NovelToon NovelToon
The Disgusting Beauty

The Disgusting Beauty

Status: sedang berlangsung
Genre:Balas Dendam / Teen School/College / Slice of Life
Popularitas:1.3k
Nilai: 5
Nama Author: アリシア

Tidak ada yang benar-benar hitam dan putih di dunia ini. Hanya abu-abu yang bertebaran. Benar dan salah pun sejatinya tak ada. Kita para manusia hanya terikat dengan moralitas dan kode etik.

Lail Erya Ruzain, memasuki tahun pertamanya di SMU Seruni Mandiri yang adalah sekolah khusus perempuan. Seperti biasa, semua siswi di kelas akan gengsi dan malu-malu untuk akrab dengan satu sama lain. Waktu lah yang akan memotong jarak antara mereka.

Hingga dia mengenal Bening Nawasena. Teman sekelas yang bagaikan salinan sempurna Lail saat SMP.

Drama pertama kelas dimulai. Siswi toxic mulai bermunculan.

Bagaimana Lail menghadapi semua itu?

"Menyesal? Aku gak yakin."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon アリシア, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

CH.07 - Ruang Ujian Nomor 9

“Minggu depan, akan diadakan PTS.”

Lail yang terserang kantuk mendadak segar kembali mendengar informasi dari Pak Juan. Lail dengar-dengar dari gosip kakak kelas, sekolah ini punya sistem acak kelas saat pekan ujian tiba. Kelas akan digabung dengan kelas lain. Biasanya dibagi sesuai absen, misal setengah awal di kelas ini dan setengah absen akhir di kelas yang digabung dengan kelas ini. Hanya seperti tukar setengah murid saja dengan kelas lain.

Usai Pak Juan tak terlihat lagi, kelas mulai ramai. Bisik-bisik tetangga sampai ke telinga Lail. Banyak yang protes, tidak mau dengan kelas ini atau kelas itu seolah-olah merekalah yang membuat keputusan. Yah, jangankan ke Kepala Sekolah, pendapat mereka hanya akan dianggap angin lalu oleh Panitia PTS.

Yang Lail pikirkan adalah bagaimana cara kelas mereka dibagi karena dalam tiga angkatan hanya ada 21 kelas, itu artinya ada satu kelas tersisa yang tak digabung. Atau ada opsi ketiga, mereka akan menggabungkan ketiga kelas sekaligus. Nah, itu neraka. Apalagi jika ingat kelasnya adalah satu-satunya kelas dengan 15 siswi, selebihnya ada 20 siswi.

Nylam menghampirinya dan duduk di kursi kosong depan Lail sambil menunggu gimnya masuk lobi. “Aku mah digabung sama kelas mana aja geh bebas. Asal jangan saling ganggu aja, masing-masing gitu.”

Lail merasa ragu dalam hati karena belum lama ini Isvara cekcok dengan Marina. “Yah... aku gak banyak berharap sih.”

“Ouh ya, kok kita belum dipanggil sama Kepsek sih? Padahal kita menang banyak.” Nylam mengganti topik pembicaraan.

Itu benar. Lomba diadakan hari Senin. Tapi sekarang sudah hampir mendekati Minggu. Belum ada kabar dari pihak sekolah setelah Lail dan yang lainnya menang banyak di perlombaan kemarin.

“Latihan kayak apa aja, sekarang dianggurin.” Cibir Nylam.

Lail tak banyak berkomentar. Itu memang menyebalkan, tapi mau bagaimana lagi. Mereka sama halnya dengan mesin, namun dalam wujud manusia. Jangankan pihak sekolah, teman sekelas mereka pun tak ada yang membicarakannya. Sekedar memberi selamat pun tidak. Entahlah, padahal Lail sudah susah payah mengalahkan Wiyan.

“Pas upacara diumumin gak sih?” Lail menduga-duga.

“Minggu depan emang upacara tetep jalan?” Nylam balik bertanya.

“Lah? Kamu gak liat yang latihan dari hari Rabu?”

“ZAR! AYO CEPET!”

