Tidak ada yang benar-benar hitam dan putih di dunia ini. Hanya abu-abu yang bertebaran. Benar dan salah pun sejatinya tak ada. Kita para manusia hanya terikat dengan moralitas dan kode etik.
Lail Erya Ruzain, memasuki tahun pertamanya di SMU Seruni Mandiri yang adalah sekolah khusus perempuan. Seperti biasa, semua siswi di kelas akan gengsi dan malu-malu untuk akrab dengan satu sama lain. Waktu lah yang akan memotong jarak antara mereka.
Hingga dia mengenal Bening Nawasena. Teman sekelas yang bagaikan salinan sempurna Lail saat SMP.
Drama pertama kelas dimulai. Siswi toxic mulai bermunculan.
Bagaimana Lail menghadapi semua itu?
"Menyesal? Aku gak yakin."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon アリシア, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CH.09 - Isvara VS Marina
Hari kedua ujian. Sejauh ini semuanya baik-baik saja, bahkan jauh lebih baik dari kemarin. Karena hari ini Marina tak berusaha mencelakai Isvara lagi. Di ruang 14 pun, kekacauan hanya terjadi di hari pertama, kakak kelas itu kini bertingkah seolah tak pernah ada apa-apa di antara dirinya dan Nylam. Menjengkelkan sekali.
“Hei, punya pulpen dua?”
Lail menoleh ke sampingnya ketika ada jari lentik yang mengetuk mejanya. Lail baru sadar jika ada siswi cantik di ruangan ini, dia terlalu fokus dengan pertikaian Isvara dan Marina. Dan siswi cantik itu hendak meminjam pulpen cadangannya.
“Ada, tapi bukan cair.”
“Gak apa-apa. Aku lupa beli pas pagi.” Gadis itu memasang senyum cantiknya.
Lail pun meminjamkan pulpennya.
Ujian hari ini berjalan damai, mungkin Tuhan mengabulkan doa Lail kemarin. Bukan hanya hari ini, tapi hari ketiga dan keempat pun dilalui Lail dengan aman sentosa. Marina dan gengnya tak menyentuh Isvara seujung kuku pun.
Dan yah, kedamaian itu akan berakhir di hari kelima ujian. Hanya ada satu mata pelajaran yang diujikan. Semua sudah selesai, pengawas sudah keluar sejak tadi. Tapi para siswi di ruang 9 masih beres-beres. Isvara dan Khalila adalah yang keluar ruangan pertama kali.
Namun, Marina menjulurkan tangannya, menghalangi mereka berdua untuk lewat. Isvara hendak menyentakkan tangan Marina, tapi langsung ditebas oleh teman Marina, Rima. Putri, anggota geng Marina yang satu lagi pun turut berjalan ke arah mereka. Khalila menatap awas.
“Minggir gak lo, kon**l!” perintah Isvara, dia mulai muak.
“Gak, sebelum gue berhasil nampar lo 100 kali. Plus, gue cakar muka lo sampe rusak.” Ancam Marina, dia menunjukkan sepuluh kukunya yang cukup tajam.
“Lo sebenernya ada masalah apa sih?! Mendadak nyenggol gue.” Isvara balas menatap sengit.
Akhirnya, para siswi yang ada di ruang 9 tak kunjung keluar. Beberapa ada yang merasa drama ini menarik, sisanya sekedar penasaran. Lail tergabung dalam kelompok yang penasaran. Plus, sulit baginya keluar karena jalan diblok dari mana-mana.
Marina terkekeh, “Lo itu udah rebut cowok gue, tau!”
“Gue boncengan sama dia tuh karena disuruh bareng sama mamahnya, gue mau nolak juga gak bisa–” Isvara membela diri, tak terima disebut orang ketiga oleh Marina, si sok cantik dari kelas 2-7.
“ALAH BACOT!”
Marina mengerang, maju selangkah. Kuku-kukunya ia arahkan pada wajah Isvara, bernafsu ingin menancapkannya ke wajah si orang ketiga ini. beruntung Isvara bertindak cepat, dia mundur kemudian mendorong Lail yang ada di dekatnya ke depan, untuk dijadikan tameng.
Geng Marina mengompori, sedangkan Khalila dan Milda mendorong kedua orang itu mundur. Badan mereka ditahan oleh siswi lain. Kelas 2-2 yang tak tahu akar masalah keduanya pun tetap harus turun tangan, menahan geng Isvara dan geng Marina dari saling menyerang.
