Di tahun 70-an, kota ini penuh dengan kejahatan yang berkembang seperti lumut di sudut-sudut gedung tua. Di tengah semua kekacauan, ada sebuah perusahaan detektif swasta kecil tapi terkenal, "Red-Eye Detective Agency," yang dipimpin oleh Bagas Pratama — seorang jenius yang jarang bicara, namun sekali bicara, pasti menampar logika orang yang mendengarnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Khairatin Khair, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
7
Hawa dingin menguar di antara gedung-gedung kota ketika Bagas dan Siti keluar dari kantor Toni dengan wajah tegang. Kepergian Toni secara mendadak bersama pria-pria berpenampilan kasar itu membuat mereka semakin waspada. Mereka tahu, apa pun yang baru saja terjadi, kelompok Bayangan tak ingin rahasia mereka terbongkar.
“Apa kita akan mengejar mereka, Pak?” tanya Siti, napasnya sedikit tersengal karena ketegangan.
Bagas mengangguk tanpa ragu, matanya terfokus pada mobil hitam di ujung jalan yang baru saja bergerak. “Ya. Ini mungkin satu-satunya cara untuk mengetahui lebih banyak tentang Bayangan.”
Bagas mengajak Siti masuk ke dalam mobil mereka dan segera mengikuti kendaraan yang membawa Toni. Mereka melaju di antara lalu lintas kota yang mulai lengang. Meski suasana malam terasa tenang, di dalam mobil, suasana justru tegang. Bagas memastikan jarak antara mobilnya dan mobil hitam di depan tetap aman, tak terlalu dekat namun cukup untuk tidak kehilangan jejak.
---
Jejak yang Menyempit
Setelah beberapa kilometer, mobil hitam itu berbelok ke area sepi di pinggir kota, sebuah kawasan gudang tua yang tampak ditinggalkan. Bagas mematikan lampu utama mobilnya ketika mereka semakin dekat, menjaga agar tidak terlihat oleh orang-orang di mobil hitam.
“Pak, ini sepertinya terlalu berbahaya,” bisik Siti, tatapannya penuh kekhawatiran. Ia tahu bahwa Bagas sering kali tidak peduli akan bahaya, namun kali ini situasinya terasa berbeda.
“Kita hanya perlu melihat di mana mereka membawa Toni, dan mencatat apa pun yang kita bisa,” jawab Bagas tanpa mengalihkan pandangannya dari mobil yang kini berhenti di depan salah satu gudang tua. Bagas mematikan mesin, lalu memberi isyarat pada Siti untuk tetap diam.
Dari jarak jauh, mereka melihat Toni digiring oleh dua pria bertubuh besar ke dalam gudang. Salah satu pria yang tampak menjadi pemimpin memberi isyarat pada anak buahnya untuk berjaga di depan pintu.
“Kita harus mendekat,” ujar Bagas pelan.
Siti menelan ludah, tapi akhirnya mengangguk. Bersama-sama, mereka keluar dari mobil dan bergerak dalam diam, mendekati gudang sambil berlindung di balik bayangan peti kemas yang tertumpuk. Langkah mereka pelan dan hati-hati, hingga mereka bisa melihat bagian dalam gudang dari jendela kecil yang pecah.
Di dalam, mereka bisa melihat Toni berlutut di lantai, terpojok oleh tiga pria. Di depannya berdiri seorang pria yang wajahnya tak begitu terlihat jelas karena berada dalam bayangan, namun suara suaranya terdengar tegas dan dingin.
“Kau tahu kenapa kami membawamu ke sini, bukan, Toni?” Suara pria itu rendah namun penuh ancaman. “Kau sudah terlalu banyak bicara. Kami tidak akan membiarkan hal ini berlanjut.”
Toni tampak gemetar, wajahnya pucat pasi. “Tolong, saya tidak akan membocorkan apa-apa lagi. Saya bersumpah.”
Pria itu mendekat, mengulurkan tangan dan meraih dagu Toni dengan kasar. “Sekali kau berkhianat, selamanya kau akan dicap sebagai pengkhianat. Tidak ada ampun, Toni.”
---
Sebuah Keputusan Berani
Dari balik jendela, Siti menutup mulutnya, menahan napas. “Pak Bagas, kita harus menyelamatkannya! Kalau tidak, mereka akan… menghabisinya di sini.”
Bagas terdiam sejenak, berpikir cepat. Ia tahu tindakan mereka mungkin akan membuka keberadaan mereka di hadapan kelompok Bayangan. Namun, meninggalkan Toni dalam situasi seperti ini bukanlah pilihan.