Perhatian Lail dan Nylam teralihkan ke ambang pintu kelas. Ada Welda di sana, salah satu pasukan oranye. Akhir-akhir ini Azara dan Welda jadi akrab karena satu ekskul. Dan mulai dari sana juga, Lail tidak banyak berinteraksi dengannya lagi. Karena seperti sekarang, Welda selalu memanggil Azara kapanpun dan di manapun dengan suara keras.

“Mereka jadi deket.” Nylam berkomentar.

“Yeah...”

“....”

“Mau ke kantin?” ajak Lail.

Nylam menggeleng pelan, karakternya sudah masuk lobi.

“Okey.” Lail melangkah ke kursi Bening. Matanya mengernyit, ada goresan baru di pergelangan tangan gadis itu. “Mau ke kantin gak, Ning?”

Bening menoleh, dia terdiam sebentar, kemudian mengangguk. “Nylam?”

“Dia sibuk main gim.” Ucap Lail.

Lail berusaha terlibat dalam percakapan sesepele apa pun dengan Bening. Sebab akhir-akhir ini Bening jadi terlihat makin kesepian. Dia tak bergabung dalam pasukan oranye, tak terlihat bersama Jelika lagi. Apalagi Bening sulit menjadi yang pertama memulai ikatan pertemanan.

Langkah Lail terhenti saat melihat kertas yang ditempel di mading. Pembagian kelas untuk PTS minggu depan. Lail langsung maju, mengabaikan Nylam yang tak sadar jika Lail berbelok ke mading.

“Kelas 1-7 digabung sama 2-7 dan 2-2. What the–! Tiga kelas?! Berarti di ruang 7, 9 sama 14.” Lail memulai sesi keluhannya hari ini.

Kelasnya sudah sedikit tapi malah dibagi menjadi tiga. Itu artinya lima orang di setiap ruangan. Lail tak masalah digabung dengan kelas 2-2, tapi kelas 2-7 adalah mimpi buruknya. Karena Marina Lestari dan gengnya berada di kelas itu. Sepertinya PTS minggu depan takkan berlangsung damai.

“Kelasku yang buat drama, aku juga kena getahnya.”

“Kenapa?” Bening yang sadar dia meninggalkan Lail pun kembali menjemputnya. Ternyata gadis ini malah mematung di depan mading sambil meratapi nasib kelas minggu depan.

“Kamu tau ‘kan yang gelut sama Isvara waktu itu?”

“Ya.” Nylam mengangguk.

“Kelas kita bakal digabung sama kelas mereka.” Ucap Lail dramatis.

Bening syok mendengarnya, “Kayaknya bakalan ada sesuatu deh.”

“Kemungkinan besar.”

Ponsel Lail dan Bening berbunyi bersamaan. Ada sebuah pesan masuk dari grup kelas. Itu adalah daftar nama setiap ruangan. Lail memang tahu mereka di ruangan mana saja, tapi dia tidak tahu siapa yang akan satu ruangan dengan siapa. Daftar nama ini menguntungkan. Dan yaps, semuanya sesuai dengan absensi.

Mampus, Marina ada di ruanganku...

Lail meratapi nasib buruknya. Marina sekelas dengan Isvara. Itu saja sudah kabar buruk. Yang lebih buruknya lagi, ada Lail juga di ruangan yang sama. Mata Lail semakin melotot, rasa kantuk sudah terbang sejak dia mendegar kabar PTS. PTS-nya tidak mengerikan, tapi fakta jika kelas digabung, itulah yang membuat Lail akan susah tidur malam ini.

“Kamu di ruangan 9, ya? Untung ada Azara!” suara Bening yang awalnya kecewa berubah menjadi sedikit ceria saat menemukan nama Azara di atas namanya.

“Ah, tapi aku sama Amanda.” Bening kembali kecewa. Lail tahu perasaan Bening, dia juga enggan satu ruangan dengan manusia yang selalu membuat dirinya mengelus dada. Tidak enak dilihat apalagi didengar, buat masalah saja.

...****...

“Gue seruangan sama Marina.” Keluh Isvara.

