Kimberly alias Kimi, seorang perempuan ber-niqab, menjalani hari tak terduga yang tiba-tiba mengharuskannya mengalami "petualangan absurd" dari Kemang ke Bantar Gebang, demi bertanggungjawab membantu seorang CEO, tetangga barunya, mencari sepatu berharga yang ia hilangkan. Habis itu Kimi kembali seraya membawa perubahan-perubahan besar bagi dirinya dan sekelilingnya. Bagaimana kisah selengkapnya? Selamat membaca...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Andi Budiman, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Keributan di Mini Bank
Setelah mencoba memeriksa mesin bajaj dengan teliti, si pria tidak menemukan satu pun kejanggalan. Dia sudah mencoba menghidupkan mesin bajaj itu beberapa kali, namun usahanya sia-sia. Akhirnya, dengan raut wajah tertekan, dia dan Kimi memutuskan untuk mencari bengkel terdekat.
Sambil mendorong bajaj yang mogok, mereka menelusuri jalanan yang sibuk di Jakarta. Terik matahari yang menyengat menambah kesulitan mereka, dan debu jalanan membuat suasana semakin gerah.
Pada saat yang bersamaan, seorang pria gemuk yang sedang duduk di dalam sebuah warung mini bank tampak memperhatikan mereka dengan tatapan mengejek. Raut wajah pria tersebut menunjukkan ketidakpedulian dan sedikit sindiran, seolah mempertanyakan seberapa serius masalah yang dihadapi Kimi dan si pria.
Setelah beberapa menit mencari, si pria dan Kimi akhirnya menemukan bengkel kecil yang tampaknya dapat menangani masalah bajaj mereka.
“Semoga saja bisa diperbaiki cepat,” gumam si pria saat mereka berdua mendorong bajaj itu masuk ke bengkel.
Seorang mekanik tua dengan wajah penuh cucuran keringat mendekati mereka. “Ada apa, Pak?” tanyanya dengan logat Betawi yang kental.
“Bajaj saya mogok, Pak. Bisa diperiksa?” si pria menjelaskan singkat.
Mekanik itu mengangguk dan mulai memeriksa mesin bajaj dengan cekatan. Beberapa menit kemudian mekanik itu menggelengkan kepala dan berkata, “Ini mesin udah aus, harus ganti beberapa bagian. Kalo mau jalan lagi, ya... kira-kira habis dua ratus ribuan.”
Kimi yang mendengar angka itu langsung terdiam. Ia merogoh dompetnya dan menghitung uang yang tersisa. Hanya ada seratus ribu rupiah.
“Uangnya kurang seratus ribu rupiah, Pak,” kata Kimi dengan suara pelan dari balik niqab, seraya menatap cemas ke arah bajaj mereka yang mogok menunggu penanganan. “Apa yang harus kita lakukan sekarang?”
Si pria menghela napas panjang. Dalam situasi normal, ia mungkin akan menertawakan ironi ini. Dirinya yang biasa hidup dengan kemewahan, kini terjebak dalam situasi di mana kebutuhannya terhalang hanya oleh ketiadaan uang seratus ribu rupiah.
Tapi, situasi ini tidak bisa dianggap enteng. Mereka sama sekali tidak mempunyai uang tambahan, sementara mereka harus segera sampai di Bantar Gebang, dan waktu terus berjalan.
Tanpa banyak bicara, si pria mengajak Kimi ke sebuah warung untuk bertanya tentang keberadaan mini bank terdekat. Pemilik warung memberi petunjuk tentang sebuah sebuah mini bank yang ternyata letaknya tidak jauh dari tempat mereka mogok tadi.
Si pria diikuti Kimi segera menghampiri warung mini bank itu kemudian berusaha menjelaskan situasi yang mereka alami kepada pemiliknya.
"Selamat siang, Pak. Kami butuh bantuan. Ada masalah dengan bajaj kami dan kami perlu menarik uang untuk perbaikan. Bisa bantu kami?" tanya si pria dengan penuh harapan.
Si pemilik mini bank, seorang pria paruh baya dengan wajah sedikit masam, menatap si pria dengan ekspresi skeptis. "Oh, jadi kamu mau narik uang ya?" katanya, sinis. "Berapa banyak? Berapa besar sih seorang penarik bajaj mau narik uang?" tanya si pemilik mini bank dengan delik mata meremehkan.
"Rencananya... kami perlu dua ratus ribu," jawab si pria, berusaha sabar.
“Hehe, dua ratus ribu...” komentar si pemilik mini bank dengan nada mengejek.
