Tiga tahun lamanya Amara menjalani pernikahannya dengan Alvaro. Selama itu juga Amara diam, saat semua orang mengatakan kalau dirinya adalah perempuan mandul. Amara menyimpan rasa sakitnya itu sendiri, ketika Ibu Mertua dan Kakak Iparnya menyebut dirinya mandul.
Amara tidak bisa memungkirinya, kalau dirinya pun ingin memiliki anak, namun Alvaro tidak menginginkan itu. Suaminya tak ingin anak darinya. Yang lebih mengejutkan ternyata selama ini suaminya masih terbelenggu dengan cinta di masa lalunya, yang sekarang hadir dan kehadirannya direstui Ibu Mertua dan Kakak Ipar Amara, untuk menjadi istri kedua Alvaro.
Sekarang Amara menyerah, lelah dengan sikap suaminya yang dingin, dan tidak peduli akan dirinya. Amara sadar, selama ini suaminnya tak mencintainnya. Haruskah Amara mempertahankan pernikahannya, saat tak ada cinta di dalam pernikahannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hany Honey, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tujuh - Seperti Remaja Puber
Amara memilih nonton TV sambil menunggu jam makan malam tiba, daripada harus menemui suaminya di kamar. Biar saja suaminya menikmati waktu lama-lama di kamar sendirian. Kalau pun lapar pasti keluar untuk makan. Sudah lama Amara menonton TV, akan tetapi Alvaro masih saja belum keluar dari kamarnya. Entah kenapa Alvaro betah sekali di dalam kamar, seperti anak cewek puber yang sedang ngambek, seharian tidak keluar dari kamar, tidak makan dan tidak minum.
“Aneh sekali, seperti remaja sedang puber! Sudah tua tapi kelakuan seperti anak-anak!” batin Amara.
Jam makan malam pun tiba. Selesai menata makan malamnya, Bi Asih kembali memanggil Alvaro, sebelum memanggil ia lebih dulu pamit dengan Amara untuk memanggil Alvaro. Namun, tetap saja Alvaro tidak mau keluar, sampai Bi Asih memperlihatkan raut wajah khawatirnya di depan Amara yang sedang menikmati makan malam sendiri.
“Sudah, Bi, nanti aku bawakan saja ke kamar, mungkin Bapak sedang malas keluar, biar nanti makan di kamar saja, bibi gak usah khawatir,” ucap Amara untuk meredakan kekhawatiran Bi Asih.
^^^
Amara dengan malas dan kesal menatakan makanan di atas piring untuk suaminya. Ia terpaksa membawakan makan malam suaminya ke kamar. Suaminya sedang ngambek, seharian tidak keluar kamar seperti remaja puber yang sedang galau karena putus cinta.
“Pasti semalam ada masalah sama tuh perempuan! Dih kayak bocah ABG saja, sampai ngambek seharian gak ngantor, ngunci di kamar saja, sampai gak makan seharian!” gerutu Amara kesal, dengan menaruh piring dan gelas di atas nampan.
Amara masuk ke dalam kamarnya. Ia melihat suaminya yang sedang sibuk dengan laptopnya, Alvaro duduk bersandar di tempat tidur sambil memangku laptopnya. Amara langsung meletakkan nampan berisi makanan di meja yang ada di sebelah Alvaro.
“Makan dulu. Dari tadi siang Bi Asih tuh manggilin kamu, Mas! Nyahut dong kalau dipanggil, bikin Bi Asih khawatir saja?” ucap Amara kesal.
Alvaro menutup laptopnya, lalu memasukkan lagi ke dalam tas kerjanya dan menaruhnya di meja.
“Aku masih punya istri yang bisa memanggil aku, kenapa aku harus nyahut kalau bibi yang manggil?” jawab Alvaro.
“Istri? Mana ada istrimu? Istri yang mana? Calon istri atau istri yang hanya dianggap sebagai pelampiasan nafsumu saja?” ucap Amara dengan nada tinggi.
Alvaro menggeleng kecil mendengar ucapan Amara. Ia langsung menarik tangan Amara, hingga Amara jatuh di pangkuannya.
“Lepas ih!” Amara mencoba memberontak, supaya Alvaro melepaskan dirinya, akan tetapi Alvaro malah memeluk erat Amara.
“Maksud kamu apa tadi bicara begitu? Calon istri sama istri pelampiasan nafsu saja yang bagaimana?” ucap Alvaro gemas.
“Itu yang semalam didatangi kamu, dia calon istrimu bukan? Mama sama kakakmu saja sudah setuju kamu nikahin dia? Mama bahkan memintaku supaya aku mengizinkan kamu menikahinya? Kalau istri pelampiasn nafsumu saja ya ini aku? Habis manis dibuang begitu saja, lanjut ke calon istri! Sudahlah, Mas ... untuk apa hubungan ini dipertahankan? Pernikahan kita sudah setoxic ini mas!” ucap Amara dengan napas memburu.
“Kamu ngomong apa sih, Ra?” ucap Alvaro dengan menatap wajah Amara dalam, sebisa mungkin Amara mengalihkan pandangannya dari Alvaro.
“Ngomong apa adanya, sesuai fakta dan kenyataan! Lagian kamu nanti bisa punya anak dengan istri barumu itu, tidak sepertiku yang mandul ini,” ucap Amara.