Lail, yang berdiri di tengah antara Isvara dan Marina misuh-misuh sendiri. Matanya memandang ngeri ke kuku-kuku tajam milik Marina. Sepertinya gadis itu tak segan-segan untuk menancapkannya ke wajah Isvara, dan takkan merasa bersalah setelah itu. Lail takut kalau Marina salah sasaran dan kuku-kukunya malah melukai dirinya.
“ARGH! AWAS LO!” Marina menggila, dia menggeser Lail dengan kuat, tapi cengkeraman Isvara di bahu Lail lebih kuat lagi.
“MINGGIR!”
Sret!
Gerakan agresif Marina terhenti seketika. Ia tercengang, tak percaya dengan apa yang baru saja dia lakukan. Yang lain pun sama, mereka tak mampu berkata-apa, hanya membatu di posisi masing-masing. Marina menahan napas, mundur beberapa langkah.
Tes!
Lail memegangi lehernya yang tercakar oleh Marina. Kepalanya merunduk, darah segar menetes keluar dari celah jari yang memegang lehernya, jatuh mendarat di keramik kelas yang putih cemerlang. Lail mendongak, memandang syok Marina.
Marina mengangkat tangan kirinya, kuku-kuku jarinya yang bersih tanpa polesan cat, kini dipenuhi oleh merahnya darah. Tekstur darah yang kental serupa dengan cat. Marina mengalihkan pandangannya, seragam Lail yang bersih kini dikotori cairan merah itu juga.
Sekar, siswi kelas 2-2 baru tersadar dari keterkejutannya. Ia berlari melewati lorong menuju ke bawah, tempat di mana ruang guru berada. “Kara, Mawar, cepet panggil UKS!” Pinta Sekar pada kedua temannya. Kemudian ia berlari keluar ruangan hingga tak terlihat lagi.
Lengkara dan Mawar juga bergegas ke UKS, meninggalkan atmosfer berat di ruang 9. Tak ada yang bergerak. Isvara nampak syok. Lail berjongkok, rasa sakitnya tak seberapa, tapi dia benci melihat darahnya terus bercucuran. Ini jauh lebih parah dari saat ia dicakar oleh kucing.
Bedeb*h!
...****...
“Kamu kenapa, La?” Nylam, dengan raut wajah khawatir buru-buru mendekati Lail yang terbaring miring di ranjang UKS. Ekspresi Lail terbilang santai daripada yang Nylam pikirkan.
“Yo!” Lail menyapa santai Nylam dan Bening yang baru tiba di UKS setelah luka bekas cakarannya terobati.
“Kata Var kamu histeris, kenapa kayaknya enggak bener yah?” Bening melengos, pikirannya kalut saat mendengar berita ada keributan di ruang 9 dan siswi bernama Lail sampai harus dibawa ke UKS. Berita itu semakin menyeramkan kala Bening mendapati tetesan darah yang mengering di lantai ruang 9.
Lail mendengus, “Gara-gara ada yang rebutin cowok, aku juga yang kena. Aku histeris juga gara-gara ngeliat darah yang ngucur dari leherku sendiri, rasa sakitnya sih gak seberapa menurutku.” Lail menunjuk lehernya yang sudah dilapisi perban dengan jempolnya.
Nylam dan Bening saling bersitatap. Ternyata tak ada gunanya khawatir pada Lail. Anak ini malah berbaring santai di ranjang UKS. Di meja sebelahnya pun terdapat susu kotak dan dua bungkus roti selai stroberi.
“Aku juga takut awalnya, tapi untung kata pengurus UKS gak sampe robek urat nadinya. Jadi, santai aja.” Sambung Lail sambil mengedikkan kedua bahunya.
Nylam duduk di kursi samping ranjang Lail. Sedangkan Bening berdiri, ia bersimpati atas apa yang terjadi pada Lail. Lihatlah Lail, dia sampai takut menengok ke sebelah kanan, takut darahnya mengucur lagi. Berbanding terbalik dengan Nylam yang ingin memukulnya karena sudah membuat khawatir.
“Terus, itu anak dua belum ke sini?” tanya Nylam geram.
“Nah...” Lail mengibaskan tangannya.
Nylam mendecakkan lidahnya, “Gak tau diri.”
“Tapi Var bakal ngerasa bersalah banget deh sama kamu, La.” Ucap Bening.
“Iyalah, harus! Parah banget kalau enggak.” Cibir Nylam.
“Terus kamu bakal pulang kapan, La?” tanya Bening.