"Mmmm… oh tidak-tidak,” tiba-tiba si pria menyadari kesalahannya. Ia seharusnya menentukan nominal yang lebih besar untuk berjaga-jaga.
"Apa? Kegedean?" goda si pemilik mini bank masih dengan kesan ejekan.
"Bukan, bukan begitu," kilah si pria berusaha tetap sabar, walau dalam hati mulai jengkel. "Sebelumnya, saya perlu tahu berapa maksimal tunai yang bisa ditarik di sini?" tanya si pria, serius.
Si pemilik mini bank mencibir, "Mau narik dua ratus ribu aja... pake nanya maksimal bisa narik berapa. Mau narik berapa memang, sepuluh juta? Dua puluh juta? Haha." Ia mengangkat bahu, seolah menertawakan permintaan yang tak mungkin keluar dari mulut pria penarik bajaj berkemeja di hadapannya.
“Mau dibilang keren kali ya, narik bajaj pake kemeja ama dasi… Hm, aneh-aneh aja nih orang,” gumam si pemilik mini bank.
Si pria merasa kejengkelannya bertambah dan merasa sedikit dipermalukan oleh sikap si pemilik mini bank. "Ya, ya, oke. Sebenarnya kami hanya butuh sedikit uang. Tapi bisa bantu saya dengan menerima transfer uang dari kantor saya?"
“Kantor? Kantor apaan? Kantor bajaj? Haha. Bisa lah, apa sih yang nggak bisa?” kata si pemilik mini bank dengan gaya congkak.
Si pria masih menahan jengkelnya, kemudian berkata:
“Kalau begitu, bagaimana prosedurnya?”
“Untuk transfer, kamu bisa meminta orang di kantor kamu untuk mentransfer uang ke nomor rekening saya. Nanti saya akan cairkan dengan potongan biaya administrasi tertentu. Masa gitu aja nggak ngerti,” jawab pemilik mini bank dengan nada mengejek. “Tuh, nomor rekeningnya!” katanya lagi sambil menunjuk selebaran yang tertempel di dinding warung.
Si pria merasa sedikit lega mendengar penjelasan dari pemilik mini bank, meskipun tetap kesal dengan sikapnya.
Ia berbalik ke arah Kimi. “Apakah kamu punya pulsa atau kuota internet? Saya ingat nomor telepon kantor. Saya akan mencoba menghubungi kantor saya meminta transferan uang.”
Kimi mengangguk, “Ada Pak, tapi sebentar dulu ya, Pak, saya beli paket telepon dulu, Pak!”
Setelah beberapa menit, Kimi berhasil membeli paket telepon rumah atau telepon kantor yang siap digunakan. Si pria, kini dengan ponsel Kimi di tangan, mulai menelepon kantornya.
Setelah beberapa dering, akhirnya telepon dijawab oleh seorang resepsionis wanita yang terdengar agak gugup. "Se-selamat pagi, PT Adiyaksa Pratama Group. Ada yang bisa saya bantu?"
"Selamat pagi, ini saya Adi, CEO perusahaan. Saya perlu bantuan transferan uang ke sebuah rekening mini bank. Saya dan rekan saya sedang mengalami masalah di jalan dan butuh uang segera,” pinta si pria dengan tegas.
"Baik, Pak, sebentar..."
Sambil menunggu respon, si pria berpikir. Tadinya ia akan meminta uang sebanyak lima ratus ribu, namun setelah dipikir-pikir, ia tak mau ambil resiko kalau ternyata nanti membutuhkan uang lebih besar lagi.
“Tolong segera lakukan transfer uang sepuluh juta rupiah! Nanti saya ganti dari uang pribadi. Saya dan rekan saya sedang dalam keadaan darurat, saya tunggu sekarang juga," suruh si pria, dengan suara yang mencoba terdengar tenang namun tertekan.
Suasana seketika terasa tegang. Si resepsionis terdengar bingung dan ragu. "Maaf, Pak, tapi... saya harus memverifikasi terlebih dahulu. Kami belum pernah menerima permintaan transfer dengan jumlah sebesar itu tanpa konfirmasi lebih lanjut."
“Apa? Coba ulangi!” si pria berteriak melawan gemuruh suara kendaraan. Kemudian ia mengalihkan suara telepon ke mode loudspeaker.
“Maaf Pak, saya membutuhkan konfirmasi dulu. Kami membutuhkan konfirmasi resmi untuk permintaan transfer uang, apalagi dengan jumlah sebesar itu, Pak!”