Saat ini dia sedang duduk bersama pasukan oranye tanpa Welda di kantin sekolah. Dia mengeluhkan pembagian ruangan untuk PTS minggu depan. Sekelas dengan Marina adalah mimpi buruknya. Mereka masih terlibat perang dingin sejak cekcok tempo hari. Tiada hari tanpa saling sindir jika bertemu. Lail sampai jengah sendiri dan berkata dalam hati jika harusnya mereka langsung baku hantam saja.

“Gue juga di ruang 9 ‘kok.” Khalila berupaya menenangkan. “Ada Milda juga ‘kan? Gue gak yakin sih sama Jelika, gue gak deket sama dia.”

“Sisanya...” Shakila nampak berpikir.

“Lail.” Potong Amanda, matanya menyipit tak senang. “Lo gak usah berharap sama dia, Var. Dia lebih parah dari Jelika. Gue akui dia pinter, tapi gue gak suka sama dia. Mending lo jangan deket-deket sama Lail.”

“Kenapa? Dia baik ‘kok. Dia banyak bantu gue pas lomba cipta puisi.” Isvara menolak keras. Lail tidak seperti yang Amanda pikirkan. Lail itu memang tertutup jika masih asing, tapi kalau sudah akrab, dia sangat seru. Hanya saja terkadang humornya mirip seperti lelaki. Tak jauh dari humor ras*s.

“Kon***, gue seruangan sama Sheryl.” Umpat Shakila setelah membaca lebih lanjut daftar nama siswi yang satu ruangan dengan dirinya.

“Gue tau masalah dia sama lo, tapi bukannya gak mungkin dia nyari masalah ke kelas kita yang seruangan sama dia.” Shakila menatap Amanda lamat-lamat.

Amanda mendengus kasar. Dia jelas tahu Sheryl.

Awalnya hatinya pun tak tenang saat tahu kelasnya digabung dengan kelas 2-2 dan kelas 2-7. Di kelas 2-7 ada Marina. Sedangkan di kelas 2-2 ada Sheryl. Amanda bisa bernapas lega ketika namanya tidak dalam deretan yang sama dengan Marina dan Sheryl.

“Lo bisa urus dia, Sha?” tanya Amanda pada Shakila, memastikan sesuatu.

“Gue gak janji.”

“Terus masalah gue gimana?” Isvara bertanya lagi, sebab dia belum menemukan titik terang. Dia bersyukur satu ruangan dengan Milda dan Khalila. Tapi Jelika? Dia benar-benar tak bisa berharap. Lail juga... Isvara tahu kalau temannya itu tak suka mengorbankan hidup damainya hanya demi orang lain. Bukan sosok Lail jika memang berbuat demikian.

Tanpa Amanda dan yang lainnya, Isvara hanyalah seonggok pengecut.

...****...

Pekan PTS pun tiba. Periode pertama akan diisi dengan kegiatan upacara sekaligus apel sebelum ujian. Sesuai dugaan Lail, saat bagian amanat pembina, mereka yang kemarin dapat menyabet medali dipanggil ke depan.

Lail, Nylam dan Bening maju ke depan barisan, berdiri di samping Pembina Upacara dengan wajah bersinar penuh kebanggaan.

Namun semua kesenangan itu berakhir dengan cepat ketika para siswi diminta memasuki ruangan masing-masing. Lail melangkah gontai menuju ruangan 9 yang ada di lantai dua. Ruang 14 juga ada di lantai dua, bedanya ruangan itu jauh berada di ujung lorong dekat tangga.

Lail berusaha mengingat-ingat bagaimana rupa Marina yang pernah ia lihat selama tiga menit. Fitur wajah orang asing menurut Lail sama saja, jadi sulit baginya mengetahui Marina saat dia sudah duduk di kursi yang di mejanya sudah tertempel kartu namanya.

“Marin, lo di sini!” seorang siswi dengan behel memagari deret giginya menepuk-nepuk meja yang berada di depan mejanya Lail.

Kemudian siswi lainnya dengan gaya berpakaian modis melenggang menuju meja yang dimaksud. Sekejap dia memandangi Lail yang duduk manis di belakangnya. Tatapannya tidak sinis, tapi alisnya tertaut dalam.