“Sekarang juga boleh, tapi aku izin ke pengurus UKS dulu. Bisa tolong bilangin gak, Nym? Beliau ada di ruang BK.” Pinta Lail. Dia memasukkan susu dan roti ke dalam tas yang dibawa Nylam dan Bening.
Nylam mengangguk, “Ning, jaga Lail dulu.” “Oke.”
...****...
Di ruang BK. Isvara dan Marina hanya berdiri sambil tertunduk dalam mendengarkan semua ocehan Bu Dea dan Bu Petris. Alasan keributan yang mereka buat sangatlah konyol, karena cowok. Nyaris saja Bu Petris meminta Kepala Sekolah langsung mengeluarkan mereka berdua.
Bu Petris sudah melihat leher Lail sebelum diobati. Meski kata pengurus UKS dia tak apa-apa, tapi itu tetap mengerikan untuk dilihat. Marina juga mencuci tangannya berkali-kali agar noda darah yang mengering hilang dari kuku-kukunya.
“Ini bukan perkara sepele. Pembinaan satu bulan saja tidak akan cukup membuat kalian tobat. Gimana kalau tiga bulan?” Bu Dea tersenyum manis pada Isvara dan Marina yang sudah keringat dingin sejak masuk ruang BK.
Keduanya tak bisa protes meski mendapat kertas keramat itu selama tiga bulan ke depan. Masih untung kasus ini tidak dibawa sampai ke jalur hukum. Dan Kepala Sekolah tidak turun tangan sendiri untuk menangani kasus ini. Isvara memainkan jari-jarinya gugup. Di satu sisi dia takut dihukum, sementara di sisi lain dia khawatir dengan keadaan Lail di UKS. Dia ingin segera ke sana untuk memastikan.
Krek! Pintu ruang BK terbuka. Seorang guru perempuan muda dengan jas putihnya memasuki ruangan. Dia adalah guru pengurus UKS, Bu Ava. Bu Ava melirik ke arah Isvara dan Marina, rupanya kedua gadis itu belum dipulangkan oleh Bu Dea juga Bu Petris. Mau kasihan pun tidak bisa, karena pasiennya di UKS lebih memprihatinkan.
Bu Ava berbisik pada Bu Dea, “Ada Ketua Yayasan.”
Bu Dea tersentak, begitu pula dengan Bu Petris yang mendengarkan dari jarak dekat. Kemungkinan terburuk daripada kasus ini diketahui oleh Kepala sekolah adalah Ketua Yayasan tahu. Bu Petris berjalan ke luar ruang BK dengan gelisah, diikuti oleh Bu Ava di belakangnya.
“Bu Ava!”
Tepat ketika panggilan itu terdengar, Bu Ava tidak mengikuti Bu Petris yang kalut mencari Ketua Yayasan di ruang Kepala Sekolah. Ia berbalik, ada siswi yang tergopoh-gopoh mengejarnya.
“Saya Nylam, Bu. Temannya Lail. Lail udah boleh pulang belum, Bu?” tanya Nylam sopan.
“Oh, tentu, nak. Ibu periksa dulu ke sana.”
Nylam mengangguk. Dia memandang ke dalam ruang BK lewat jendela yang tak ditutupi oleh gorden. Ada Isvara di sana, satunya Nylam tak tahu siapa. Tapi sepertinya itu adalah Marina yang banyak digosipkan oleh Lail dan Bening.
“Rasain!” caci Nylam.
...****...
Setelah diperiksa oleh Bu Ava, Lail bisa pulang. Nylam ke tempat parkir, sementara Lail dan Bening ke gerbang sekolah, menunggu angkot lewat. Karena cukup lama berada di UKS, banyak angkot sudah jalan, tak ada yang tersisa. Tidak lucu kalau Lain dan Bening pulang menaiki pick up.
Lail mengusap pelan bagian lehernya yang terluka, masih terasa sedikit perih. “Makanya aku gak suka orang yang kukunya panjang tuh begini, suka gak sadar tuh kuku bisa ngelukain orang lain.”
Bening mengangguk setuju. Dia rajin memotong kukunya di manapun. Tak heran gunting kuku di rumah selalu ia bawa ke mana-mana. Sekarang pun di saku bajunya ada gunting kuku.
“Lail...”
“ALAMAK!!!”
Lail terkejut setengah mati, Bening pun ikut tertular juga. Mereka menengok ke belakang, ternyata ada Isvara di sana, tentu dengan wajah memelasnya. Lail merotasikan bola matanya malas, anak ini menarik Lail ke dalam masalahnya, membuatnya punya bekas luka cakar, sekarang dia mau apa lagi?
