Dua Hati, Satu Takdir

Pendekatan Arga ke Maya akhirnya membuahkan hasil. Arga semakin dekat dengan Maya, meski hal itu membuat Mila merasa semakin jauh dari dirinya sendiri. Seiring dengan waktu, Arga memutuskan bahwa inilah saatnya untuk menyatakan perasaannya kepada Maya. Ia pun mengajak Mila, Farhan, dan Bima untuk merancang sebuah rencana yang tak akan dia lupakan.

Mereka bertiga, bersama Arga, sepakat untuk melakukan aksi di tengah lapangan basket, tempat di mana semuanya bermula. Pada hari yang telah ditentukan, setelah jam sekolah selesai, lapangan basket penuh dengan siswa yang berkumpul untuk menyaksikan latihan rutin mereka.

Arga, Mila, Farhan, dan Bima mulai bermain basket, terlihat seperti latihan biasa, tetapi mereka semua tahu bahwa ini adalah bagian dari rencana besar. Saat permainan berlangsung, Mila berpura-pura tidak sengaja melempar bola keras ke arah Arga. Bola itu mengenai kepala Arga, dan sesuai rencananya, Arga langsung jatuh menjatuhkan diri lalu berpura-pura pingsan di tengah lapangan. Semua orang yang menonton langsung terkejut, suasana menjadi riuh.

Maya yang sedang menonton di pinggir lapangan, langsung berlari mendekat. Ia memangku kepala Arga, dia terlihat panik dan cemas. Sementara itu, Mala melangkah mendekat dengan raut wajah yang terlihat panik. ingat ini hanya akting.

"Maya, kamu bisa nggak hati-hati sedikit kalau melempar bola?" kata Miya dengan nada tegas.

Mila yang sedang panik, mendengar teguran dari kembarannya itu, langsung terkejut. Dia tidak menyangka Maya akan memarahinya hanya karena insiden ini.

Namun, sebelum situasi semakin canggung, Arga perlahan membuka matanya. Dia tersenyum kecil melihat ekspresi khawatir Maya, lalu dengan perlahan ia bangkit, mengambil buket bunga yang sejak tadi disembunyikan Bima di belakang punggungnya.

“Maya…” Arga memanggil dengan lembut. Maya yang masih kaget dengan apa yang terjadi, hanya bisa terpaku saat Arga berdiri dan menyodorkan buket bunga itu kepadanya. "Maukah kamu jadi pacarku?"

Suasana di lapangan langsung berubah menjadi penuh antusiasme, semua orang mulai bersorak mendukung Arga. Maya yang terkejut dan merasa canggung, akhirnya mengangguk pelan sambil tersenyum.

Arga langsung menarik Maya dalam pelukan, sementara penonton di sekitar mereka bersorak semakin keras. Semua orang terlihat bahagia, kecuali satu orang. Mila yang berdiri agak jauh, menyaksikan semua itu dengan senyuman kecut di wajahnya. Meski senyum itu terlukis di bibirnya, hatinya terasa sakit melihat kebahagiaan yang dirasakan oleh kakak kembarnya dan orang yang diam-diam masih ia sayangi.

Namun, Mila tetap berusaha menunjukkan bahwa dia baik-baik saja. Meskipun di dalam hatinya, dia tahu bahwa sejak saat ini, semuanya akan berubah.

Setelah menerima buket bunga dari Arga dan menyadari bahwa semua ini adalah bagian dari rencana besar untuk menembaknya, Maya berbalik melihat ke arah Mila. Hatinya terasa sedikit bersalah karena telah memarahi Mila tadi, meski itu karena kecemasan yang mendalam terhadap Arga.

Maya berjalan mendekati Mila, meninggalkan Arga sejenak. “Mila,” Maya memanggil pelan, menatap kembarannya dengan mata penuh penyesalan.

Mila tersenyum tipis, berusaha menunjukkan bahwa dia baik-baik saja. “Apa?”

Maya menggigit bibirnya sebentar, lalu menarik napas dalam. “Maaf ya, tadi aku nggak sengaja marahin kamu. Aku cuma khawatir banget sama Arga, dan aku nggak tahu kalau semua ini ternyata rencana kalian.”

Mila mengangguk pelan, masih dengan senyum di wajahnya. “Gak apa-apa, Maya. Guw ngerti kok. Lagian, ini semua demi lo juga.”

Maya merasa lega mendengar jawaban Mila, tetapi di balik itu, dia juga bisa melihat bahwa ada sesuatu yang tidak sepenuhnya baik-baik saja dengan kembarannya. Namun, sebelum dia sempat bertanya lebih jauh, Arga sudah kembali mendekat dan meraih tangan Maya.

“Ayo, Maya, kita rayakan!” Arga berkata dengan semangat.

Maya menoleh sekali lagi ke arah Mila, memastikan bahwa adik kembarnya benar-benar baik-baik saja. Mila hanya mengangguk, memberinya isyarat untuk pergi bersama Arga. “Kamu pergi aja dulu, aku masih mau di sini sebentar.”

Dengan sedikit ragu, Maya akhirnya mengikuti Arga, meninggalkan lapangan bersama teman-temannya yang lain. Sementara itu, Mila berdiri di tengah lapangan yang mulai sepi, memandang ke arah mereka yang semakin menjauh.

Perasaan campur aduk mulai menghantui dirinya. Senyumnya perlahan memudar, dan hanya kesunyian yang tersisa di hatinya.