Ayla tidak pernah menyangka bahwa hidupnya akan berubah karena sebuah kalung tua yang dilihatnya di etalase toko barang antik di ujung kota. Kalung itu berpendar samar, seolah memancarkan sinar dari dalam. Mata Ayla tertarik pada kilauannya, dan tanpa sadar ia merapatkan tubuhnya ke kaca etalase, tangannya terulur dengan jari-jari menyentuh permukaan kaca yang dingin.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Worldnamic, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7: Dalam Tatapan yang Tersembunyi
Langit di dunia asing itu mulai berubah warna, dari abu-abu keperakan menjadi jingga gelap yang terasa menyesakkan. Ayla dan Kael melanjutkan perjalanan mereka melewati lanskap yang tidak memiliki akhir, hanya pasir dan bebatuan aneh yang bersinar redup. Meskipun keheningan melingkupi, ada ketegangan yang tidak bisa diabaikan.
Kael berjalan di depan, sesekali menoleh ke arah Ayla untuk memastikan ia baik-baik saja. Namun, Ayla tahu, ada sesuatu di matanya—seperti keraguan kecil yang tersembunyi di balik keteguhan.
“Kau tampak gelisah,” Ayla memecah keheningan, menatap punggung Kael yang tegap.
Kael berhenti dan menoleh padanya, senyum kecil tersungging di wajahnya. “Hanya memikirkan langkah selanjutnya.”
Ayla tidak percaya begitu saja. “Bukan itu. Kau terlihat seperti seseorang yang mencoba menyembunyikan sesuatu.”
Kael terdiam sejenak, lalu melangkah mendekat. Ia berdiri begitu dekat sehingga Ayla bisa merasakan kehangatan tubuhnya meski udara di sekitar mereka begitu dingin. “Ayla,” katanya pelan, “apa yang kita hadapi ini tidak seperti apa pun yang pernah aku bayangkan. Dan... aku tidak ingin membuatmu merasa terbebani dengan apa yang ada di pikiranku.”
“Tapi aku ingin tahu,” balas Ayla. Ia menatap Kael dengan mata yang memancarkan keteguhan. “Bukankah kita sudah sepakat untuk saling mendukung? Apa pun itu, aku ingin mendengar dan menghadapinya bersamamu.”
Tatapan Kael melembut. Ada sesuatu dalam cara Ayla berbicara—cara ia selalu membawa keberanian di tengah ketakutan—yang membuat Kael merasa ia bisa percaya sepenuhnya.
“Aku hanya khawatir,” akhirnya Kael mengaku. “Kekuatanku melindungi diriku sendiri... tidak cukup untuk melindungimu.”
Ayla terkejut. “Kau melindungiku setiap saat, Kael. Bahkan sebelum aku tahu bagaimana bertahan di dunia ini. Kau ada di sini untukku—itu lebih dari cukup.”
“Tapi aku tidak ingin hanya cukup,” kata Kael, nadanya penuh intensitas. “Aku ingin kau aman. Aku ingin kau merasa bahwa apa pun yang terjadi, kau tidak perlu takut.”
Ayla menunduk sejenak, lalu tersenyum kecil. Ia mengulurkan tangan dan menyentuh wajah Kael, membuat pria itu terkejut. Sentuhan Ayla begitu lembut, tapi cukup kuat untuk membuatnya diam.
“Kael,” bisik Ayla, “aku tidak butuh perlindungan sempurna darimu. Aku hanya butuh kau berada di sisiku. Apa pun yang terjadi, aku tahu kita bisa menghadapinya bersama. Jangan bebani dirimu dengan sesuatu yang tidak perlu.”
Kael menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan—campuran dari rasa terharu dan rasa kagum. Untuk sesaat, ia lupa di mana mereka berada, lupa bahwa mereka sedang berada di tempat yang penuh bahaya.
“Ayla...” katanya, hampir tanpa suara. Ia menyentuh tangan Ayla yang masih ada di pipinya, lalu menggenggamnya dengan lembut. “Kau selalu bisa membuatku merasa lebih baik, meski aku sendiri tidak tahu bagaimana caranya.”
Mereka saling menatap, dan dunia di sekitar mereka seolah menghilang. Suara angin, bisikan misterius, dan kilau aneh di pasir seolah tidak ada. Yang ada hanyalah kehadiran satu sama lain.
Kael mendekatkan wajahnya, hingga napas mereka hampir bersentuhan. “Aku ingin kau tahu,” katanya perlahan, “bahwa apa pun yang terjadi nanti, aku akan selalu memilih untuk berada di sisimu. Bahkan jika dunia ini menuntutku pergi, aku akan tetap memilihmu.”
Ayla merasa jantungnya berdetak lebih cepat. Ia ingin menjawab, tetapi kata-kata tidak keluar. Sebagai gantinya, ia mengangguk pelan, matanya berbinar dengan rasa percaya yang tidak bisa ia sembunyikan.
Namun, momen itu tiba-tiba terhenti ketika tanah di bawah kaki mereka mulai bergetar. Suara retakan terdengar, dan pasir di sekitar mereka berubah, membentuk lingkaran hitam pekat.
“Ada yang tidak beres,” ujar Kael, menarik Ayla ke belakangnya dengan sigap.
Dari lingkaran hitam itu muncul sosok kabur, dengan mata merah menyala. Suara tawa dingin menggema di udara, membuat bulu kuduk Ayla meremang.