Wajah Lail bagaikan ikan mati. Dari sekian banyaknya meja yang ada di ruangan ini. Kenapa pula Marina Lestari duduk di depannya? Tapi Lail beruntung karena tempat duduk Isvara dan Marina berjauhan. Marina ada di baris dekat pintu paling depan. Sementara Isvara di baris sebelah tapi paling belakang.

Dilihat-lihat lagi, meski ada enam siswi dari kelas 2-7. Tapi hanya ada dua orang saja yang tergabung dalam geng Marina. Tiga lainnya nampak tak acuh. Mereka mengobrol dengan Marina seadaanya, tidak seperti dua siswi lain yang bergosip dengan Marina di menit terakhir sebelum pengawas ujian masuk.

“Eh, tau gak? Lon*e yang rebut cowok gue ternyata cupu anjir! Bisanya keroyokan, tapi pas gue tantang ketemu berdua doank gak direpons. Cemen!” Marina berkata menyindir. Lail menangkap mata Marina yang terus mencuri lihat ke arah Isvara.

Isvara nampak bodo amat. Dia sibuk membicarakan produk skincare terbaru keluaran merk favoritnya dengan Khalila. Menganggap seakan apa yang dikatakan Marina sebatas angin lalu.

Bagus.

Pengawas masuk ke ruang 9. Marina dan gengnya bubar jalan duduk ke kursi masing-masing. Pengawas menaruh tiga amplop coklat di atas meja guru yang isinya lembar soal dan jawaban. Beliau menunggu dengan sabar para siswi yang menyiapkan alat tulis.

“Kartu ujian kumpulkan di meja paling depan untuk ditandatangani.” Ucap si pengawas.

Siswi yang duduk paling belakang mulai mengoper kartu ujian ke siswi yang duduk di depannya. Lail pun menyerahkan empat kartu ujian termasuk miliknya pada Marina yang ternyata sudah sejak tadi menghadap ke belakang.

“Lo gak satu geng sama si lon*e atau si gendut itu?” Marina berbisik sinis.

“Geng?” Beo Lail, pura-pura bodoh.

Marina berdecak sebal, rupanya Lail memang tidak satu geng dengan Amanda dan Isvara. Tempo hari saat dia dan Isvara nyaris baku hantam pun, gadis ini tetap duduk tenang sambil menghabiskan batagornya. Marina berbalik menghadap depan dan menaruh kartu ujian di pojok kanan mejanya.

“Untuk menghindari kecurangan, silakan kumpulkan handphone kalian di meja guru.” Tambah si pengawas.

Ada beberapa yang mendesis tak senang, sisanya tetap diam lalu maju mengumpulkan ponsel.

Marina memandang sinis Isvara yang hendak berjalan kembali ke tempat duduknya. Marina tersenyum miring, dia mengangkat kaki jenjangnya untuk menghalangi Isvara. Isvara yang tak sadar pun tersandung. Tubuhnya terjungkal ke depan dengan suara debuman yang cukup keras.

“Ouch–!” Isvara meringis, wajahnya sempurna mencium keramik. Pengawas ujian bergegas menghampiri Isvara, membantunya duduk.

“Ada yang sakit? Mau saya antar ke UKS?” tawar si pengawas.

Isvara menggeleng pelan, “Gak usah, Pak. Saya cuma kesandung.” Marina terkikik geli di belakang gerombolan yang mengelilingi Isvara.

Sungguh tindakan yang berani. Marina pasti sudah dendam kesumat mengingat dia nekat melukai Isvara di tengah-tengah kelangsungan ujian.

Tak peduli kalaupun ada pengawas. Walaupun ketahuan, dia mungkin akan beralasan tidak sengaja, dan melempar kesalahan pada Isvara karena tidak hati-hati saat berjalan.

Khalila berjongkok, memeriksa keadaan Isvara. Gadis itu pasti tengah menahan tangisnya. Isvara memang suka asal bicara dan seolah tak kenal takut. Namun sejatinya dia hanyalah remaja cengeng yang takut dihadapkan oleh masalah.

Lail menatap pilu Isvara yang dituntun Khalila dan Milda menuju kursinya.

Hari pertama ujian aja udah begini...

TBC

1
anggita
like👍☝iklan utk Lail.. moga novelnya sukses thor.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!