NovelToon NovelToon
The RADAN

The RADAN

Status: sedang berlangsung
Genre:Teen / Action / Kehidupan di Sekolah/Kampus / Misteri Kasus yang Tak Terpecahkan / TKP
Popularitas:1.3k
Nilai: 5
Nama Author: Moon Fairy

SMA Rimba Sakti terletak di pinggiran Kota Malang. Menjadi tempat di mana misteri dan intrik berkembang. Di tengah-tengah kehidupan sekolah yang sibuk, penculikan misterius hingga kasus pembunuhan yang tidak terduga terjadi membuat sekelompok detektif amatir yang merupakan anak-anak SMA Rimba Sakti menemukan kejanggalan sehingga mereka ikut terlibat di dalamnya.

Mereka bekerja sama memecahkan teka-teki yang semakin rumit dengan menjaga persahabatan tetap kuat, tetapi ketika mereka mengungkap jaringan kejahatan yang lebih dalam justru lebih membingungkan.

Pertanyaannya bukan lagi siapa yang bersalah, melainkan siapa yang bisa dipercaya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Moon Fairy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 7

Nadya yang sedang berjalan di trotoar sambil menunggu siapa kira-kira penculik itu sedikit merasa bosan, tapi tak lama dirinya melihat sebuah mobil sedan berwarna hitam yang berhenti di sampingnya. Seketika dirinya menoleh heran.

Kaca mobil sebelah kiri pun diturunkan oleh sang pengendara—menampakkan seseorang yang sangat dikenali oleh Nadya atau bahkan semua murid mengetahuinya. Guru TIK SMA Rimba Sakti—Pak Ruslan.

“Nadya, sedang apa di situ?” tanya Pak Ruslan dari dalam mobil.

Jantung Nadya sangat berdegup kencang saat ini. Ia takut dengan sesuatu yang akan segera menimpanya setelah ini, tapi dengan perasaan yakin dirinya pun menjawab, “Saya lagu nunggu ojek online, Pak. Mau ke mall.”

“Oalah, kebetulan Bapak juga mau ke sana jemput istri Bapak. Kamu mau sekalian ikut?” tawar Pak Ruslan.

“Gak usah repot-repot, Pak. Saya masih bisa nunggu lebih lama di sini,” jawab Nadya berbohong.

“Di cancel saja ojolnya, nanti pulangnya baru kamu pesan. Sekarang kamu bisa bareng sama Bapak ke sana,” kata Pak Ruslan.

Rasanya berat sekali ingin menjawab, namun dengan keyakinannya Nadya pun memutuskan, “Nggih, tolong ya Pak. Maaf banget ngerepotin.” Dirinya membuka ponsel seolah membatalkan pesanan ojek online-nya.

“Gak ngerepotin, sudah masuk saja,” balas Pak Ruslan santai.

Tangan ragu itu mulai membuka pintu mobil dengan gemetar. Ia masuk ke dalam dan menutup pintunya. Kemudian Pak Ruslan mulai menjalankan mobil sedannya itu.

Kini Nadya mengerti. Dia tahu bahwa rumah Pak Ruslan berada di Malang, sedangkan di Kedungmalang ini adalah rumah saudaranya. Mengingat bahwa dia mengikuti ekstrakurikuler TIK membuatnya tahu cerita tentang Pak Ruslan. Beliau sering menceritakan bahwa ia sering tinggal di rumah saudaranya. Satu hal yang dia baru tahu adalah Pak Ruslan memiliki istri.

Di sekolah Pak Ruslan cukup dikagumi oleh banyak murid perempuan karena kebaikan dan ketampanannya sebagai guru muda—walaupun umurnya memang sudah berkepala tiga, tapi tidak menyangka bahwa Pak Ruslan memiliki seorang istri. Pasalnya selama ini tak ada siapapun yang tahu bahwa Pak Ruslan memiliki istri.

Atau hanya alibinya saja?

Selama perjalanan mereka, keheningan terus tercipta tanpa ada yang memulai percakapan. Nadya sendiri sedang bergelut dengan pikirannya untuk memulai percakapan atau tidak. Gimanapun juga dirinya harus menyelidiki Pak Ruslan apakah beliau benar-benar penculiknya atau bukan.

“Saya baru tahu kalau Bapak punya istri,” ujar Nadya lalu memejamkan matanya kuat sambil mengepal tangannya—merutuki dirinya sendiri karena dari sekian banyaknya topik, mengapa harus itu yang dia katakan.

Pak Ruslan terkekeh. “Ya, begitulah. Gak semua guru tahu kalau Bapak sudah beristri,” katanya sambil melirik spion mobil.

Nadya hanya mengangguk paham. Kali ini ia tak tahu lagi apa yang harus dirinya tanyakan pada Pak Ruslan. Sementara mobil yang terus berjalan di jalan raya Malang, tak lama mulai membelokkan arahnya ke sebuah jalan yang dikelilingi oleh hutan. Gadis itu seketika terkejut dan menoleh kepada Pak Ruslan.