Si pria semakin merasa tertekan, “Ini memang permintaan mendesak. Saya tidak punya akses ke akun perusahaan, saya tidak bisa lakukan verifikasi, jadi saya mohon bantuannya untuk melakukan transfer sekarang, ke akun seorang pemilik mini bank mengerti? Sekali lagi, lakukan transfer ke akun seorang pemilik mini bank! Sepuluh juta rupiah. Saya sedang terdesak. Saya akan sebutkan nomor rekeningnya."
Sayang si pria tak bisa menjelaskan alasan keterdesakannya. Menyebut bahwa ini gara-gara kehilangan sepatu akan terdengar sangat konyol. Apalagi karena ia harus memperbaiki bajaj secara mendadak.
"Tunggu dulu, Pak, saya harus..."
"Tunggu apa lagi?" tanya si pria, tak sabar.
Di ujung telepon, si resepsionis terdengar mengetik sesuatu.
“Sebelum saya bisa memproses ini, saya perlu memastikan bahwa ini benar-benar Anda. Karena menurut prosedur, seharusnya kami menerima instruksi transfer melalui email resmi atau pesan dari akun email perusahaan.”
“Tidak ada waktu untuk itu! Saya terjebak di sini dan butuh uangnya segera. Jangan buat saya semakin marah, cepat laksanakan!”
Di sisi lain, pemilik mini bank, yang mendengarkan percakapan, menyeringai sinis. “Wah, sepuluh juta? Kamu yakin ini bukan penipuan?” gumamnya dengan nada mengejek, membuat si pria semakin jengkel.
Si resepsionis sepertinya tetap tidak yakin dan terkesan mulai mengulur waktu. “Maaf, Pak… Adi, bisa Anda memberikan informasi lebih lanjut atau mungkin berbicara dengan manajer keuangan kami untuk konfirmasi lebih lanjut?”
“Tidak ada waktu, saya butuh ini sekarang juga! Kalau tidak, saya tidak bisa melanjutkan perjalanan dan semua akan terhambat. Saya akan memberitahukan nomor rekeningnya dan cepat transfer uang itu, kalau tidak kamu akan saya pecat, mengerti?” ancam si pria, mencoba menahan kemarahan.
Si resepsionis akhirnya terdiam, mengeluarkan suara cemas, “Tunggu sebentar, Pak. Saya akan coba hubungi manajer keuangan untuk mendapatkan konfirmasi. Mohon tunggu di lini ini.”
Selama menunggu, suara gemuruh jalanan Jakarta terdengar, menciptakan suasana yang semakin tegang. Si pemilik mini bank tampak semakin sinis, sementara Kimi berdiri tak jauh, mencoba memahami situasi dengan penuh kesabaran.
Setelah beberapa menit yang terasa seperti berjam-jam, si resepsionis akhirnya kembali ke telepon. “Pak Adi, manajer keuangan kami belum bisa dihubungi, sebagai gantinya ada salah satu staf kami yang akan mengobrol dengan Anda, harap tunggu, Pak!”
“Hah, apa? Staf apa? Kenapa saya malah harus mengobrol dengan staf? Staf bagian mana ini? Hey, yang benar saja?” teriak si pria dengan nada marah.
Si pemilik mini bank mendelik dengan senyum mengejek. "Wah, sepuluh juta? Kalau hanya untuk masalah bajaj, mau tarik tunai berapa lagi? Apa Anda kira bisa menarik uang tanpa batasan? Kami bukan bank besar di sini, hanya warung dengan spanduk mini bank."
Si pria berusaha menahan kemarahan, namun ejekan itu semakin membuatnya kesal. "Hey, jaga sikapmu ya! Makanya saya tadi bertanya, berapa maksimal tunai yang bisa saya tarik di sini, kamu paham? Jadi tolong jangan tambah runyam masalah ini dengan sikapmu itu!"
Kimi terlihat menjadi panik, kemudian berusaha membantu si pria dengan memperingatkan si pemilik mini bank.
“Bang, tolong jaga perkataannya, dan tolong hargai kami," ucap Kimi tegas, membuat si pemilik mini bank terdiam.
Kemudian Kimi beralih ke si pria. "Sekarang Bapak coba mengobrol lagi, siapa tahu kali ini ada yang bisa diajak ngobrol baik-baik.”
Si pria menurut, kemudian kembali fokus pada ponsel di tangannya. Terdengar sedikit keributan di seberang telepon sebelum akhirnya sebuah suara memanggilnya.
“Halo Pak!”
Terima kasih memberikan cerita tentang keteguhan seseorang dalam mempertahankan keyakinannya.
Bravo selamat berkarya, kuharap setiap hari up.