Demi menjaga kehormatan keluarga, Chandra terpaksa mengambil keputusan yang tidak pernah terbayangkan: menikahi Shabiya, wanita yang seharusnya dijodohkan dengan kakaknya, Awan.
Perjodohan ini terpaksa batal setelah Awan ketahuan berselingkuh dengan Erika, kekasih Chandra sendiri, dan menghamili wanita itu.
Kehancuran hati Chandra membuatnya menerima pernikahan dengan Shabiya, meski awalnya ia tidak memiliki perasaan apapun padanya.
Namun, perlahan-lahan, di balik keheningan dan ketenangan Shabiya, Chandra menemukan pesona yang berbeda. Shabiya bukan hanya wanita cantik, tetapi juga mandiri dan tenang, kualitas yang membuat Chandra semakin jatuh cinta.
Saat perasaan itu tumbuh, Chandra berubah—ia menjadi pria yang protektif dan posesif, bertekad untuk tidak kehilangan wanita yang kini menguasai hatinya.
Namun, di antara cinta yang mulai bersemi, bayang-bayang masa lalu masih menghantui. Bisakah Chandra benar-benar melindungi cintanya kali ini, atau akankah luka-luka lama kembali?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kyurincho, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Peran yang Dipaksakan
Matahari pagi mulai mengintip dari celah tirai tebal kamar hotel mewah tempat Chandra dan Shabiya menginap setelah pesta pernikahan mereka semalam. Kamar itu luas, dengan interior elegan bernuansa krem dan emas. Aroma kopi segar mengisi ruangan, bercampur dengan udara pagi yang dingin dari pendingin ruangan. Chandra duduk di sofa, mengenakan kemeja putih yang lengan panjangnya digulung hingga siku. Di tangannya, ponsel menempel di telinga, suaranya terdengar tegas tetapi tetap tenang.
Shabiya berdiri di dekat jendela besar yang menghadap pemandangan kota. Rambutnya masih sedikit berantakan, wajahnya polos tanpa riasan. Ia mengenakan gaun tidur sederhana yang terlihat terlalu santai untuk kamar semewah itu. Tapi meski demikian, ia tetap terlihat anggun. Matanya mengamati pemandangan di luar, tetapi pikirannya melayang ke arah percakapan yang sedang Chandra lakukan.
Di sisi lain kota, di rumah besar keluarga mereka, Pak Satria duduk di meja makan yang panjang dan penuh dengan makanan sarapan. Pancake, omelet, roti bakar, hingga nasi goreng tersaji, ditemani segelas jus jeruk yang dingin. Di seberang meja, Awan duduk dengan postur santai, meski matanya yang tajam menunjukkan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar suasana pagi yang tenang.
Pak Satria mengambil sepotong roti bakar, tetapi perhatiannya tertuju pada ponsel yang baru saja diletakkannya di meja setelah berbicara dengan Chandra. Wajahnya tenang, tetapi ada sesuatu dalam nada bicaranya saat menghadap Awan.
“Chandra bilang mereka akan melewatkan bulan madu dan akan segera menempati rumah barunya,” kata Pak Satria, lebih seperti pernyataan daripada pemberitahuan.
Awan berhenti mengaduk kopinya, sudut bibirnya perlahan tertarik ke atas dalam senyuman yang samar namun penuh makna.
“Oh, begitu,” balas Awan santai. “Apa sebenarnya alasan Chandra memilih untuk tinggal di rumahnya alih-alih berbulan madu?”
Pak Satria mendesah pelan, menyesap kopinya. “Dia bilang ada banyak pekerjaan yang menunggunya, begitu juga dengan Shabiya. Dan rencana bulan madu, bisa dilakukan kapan saja, saat ia dan Shabiya punya waktu luang."
Awan mendengus, "Apa benar bgitu? Ayah, kau tahu alasan sebenarnya."
"Apapun alasan Chandra, aku setuju dengannya. Dia sudah dewasa, Awan. Biarkan dia menjalani hidupnya.”
Awan tertawa kecil, nadanya nyaris mengejek. “Tentu saja. Tapi tidak salah kan, jika aku merasa ini... terlalu aneh? Kau tahu sendiri, Ayah, Chandra tidak pernah melakukan sesuatu tanpa alasan yang jelas. Aku hanya berharap keputusan ini benar-benar karena dia... merasa siap.”
Pak Satria menatap putra sulungnya dengan pandangan tajam. “Aku tahu kau merasa kecewa karena Chandra yang akhirnya menikah lebih dulu alih-alih kau dan wanita murahan itu. Tapi itu keputusan yang sudah diambil. Dan penyebabnya adalah karena kebodohanmu. Tidak ada gunanya kau mempertanyakannya sekarang.”