“Pak, ini bukan jalan ke mall,” kata Nadya.

“Jalan pintas,” jawab Pak Ruslan singkat.

“Sudah Pak, saya turun di sini saja,” ucap Nadya membuka setbelt-nya.

Pak Ruslan menggenggam kuat setiran mobilnya, ia melirik pada gadis itu yang sibuk membuka ponselnya dengan gemetar. Spontan dirinya memukul tengkuk atas Nadya dengan tangan kirinya kuat membuat gadis itu langsung pingsan.

...—o0o—...

Arga dan Rian terheran mengapa keduanya sampai pada tengah hutan begini. Bahkan Rian sampai menelpon Dimas karena mereka mengikuti mobil Pak Ruslan sampai masuk ke dalam hutan kecil. Motor Arga terhenti.

“Kenapa berhenti, Ga?” tanya Rian heran.

“Jalanan ini sepi, kalau kita ikutin mobil itu terus, yang ada dia curiga. Kita tunggu dia sampai jauh,” jawab Arga menjelaskan.

“Kalau nunggu sampai jauh yang ada kita gak bakalan nemuin mobil itu,” balas Rian.

“Kita pasti nemuin,” kata Arga yakin sambil membuka ponselnya untuk menelpon Dimas.

Karena tak ada jawaban dari laki-laki itu, pada akhirnya Arga menelpon Aisyah. Jika Aisyah menjawab dia akan bersyukur, sebab Aisyah anak yang jarang atau bahkan tidak terlalu suka membuka ponselnya. Dia lebih senang membuka buku.

Telpon itu tersambung.

“Syah, sekarang di mana?”

^^^“Ini mau jalan samperin kalian, bisa di share lokasi?”^^^

Arga secara cepat mengirim lokasinya dan Arga saat ini pada Aisyah.

“Udah dikirim. Kalian hati-hati.”

Tak ada jawaban. Justru sambungan itu dimatikan oleh Aisyah. Baiklah, Arga tak akan heran soal itu. Mereka menunggu kedatangan Dimas dan Aisyah. Sementara mata sipit Rian samar-samar mulai tak melihat keberadaan mobil itu dari kejauhan.

Sepuluh menit kemudian, Dimas dan Aisyah datang memakai motor. Aisyah menaikkan kaca helm-nya dan menanyakan hal yang membuat mereka heran, “Kalian di sini ada yang tahu rumah Pak Ruslan?”

“Buat apa?” tanya Rian balik.

“Kalau gitu ikutin kita dari belakang, Dimas tahu rumahnya,” bukan menjawab pertanyaan Rian, Aisyah justru meminta keduanya untuk segera berangkat kembali.

Dimas mulai menjalankan motornya lagi, sedangkan motor Arga mengikuti dari belakang. Perasaan Aisyah sangat khawatir saat ini. Ia memandang langit yang sedikit tertutupi oleh daun-daun lebat—melihat bahwa hari sudah semakin sore. Orang tuanya memang tahu bahwa dia bersama dengan Arga saat ini, tapi tak bisa dipungkiri bahwa ia khawatir jika orang tuanya justru mencarinya kemana-mana. Dalam diam Aisyah menargetkan untuk tidak pulang larut.

Lama-kelamaan, mereka keluar dari hutan kecil itu, mendapati sebuah desa kecil di hadapan mereka. Rumah-rumah tua dengan jarak yang berjauhan satu sama lain. Tak ada siapapun di sana, benar-benar sangat sepi. Mereka melihat sebuah rumah yang berukuran sedang dan berhenti di depan rumah itu.

“Kenapa kita ke sini?” tanya Arga.

“Kita harus cari tempat buat parkir motor yang jauh dari sini, Dim,” mengabaikan pertanyaan Arga, Aisyah menoleh kanan-kiri melihat situasi.

“Di rumah itu aja,” unjuk Rian pada sebuah rumah tua yang kosong.

Aisyah turun dari motor dan mengatakan, “Parkir di sana, tapi jangan nyalain motornya.”

Rian turun dari motor Arga, dengan helaan napas kasar Arga menuruti perkataan Aisyah. Keduanya mendorong motor dan memarkirkannya di rumah tua itu. Aisyah memandang rumah berukuran sedang tersebut dengan mata memincing. Ia melihat sebuah CCTV yang menyala dan mengarah ke mereka. Spontan Aisyah menarik tangan Rian untuk menghampiri Arga dan Dimas.

“Kenapa sih, Syah?” tanya Rian bingung.

“Dim, retas semua CCTV di rumah itu!” perintah Aisyah.

