Tristan dan Amira yang berstatus sebagai Guru dan Murid ibarat simbiosis mutualisme, saling menguntungkan. Tristan butuh kenikmatan, Amira butuh uang.
Skandal panas keduanya telah berlangsung lama.
Di Sekolah dia menjadi muridnya, malam harinya menjadi teman dikala nafsu sedang meninggi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon @Alyazahras, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Nomor Haram Lagi
Saat jam istirahat, di mana Amira tengah makan siang dengan teman-temannya di kantin, dia mendapatkan sebuah pesan baru. Setelah diperiksa, ternyata pesan itu dari nomor haram sebelumnya.
'Kenapa menghindariku terus? Tidak rindu, kah?'
Itulah isi pesannya.
Selama 2 tahun ini Amira selalu diganggu oleh nomor yang sama, nomor mantan kekasihnya-Reyhan. Amira sudah bergunta-ganti nomor sampai puluhan kali, tapi entah dari mana Reyhan selalu bisa mendapatkan nomornya.
'Ra, aku ada kabar baik. Angkat telepon!'
Isi pesan kedua yang muncul.
Tidak lama, ponsel Amira berdering. Reyhan benar-benar menghubunginya. Amira sedikit terkejut ketika melihat Tristan dan Damar yang sedang mengobrol memperhatikannya dari lantai dua gedung Sekolah, tepatnya di depan ruang komputer sambil menyesap secangkir kopi.
Tatapan Tristan saat memandangnya terlihat dingin dan misterius. Dia menyimpan banyak tanya dari sorot matanya.
Amira buru-buru menyetel mode silent untuk ponselnya dan memasukan ponsel itu ke dalam saku seragam. Dia berpura-pura berbaur dengan Uci dan Sofi sambil diam-diam melirik Tristan.
Di saat itu, Tristan mengeluarkan ponselnya dan menempelkan ponsel tersebut ke telinga, seolah sedang menghubungi seseorang.
Amira berkeringat dingin sambil meremas lutut. Jangan bilang kalau Tristan sedang menghubunginya di saat Reyhan menghubunginya juga.
Entah benar atau tidak, tapi mata Tristan langsung menyipit dan aura disekujur tubuhnya terlihat hitam berkabut.
"Ra?"
"Amira?"
"Woi, Amira!" panggil Uci sambil menepuk bahunya dan seketika membuat Amira tersentak kaget bukan kepalang.
"Kenapa, sih? Aneh banget dari tadi. Jangan-jangan kesurupan kamu?" duga Sofi cemas dengan mulut penuh bakso.
"Ih, amit-amit. Lagi cuci mata ini, liatin pemandangan indah di lantai dua," bisik Amira sambil menggerakkan alisnya, memberi kode.
Uci dan Sofi pun mengikuti arah mata Amira tertuju, mereka menangkap sosok Tristan yang berwibawa dengan wajah datar tanpa ekspresi di atas sana. Ekspresi diam dan tatapan sinisnya saja dapat menggetarkan hati sampai membuat histeris.
"Kyaaa ... Pak Tristan! Kenapa gak bilang dari tadi sih, Ra? Pantes aja kamu ngelamun. Pak Tristan gantengnya gak ada obat sumpah," kata Uci dan Sofi. Mereka mengeluarkan ponsel masing-masing dan saling berlomba memotret Tristan dari sebelah sudut.
Tristan yang merasa risih, memutuskan masuk ke ruang komputer meninggalkan Damar yang sedang tebar pesona pada murid-murid yang meneriaki Tristan.
Amira buru-buru memeriksa ponselnya dan pada saat dia hendak memblokir nomor Reyhan, pesan baru darinya muncul yang mengatakan,
'Aku sudah kembali dan sangat rindu padamu. Sampai bertemu, Amira."
Deg!
....
Di ruang komputer.
Damar masuk ke dalam menghampiri Tristan yang tengah duduk santai di salah satu bangku. Dia meletakan cangkir kopinya di atas meja, di samping cangkir kopi Tristan.