“Noir,” desis Kael dengan nada penuh kewaspadaan.
“Ah, betapa indahnya melihat dua hati yang terikat dalam cinta yang rapuh,” suara Noir terdengar jelas meski sosoknya masih samar. “Cinta yang akan hancur dalam hitungan waktu.”
Ayla merasa amarah membara di dadanya, tetapi sebelum ia sempat berbicara, Kael berdiri lebih tegak, melindunginya. “Kau tidak akan pernah menyentuh Ayla,” katanya tegas.
Noir tertawa lagi, kali ini lebih keras. “Kau terlalu percaya diri, Kael. Tapi mari kita lihat seberapa jauh cinta kalian bisa bertahan di bawah tekanan kegelapan.”
Lingkaran hitam itu memudar, dan Noir menghilang, meninggalkan bayangan tipis di udara. Getaran tanah berhenti, tetapi suasana tetap terasa tegang.
Kael menoleh pada Ayla. “Kita harus lebih hati-hati. Dia tahu kelemahan kita.”
Ayla menatapnya dengan tegas. “Bukan kelemahan, Kael. Apa yang kita miliki adalah kekuatan.”
Kael terdiam sejenak, lalu tersenyum. “Kau benar. Dan itu adalah sesuatu yang Noir tidak akan pernah pahami.”
Mereka melanjutkan perjalanan dengan hati-hati, tetapi ada sesuatu yang berbeda di antara mereka. Setelah apa yang mereka alami, hubungan mereka terasa semakin dalam, seperti ada janji tak terucapkan di antara mereka untuk menghadapi segala hal bersama—dengan keberanian, kepercayaan, dan cinta.
Setelah kejadian itu, perjalanan mereka dilanjutkan dalam keheningan. Namun, bukan keheningan yang canggung. Sebaliknya, ada rasa saling memahami yang tak membutuhkan kata-kata. Langkah Kael dan Ayla tetap selaras, meski bayangan Noir yang baru saja muncul masih membekas di benak mereka.
Ketika malam tiba, mereka memutuskan untuk beristirahat di dekat formasi bebatuan besar yang terlihat seperti benteng alamiah. Langit di atas mereka dipenuhi bintang-bintang aneh yang memancarkan cahaya hijau kebiruan, membuat dunia asing itu tampak sedikit lebih hangat.
Ayla duduk di atas sebuah batu datar, memeluk lututnya sambil menatap langit. Kael mendekat, membawa jubah tebal yang diambilnya dari tas. Ia menyelimuti Ayla tanpa banyak bicara, lalu duduk di sampingnya.
“Terima kasih,” ujar Ayla pelan, suaranya hampir tenggelam dalam desiran angin.
Kael menoleh padanya. “Untuk apa?”
Ayla tersenyum tipis. “Untuk tetap berada di sisiku. Untuk selalu membuatku merasa bahwa aku tidak sendirian.”
Kael menghela napas, lalu menatap lurus ke depan. “Kau tidak perlu berterima kasih, Ayla. Apa yang aku lakukan... itu karena aku ingin melakukannya. Aku ingin melindungimu, bukan karena kewajiban, tapi karena aku peduli.”
Ayla menatap Kael, matanya mencari kejujuran di balik kata-katanya. Dan ia menemukannya—kejujuran yang begitu murni hingga membuat dadanya terasa hangat.
“Aku juga peduli padamu, Kael,” kata Ayla akhirnya, suaranya bergetar ringan. “Dan bukan hanya karena kau selalu menjagaku. Tapi karena... aku merasa aman dan berani saat bersamamu.”
Kael menoleh, menatapnya dengan tatapan yang sulit dijelaskan. Untuk sesaat, ia hanya diam, membiarkan kata-kata Ayla meresap ke dalam hatinya.
“Ayla,” katanya perlahan, “jika aku bisa, aku ingin menghentikan waktu di sini. Menjauhkanmu dari semua ancaman dan membiarkan kita hanya ada di bawah langit ini, tanpa Noir, tanpa kegelapan, tanpa beban.”
Ayla tersenyum kecil. “Kita tidak bisa lari dari semuanya, Kael. Tapi aku percaya, selama kita bersama, kita bisa melewati apa pun.”
Kael tersenyum, lalu mengulurkan tangan dan menyentuh wajah Ayla. Ia menyapu helaian rambut yang jatuh di pipi gadis itu, membiarkan tangannya tertahan sejenak di sana.
“Kael...” Ayla berbisik, matanya mencari sesuatu di wajah Kael.
Namun, sebelum Kael sempat menjawab, suara gemuruh pelan terdengar di kejauhan. Mereka berdua segera berdiri, memandang ke arah horizon yang gelap. Dari kejauhan, terlihat kilauan merah seperti api yang bergerak mendekat, disertai raungan makhluk yang tak dikenal.
“Apa itu?” tanya Ayla, cemas.
Kael mengepalkan tangan, rahangnya mengeras. “Masalah.”
Ia meraih pedangnya yang terikat di punggungnya dan berdiri di depan Ayla, melindunginya. “Bersiaplah. Apa pun itu, kita hadapi bersama.”
Ayla mengangguk, meski detak jantungnya berdegup kencang. Ia menguatkan diri, mengingat kata-kata Kael—bahwa mereka adalah tim.
Kilauan merah itu semakin mendekat, menyelimuti malam dengan ancaman baru.