“Aku akan memancing penjaga di pintu. Sementara itu, kamu segera cari tempat persembunyian setelah kita masuk,” bisik Bagas. Ia lalu mengambil batu kecil dari tanah, dan tanpa suara melemparkannya ke arah belakang gudang. Batu itu jatuh menimbulkan suara cukup keras, membuat dua pria di luar pintu menoleh ke arah asal suara.
Begitu para penjaga itu berjalan ke arah lain, Bagas dan Siti segera menyelinap masuk. Mereka bergerak mendekati Toni dan pria yang tampaknya pemimpin kelompok itu. Bagas menaruh jari di depan bibirnya, memberi isyarat pada Toni untuk tetap tenang.
“Siapa di sana?” Suara salah satu pria di dalam gedung memecah keheningan. Ia melihat bayangan Bagas, lalu tanpa berpikir panjang melayangkan pukulan.
Bagas menangkis serangan itu, melawan dengan cepat dan cekatan. Suara perkelahian itu membuat Siti terperangah, namun ia segera sadar, dan menyelinap ke dekat Toni yang masih berlutut ketakutan.
“Siti, cepat bawa Toni keluar,” seru Bagas sambil terus menangkis serangan demi serangan. Pria yang dihadapinya ini adalah petarung yang tangguh, namun Bagas berhasil memberikan serangan balasan dengan pukulan telak ke wajah pria itu hingga jatuh tersungkur.
Siti mengangguk, meraih lengan Toni dan membantunya berdiri. “Ayo, kita harus segera pergi dari sini.”
Dengan sisa tenaga yang ada, Toni mengikuti langkah Siti keluar dari gudang, sementara Bagas menyusul mereka dari belakang. Para penjaga di luar menyadari keributan itu dan segera mengejar mereka, namun Bagas dengan cepat mengambil tongkat kayu yang tergeletak di luar dan mengayunkannya ke arah salah satu penjaga yang mendekat.
“Ayo lari!” seru Bagas, mendesak Siti dan Toni menuju mobil.
Mereka berhasil sampai di mobil dan langsung melesat pergi meninggalkan gudang tua itu, sementara orang-orang dari kelompok Bayangan hanya bisa menatap dari kejauhan. Bagas mengemudi cepat, menghindari jalan-jalan utama agar tidak terlihat.
---
Kembali ke Kantor: Titik Balik
Di kantor, Toni tampak masih terguncang, wajahnya pucat pasi dan tubuhnya gemetar. Siti memberinya segelas air, sementara Bagas duduk berhadapan dengannya, tatapannya tajam.
“Toni, sekarang Anda lihat betapa berbahayanya kelompok ini. Kami tidak bisa melindungi Anda kecuali Anda mengatakan yang sebenarnya,” ujar Bagas tegas.
Toni mengangguk, masih terengah-engah, namun kali ini ia tampak lebih pasrah. “Mereka… mereka dipimpin oleh seseorang yang tak pernah kami lihat. Kami hanya tahu dia sebagai ‘Bayangan.’ Dan setiap perintahnya adalah sesuatu yang tak bisa ditolak.”
Siti mendesah, merasa semakin tegang. “Siapa lagi yang terlibat dalam kelompok ini, Pak Toni? Apa ada orang lain yang mungkin menjadi target mereka?”
Toni menggeleng pelan. “Yang saya tahu, hanya beberapa dari kami yang tahu detail tentang operasi mereka. Mereka bekerja seperti bayangan — bahkan anggota mereka pun tidak semua tahu siapa yang memimpin.”
Bagas berpikir dalam-dalam, mencoba menyusun potongan informasi yang mereka miliki. “Bayangan… Jika kita ingin menjatuhkan mereka, kita harus menemukan siapa sebenarnya orang di balik nama itu.”
Toni menatap Bagas dan Siti, matanya penuh ketakutan. “Saya sudah terlalu dalam, Tuan Bagas. Apa pun yang Anda lakukan, mereka tidak akan berhenti. Mereka sudah menganggap saya sebagai pengkhianat.”
Bagas berdiri, pandangannya tegas. “Kalau begitu, kita harus bergerak cepat. Toni, kalau Anda ingin selamat, Anda harus ikut bekerjasama penuh dengan kami.”
Toni mengangguk, meski jelas ia merasa tak ada tempat yang aman lagi baginya.
---
Semangat.