Terdapat banyak sekali komputer dan kabel-kabel yang membentang di lantai. Suasana ruang komputer cukup tenang dan damai karena hanya ada mereka saja di sana.
"Ada apa, Tan? Aku lihat kamu menghubungi Amira tadi dan langsung mematikannya?" tanya Damar. Dia menarik bangku dan duduk berhadapan dengan Tristan.
Tristan terdiam. Dia menyandarkan bahunya dan menengadahkan wajah, menatap hampa langit-langit.
"Damar, apa Amirah menyembunyikan sesuatu dariku?" tanya Tristan dengan suara lirih, nyaris tak terdengar.
"Amira menyembunyikan sesuatu? Mungkinkah? Kenapa kamu berpikir begitu?" Damar balik bertanya.
Tristan mengedikkan bahunya. "Entahlah, hanya merasa tidak tenang saja."
"Whahaha, apa nih? Jangan-jangan kamu mulai suka sama Amira, ya?" goda Damar sambil menyeringai bagai kuda.
Tristan langsung menoleh dan menatapnya tajam dengan wajah dingin. Bola mata ambernya menyala, membuktikan kalau perkataan Damar sangat mempengaruhinya.
"Kalau suka, ya bilang saja suka. Wajar kok kamu menyukainya. Kalian menikah sudah hampir satu tahun, sebentar lagi kontrak habis. Kalau tidak salah bulan apa, ya? Ah, 2-3 bulanan lagi, kan? Tepat saat Ujian Nasional. Apalagi kalian saling menyalurkan hasrat selama ini, mana mungkin tidak saling suka, hehe?" goda Damar sambil diam-diam melirik penuh maksud pada Tristan. Berharap dugaannya benar kalau Tristan sedang kasmaran.
"Jangan berisik. Bagaimana kalau ada yang dengar?" Tristan memperingati.
"Ah, iya, maaf-maaf!"
3 bulan lagi ya, kontrak kami selesai? (Batin Tristan sambil menghela napas hampa)
Damar memperhatikan ekspresi Tristan. Dia yakin, perkataannya barusan telah mengusik ketenangan teman tampannya itu sampai Tristan terlihat gusar dengan mengusap jambang tipisnya.
"Sudah, jangan dipikirkan kalau kamu merasa tidak nyaman. 2-3 bulan lagi, waktu yang cukup untuk kamu mengungkapkan isi hatimu pada Amira dan memperjelas hubungan kalian," usul Damar dari hatinya yang paling dalam.
"Memangnya Amirah menyukaiku?"
Damar sedikit tercengang mendengar pertanyaan polos Tristan-Guru Biologi yang sangat diagung-agungkan dan didamba-dambakan seluruh murid wanita sejagat raya itu.
"Kamu tidak serius menanyakannya, kan? Jangan bercanda, Tristan. Di sekolah ini tidak ada wanita yang tidak mengagumimu. Dari sekolah seberang juga fansmu buanyak. Mustahil Amira tidak tertarik padamu!"
"Begitu, ya?" gumam Tristan dingin sambil melipat kedua tangan di atas perut.
Hah, aku tidak merasa dia tertarik padaku selama ini. Tatapan matanya kosong dan tidak memiliki arti, berbeda dengan tatapan para wanita yang mengagumiku, tatapan mereka penuh semangat dan ambisi untuk memilikiku. Kita memang saling membutuhkan satu sama lain, tapi dia sudah terlalu banyak memanfaatkanku setahun ini dan entah kenapa aku malah menyukainya. (Batin Tristan)
"Tan, dengar-dengar Reyhan sudah pulang dari Luar Negeri? Sudah selesai study-nya?" tanya Damar mengalihkan pembicaraan sambil menyesap kopi. Dia tidak mau melihat temannya kebingungan terus, lebih baik cari obrolan lain.
....
tp amira tnpa sepengetahuan ibunya dia lnjutin sekolh,,
iya kah thor