Dimas awalnya ragu dan mencari ada di mana CCTV itu. Ia memandang rumah yang diyakininya milik Pak Ruslan tersebut. Rumah itu tak terlalu besar dan tidak juga kecil, tapi bukan hal yang mustahil untuk meletakkan CCTV di sana. Saat Dimas menemukannya, ia langsung membuka tas ranselnya dan mengambil laptopnya.

“Dengar baik-baik, aku gak akan ulangin dua kali. Penculiknya Pak Ruslan, dan ki—“

“Hah?” beo Rian spontan.

“Dengerin! Kita harus masuk ke rumah itu buat bebasin mereka, tapi kita harus punya bukti biar bisa tangkap Pak Ruslan,” lanjut Aisyah.

Kini Arga paham situasinya. “Oke, kita bagi tugas kayak sebelumnya. Dimas sama Aisyah kumpulin bukti, aku sama Rian bebasin mereka,” usulnya.

Semua mengangguk.

Rian pun bertanya, “Gimana sama polisi?”

“Kalau kita udah temuin bukti, kita bakal telpon polisi,” jawab Dimas.

“Oke, kalau gitu kita berpencar sekarang!” perintah Arga.

Mereka semua berpisah kembali. Dimas dan Aisyah berkeliling rumah itu untuk menyelidiki luar rumahnya. Untung saja Aisyah membawa buku kecil yang selalu berada di kantong sakunya, jangan lupakan pulpennya. Rian dan Arga pun mencoba untuk membuka pintu rumah yang ternyata tidak dikunci itu. Keduanya masuk.

Tidak dengan Dimas dan Aisyah yang masih menyelidiki luar rumahnya. Mereka menemukan mobil sedan hitam yang terparkir di belakang rumahnya. Dimas mengintip ke dalam mobil tersebut lewat kaca mobil, namun ia tak menemukan kejanggalan di sana. Andai saja mereka bisa masuk ke dalam.

“Di sini, aku baru nemuin satu bukti bahwa selama ini Pak Ruslan kasih tahu kita kalau dia penculiknya,” kata Aisyah seraya menunjukkan buku kecilnya pada Dimas.

Di sana tertera nama korban yang diculik oleh Pak Ruslan. Tidak sesuai urutan. Gea Nur Ustawiyah, Nadya Cahyani Soekardjo, Cika Lastrana, Syifa Andani, dan Riska Nuriawati. Pak Ruslan belum menangkap anak dengan nama belakang berawalan R. Mereka memiliki satu kesamaan, yaitu mereka tinggal tanpa orang tua di rumah.

“Tadi aku minta kamu buat lihat CCTV selama di sekolah, kan? Apa yang kamu temui?” tanya Aisyah.

Mereka terduduk bersembunyi di balik mobil sedan hitam yang terparkir di belakang rumah. Dimas membuka tas ranselnya lagi dan mengeluarkan laptop milik Nadya yang ia pinjam, lalu menunjukkan sebuah rekaman yang sudah ia kumpulkan melalui CCTV yang terletak di sekolah. Rekaman itu adalah sebuah rekaman yang hanya menunjukkan gerak-gerik aneh dari Pak Ruslan selama beliau ada di sekolah.

“Kita harus cari tahu motif dia culik mereka,” ucap Dimas.

Aisyah berfokus pada laptop Nadya sementara Dimas fokus pada CCTV yang sudah mulai nampak di laptopnya. Dari laptop Nadya, Aisyah melihat bahwa selama ini Pak Ruslan memang mengincar Syifa Andani. Syifa adalah anak yatim piatu, di sekolah ia tak memiliki teman dan yang sempat menemani Syifa adalah Kevin dengan status pacar, tetapi itu terhenti hanya dalam waktu dua bulan. Aisyah kini berpikir apa yang membuat Pak Ruslan ingin mengincar Syifa.

Di waktu yang sama, Arga dan Rian kini telah berada di dalam rumah guru TIK mereka. Ini memang bukanlah tindakan yang tepat untuk masuk ke dalam rumah orang tanpa izin—apalagi mereka masuk ke dalam rumah guru mereka sendiri. Menurut Rian, salahkan saja Pak Ruslan karena tidak mengunci pintu rumahnya.

Di dalam sangat sepi dan tidak ada hal yang mencurigakan. Bahkan mereka tak melihat keberadaan Pak Ruslan di sana. Keduanya terus mengendap-endap untuk mengecek ke berbagai tempat di rumah itu. Sampai Rian tersadar pada sebuah bingkai foto yang terletak di meja TV.

“Ga, ini—“ Rian tak bisa melanjutkan perkataannya saking terkejutnya ia melihat foto itu.

Arga pun menghampiri dan melihatnya juga. Foto itu menunjukkan seorang gadis kenali. Syifa Andani.

“Ini Syifa, kan?”

BUGH!

BUGH!

...—o0o—...

1
ADZAL ZIAH
keren kak ceritanya... dukung karya aku juga ya
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!