Gimana, cerita gue keren, kan?”
“Lebih seperti... cerita penuh kekacauan,” balas Sir Gareth datar.
Kelas langsung penuh dengan cekikikan lagi. Kepala Sekolah menahan diri untuk tidak tertawa, lalu melanjutkan. “Baiklah, ujian ini akan dilakukan besok pagi. Kalian semua akan bekerja dalam kelompok, menghadapi tantangan yang kami siapkan di lapangan hutan belakang Akademi. Ini bukan hanya tentang kekuatan, tetapi juga kecerdasan dan kerja sama.”
Malam harinya, Shin dan Leo ada di kamar mereka. Shin tampak sibuk... menggambar sesuatu di selembar kertas besar.
“Eh, Leo, lo harus liat strategi gue buat ujian besok. Gue yakin ini bakal bikin kita menang telak,” kata Shin penuh semangat.
Leo melirik ke arah gambar Shin. Di kertas itu, ada sketsa kasar sebuah jebakan, lengkap dengan tanda panah dan tulisan “MANCING MONSTER” di atasnya.
“Apa-apaan ini?” tanya Leo sambil memijat pelipisnya.
“Jebakan, lah! Jadi gini, kita bakal bikin monster ngejar gue, terus lo pake sihir buat ngeledakin tanah di bawah mereka. BOOM! Selesai!” jawab Shin sambil menunjuk gambarnya.
Leo menatap Shin dengan ekspresi datar. “Shin, ini ujian kerja sama. Bukan sirkus.”
“Eh, lo pikir gue bercanda? Ini rencana brilian, tau!” kata Shin sambil tersenyum lebar.
Keesokan harinya, semua murid berkumpul di hutan belakang Akademi. Lapangan itu sudah diatur dengan berbagai jebakan, rintangan, dan—tentu saja—monster buatan yang tampak cukup menyeramkan.
Sir Gareth berdiri di depan mereka, memberikan penjelasan terakhir. “Ingat, ujian ini bukan hanya soal bertahan hidup. Kami ingin melihat bagaimana kalian bekerja sama untuk mengatasi tantangan. Gunakan kepala kalian.”
Ketika giliran kelompok Shin dan Leo tiba, mereka melangkah ke arena dengan ekspresi berbeda. Leo tampak serius, sementara Shin... ya, dia terlihat seperti orang yang baru saja datang ke taman hiburan.
Begitu mereka masuk, suara monster mengaum keras dari kejauhan. Leo langsung mengangkat tongkatnya, siap siaga.
“Shin, jangan macam-macam. Fokus!” perintah Leo.
Shin melambaikan tangan dengan santai. “Santai aja, bro. Gue udah bilang, rencana gue bakal bikin kita menang.”
Monster pertama muncul—seekor serigala raksasa dengan mata menyala biru. Leo langsung bersiap melancarkan mantra, tapi Shin malah maju duluan.
“Eh, anjing besar! Sini, sini, kejar gue!” teriak Shin sambil berlari memutar.
Monster itu mengejar Shin dengan kecepatan luar biasa. Leo yang panik langsung meluncurkan bola api untuk menghalangi langkah monster, tapi Shin malah marah.
“Eh, Leo, jangan ngacauin rencana gue! Biarkan dia ngejar gue dulu!”
“Apa rencana gilamu kali ini?!” teriak Leo sambil memutar matanya.
Shin memimpin monster itu ke sebuah jebakan yang dia buat sebelumnya—lubang besar yang ditutup dengan ranting dan daun. Monster itu jatuh dengan sukses ke dalamnya, tapi tidak seperti yang diharapkan. Bukannya terperangkap, monster itu malah melompat keluar, lebih marah dari sebelumnya.
“Ups, kayaknya gue salah ngitung ukuran lubangnya,” kata Shin dengan santai.
Leo menatap Shin dengan tatapan putus asa. “Aku nggak tahu kenapa aku terus bertahan di kelompok ini.”
Setelah banyak kekacauan dan beberapa kali nyaris mati, kelompok Shin akhirnya berhasil melewati ujian itu. Tentu saja, bukan tanpa banyak keributan dan kekonyolan di sepanjang jalan.
Ketika mereka keluar dari arena, Sir Gareth menatap mereka dengan senyum kecil. “Menarik. Meskipun metode kalian sangat... tidak biasa, kalian berhasil menunjukkan kerja sama yang baik.”
Leo menunduk sopan. “Terima kasih, Sir.”
Shin, di sisi lain, langsung menyela. “Jadi, gimana? Rencana gue keren, kan?”
Sir Gareth menatap Shin dengan ekspresi datar. “Keren? Tidak. Efektif? Mungkin.”
Shin mengangkat bahu. “Yang penting kita menang, bro.”
Dan seperti biasa, Shin berhasil membuat semua orang di sekitarnya bingung, kagum, dan—tentu saja—tertawa.