Awan menyembunyikan senyum kecilnya di balik cangkir kopi. “Tidak, Ayah. Aku tidak kecewa. Aku hanya... ingin yang terbaik untuk mereka.”
Awan tersenyum tipis, ia tidak merasa kecewa sama sekali. Ia justru merasa puas. Kabar ini memberi angin baru untuk rencananya. Ia tahu, Erika akan senang mendengar bahwa Chandra dan Shabiya memilih untuk tinggal di rumah mereka alih-alih berbulan madu seperti pasangan pengantin baru pada umumnya.
Pasangan yang saling mencintai pasti akan memilih bersenang-senang dibandingkan harus berada di dalam rumah yang membosankan. Apalagi alasannya jika bukan karena mereka memang tidak saling mencintai?
Bagi Awan, ini bukan tentang mendukung atau menghancurkan hubungan mereka. Ini tentang membuktikan bahwa kebahagiaan Chandra hanyalah ilusi sementara. Dan semua kemesraan yang Chandra dan Shabiya pertontonkan di depan umum, dan juga di depan mereka, hanyalah sebatas opera sabun yang gagal mereka mainkan dengan baik.
***
Di kamar hotel, Chandra menyelesaikan panggilan teleponnya dengan ayahnya. Ia berdiri dan meregangkan tubuh, kemudian berjalan mendekati Shabiya yang masih berdiri di dekat jendela.
“Kau sudah siap?” tanyanya pelan, nada suaranya hangat namun sedikit terpaksa.
Shabiya menoleh, menatapnya dengan tatapan yang sulit diterjemahkan. “Siap untuk apa? Pergi ke rumah itu? Atau siap menjalani peran baru ini sepenuhnya?”
Chandra menghela napas panjang, mendekatinya. “Aku tahu ini semua terasa dipaksakan. Tapi kita tidak punya pilihan, Shabiya. Kita hanya perlu menjalani ini.”
Shabiya tersenyum tipis, penuh ironi. “Kau tahu, Chandra, aku bukan orang yang suka berpura-pura. Tapi sekarang, aku merasa seperti seorang aktris dalam drama yang tidak kumengerti.”
Chandra memandangnya, matanya yang gelap menunjukkan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kebingungan. “Kita berdua sedang memainkan peran. Tapi aku janji, aku tidak akan membiarkan siapa pun menyentuh apa yang sekarang jadi milikku.”
Shabiya mengangkat alis, senyumnya memudar. “Milikmu? Apa aku harus merasa terhormat mendengar itu?”
“Aku tidak bermaksud seperti itu.” Chandra melangkah lebih dekat, suaranya menjadi lebih rendah. “Aku hanya... tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama.”
Mereka saling menatap, ketegangan di antara mereka terasa seperti benang yang hampir putus. Namun sebelum salah satu dari mereka bisa berbicara lagi, telepon Chandra bergetar di atas meja. Ia melirik layar dan mendapati nama Erika tertera di sana.
Wajah Chandra mengeras, tetapi ia tidak menjawab. Ia hanya mengambil ponsel itu, menekan tombol untuk membisukannya, dan kembali menatap Shabiya.
“Siapa?” tanya Shabiya, meskipun ia sudah bisa menebak jawabannya.
“Bukan siapa-siapa,” jawab Chandra cepat, suaranya terdengar terlalu datar.
Shabiya menyipitkan mata, lalu berbalik menuju koper mereka di sudut ruangan. “Kau harus belajar berbohong lebih baik, Chandra. Karena aku tidak suka jika seseorang mencoba menyembunyikan sesuatu dariku.”
Chandra menatap punggungnya, rahangnya mengencang. Ia tahu, kebohongan kecil ini bisa menjadi masalah besar nanti. Tapi ada beberapa hal yang lebih baik dibiarkan tersembunyi—untuk sekarang.
Di sisi lain, Erika menatap ponselnya dengan tatapan marah. Ia membantingnya ke meja, membuat Awan yang duduk di depannya mengangkat alis.
“Dia menolak menjawab,” gumam Erika, nadanya dingin.
Awan tersenyum tipis. “Tenang saja, Erika. Ini baru permulaan. Kita akan lihat seberapa kuat hubungan mereka saat menghadapi badai pertama.”
Erika menyeringai, senyum yang dingin dan penuh niat. “Aku hanya perlu memastikan badai itu cukup kuat untuk menghancurkan semuanya.”
***