“Dia hanya temanku, Ra! Jangan bawa dia dalam masalah rumah tangga kita!” tegas Alvaro.
“Teman? Kamu sadar gak sih, kamu itu yang bawa dia ke dalam rumah kita, ke dalam pernikahan kita! Sampai mama pun ingin aku merestui kamu untuk menikahinya!”
“Amara, stop! Dia hanya masa laluku, tidak lebih!”
Masa lalu? Ternyata suaminya lebih mementingkan masa lalunya daripada masa depannya, atau istrinya. Amara tersenyum getir mendengar ucapan suaminya. Benar dugaan Amara, pasti suaminya dulu memiliki hubungan spesial dengan perempuan itu.
“Lepaskan aku, aku mau istirahat!” Alvaro tidak mau melepaskan pelukannya pada Amara, sampai Amara kesal dibuatnya.
“Kamu tidak usah memikirkan ucapan Mama dan Kak Vira. Aku aka bicara dengan mereka,” ucap Alvaro.
“Aku mengizinkan kamu menikahinya, tapi sebelum kamu menikahinya, lepaskan dulu aku. Ceraikan aku terlebih dahulu!” ucap Amara.
Hati Alvaro tesentak dengan ucapan Amara. Tidak ia sangka Amara mengucapkan itu tanpa ragu sedikit pun. Bahkan Alvaro melihat jelas tatapan Amara saat mengatakannya, benar-benar tidak ada keraguan dalam sorot matanya.
^^^
Hati Amara masih diliputi oleh rasa kesal pada suaminya. Semalaman dia berdebat dengan suaminya hanya masalah Cindi. Amara tetap pada pendiriannya, kalau dia ingin pisah saja dari suaminya, karena cepat atau lambat pasti Alvaro akan menikahi Cindi. Alvaro bukan tipe anak yang pembangkang, dia selalu patuh pada ibu dan ayahnya. Bahkan ia pun patuh pada mendiang ayahnya, saat mendiang ayahnya meminta menikahi dirinya, perempuan miskin dan mandul.
Amara berangkat kerja pagi-pagi sekali. Dia tidak memasak lagi, hanya memerintahkan Bi Asih untuk memasak. Amara pun tidak sarapan, ia memilih sarapannya dibawa ke kantor sekalian bekal makan siangnya.
Ponsel Amara bergetar, ada pesan masuk. Amara hanya membaca pesan yang nampak di layar ponselnya itu.
[Nanti sore aku akan jempu kamu, kirimkan alamat kantormu sekarang.]
Amara hanya melihat, tanpa membuka pesannya dan membalas. Ia malah menyibukkan diri. Amara masih kesal dengan suaminya, dari pagi pun dia tidak mengajak bicara suaminya.
“Ara, tolong antarkan Tuan Pramudya ke ruangan Pak Ilham,” perintah Dewi.
“Baik, mari Tuan ikut sa ....”
Amara mematug melihat suaminya berdiri di depannya. Sungguh sempit dunia ini, kenapa suaminya harus ada di tempat kerjanya, kenapa suaminya harus menemui atasan di kantornya? Padahal Amara sedang tidak ingin melihat suaminya, entah kenapa takdir malah membawa suaminya ke hadapan dirinya saat ini.
“Ara ... kok bengong sih?” Dewi menyenggol lengan Amara yang masih diam mematung.
“Ah maaf, ma—mari, Tuan, saya antar ke ruangan Pak Ilham,” ucap Amara dengan gugup.
Amara melangkahkan kakinya lebih dulu, diikuti dengan suaminya dan asisten pribadinya. Mereka memasuki lift, Amara menekan angka 6 untuk menuju ke lantai 6.
“Kenapa gak balas pesanku, Ra?” tanya Alvaro.
Amara berharap suaminya tak mengenali dirinya, tapi ternyata suaminya masih mengenalinnya. Asisten suaminya tampak kaget, karena baru menyadari perempuan yang mengantarkannya adalah istri dari atasannya.
“Aku sedang kerja, jadi belum bisa pegang hp!” jawabnya ketus.
“Sempatkan sebentar apa tidak bisa?”
“Kerja harus profesional!” jawab Amara.
“Maaf, ternyata Nyonya Amara? Saya benar-benar tidak mengenali nyonya. Saya pangling dengan penampilan nyonya yang memakai baju seragam kerja,” ucap Dika.
“Tidak apa-apa, Dika. Lagian kita kan lama tidak ketemu, paling ketemu sekali dua kali saja? Itu pun dulu sekali,” ucap Amara.
“Iya, tapi saya benar-benar pangling sama Nyonya,” ucap Dika.
“Jangan panggil aku nyonya. Panggil sama saja, Dika,” ucap Amara.
Diam-diam Alvaro kesal melihat istrinya malah lebih nyaman dan ramah ngobrol dengan asistennya. Dia malah dicuekin selama di dalam lift.
“Nanti aku jemput kamu pulangnya!”
Amara tidak menghiraukan ucapan suaminya. Dia memilih terus berjalan menuju ke ruangan Pak Ilham setelah keluar dari lift. Alvaro benar-benar dibuat kesal oleh Amara kali ini.