“Gue minta maaf, La...” Isvara mulai terisak, hingusnya yang hampir nongol keluar dia hapus dengan kasar. Dia memeluk Lail paksa. Berbanding terbalik dengan badannya yang agak kurus, ternyata tenaganya boleh disandingkan dengan kudanil.
Lail memekik, sukar untuk bernapas. Bening yang melihatnya pun langsung menarik Lail keluar dari pelukan ganas Isvara. Namun Isvara merasa belum dimaafkan, jadi dia melawan balik Bening dengan mencengkeram kedua lengan Lail.
Di ambang batas napasnya. Lail, dengan napas tersengal berkata, “Iya... aku maafin, tapi lepas dulu!” Lail berontak keras.
Akhirnya Isvara melonggarkan pelukannya, Lail segera menjauhkan dirinya sebelum ada serangan pelukan lain. Dia menatap ngeri Isvara, di mana wajah menyedihkannya barusan? Sekarang gadis itu tersenyum sangat cerah setelah Lail memaafkannya (terpaksa).
“Sorry, La. Harusnya gue gak ngelibatin lo gitu aja.” Sesal Isvara, wajahnya tertunduk dalam.
Lail menyetujui dalam hati. Kenapa anak ini tidak menjadikan Khalila sebagai tameng tapi malah menariknya tanpa ragu? Mungkin Isvara berpikir Marina takkan nekat ingin mencakar wajahnya, ia kira itu hanya gertakan.
Tapi semua gertakan itu malah terjadi, Lail lah yang harus menanggung semuanya. Perban putih mengelilingi lehernya, di bagian yang tercakar perbannya agak mengembung karena dilapisi kapas.
Klakson motor terdengar, itu jemputan Isvara. Isvara pamit pulang lebih dulu. Lail tak menjawab, Bening yang menggantikannya. Saat motor yang menjemput Isvara sudah jauh, Lail mendengus kasar. Permintaan maaf yang memaksa, kalau begini akan semakin sulit bagi Lail memaafkannya.
“La! Ning!” panggil seseorang.
Bening mendongak ke kejauhan, Azara berlari ke arah mereka sangat cepat. Rupanya Azara pun belum mendapat angkotnya, yang arahnya berlawanan dengan angkot Lail dan Bening. Saat berlari, Azara hampir jatuh karena tersandung batu. Bening memandangnya jengah, Azara tidak banyak berubah bahkan semenjak dia selalu bersama dengan Welda.
“Lo gak apa-apa ‘kan, La?” tanya Azara khawatir.
Bening menunjuk leher Lail yang dilapisi perban putih dengan telunjuknya. “Menurut lo?”
Azara nyengir kuda. “Terus itu berapa lama sembuhnya?”
“Paling seminggu juga ilang, gak dalem-dalem amat cakarannya.” Jawab Lail.
“Hiiyy, ruang 9 sama 14 kayaknya ada aja masalahnya. Ruang 7 mah adem ayem aja yah, Ning?” Azara meminta dukungan Bening.
Bening mengangguk, sangat damai hingga hari terakhir.
“Gak usah pamer.” Sela Lail, hatinya masih tak terima karena satu ruangan dengan dua iblis pemuja cowok. “Masih bocah juga udah pacaran, cowoknya tau selingkuh lagi. Kagak ada yang bener anak zaman sekarang.”
Azara mengangguk kuat.
Lail menoyor kepala Azara, “Lah! Kamu juga sama aja. Emangnya aku gak inget kalau kamu dulu sering ngomongin si Jamal inilah, si Jamal itulah. Sampe muak aku.”
Azara terkekeh, Lail benar.
“Jamal?” tanya Bening.
“Crush dia waktu awal masuk sekolah, anak sekolah tetangga.” Lail menunjuk sekolah megah di depannya dengan dagu.
“Cieee, Zar...” Bening mulai menggoda.
“Apaan sih, Ning. Udah ketinggalan zaman, sekarang mah ada yang baru.” Elak Azara, tak terima kalau cinta bertepuk sebelah tangannya diungkit lagi oleh Lail. Jamal itu tukang PHP, fiks, no debat.
“Iya, gak dapet Jamal tapi dapet kakak kelasnya.” Lail ikut menggoda Azara. Tidak tahan saat tahu ternyata si pendek ini jauh lebih sepuh dari dirinya dan Bening soal percintaan.
“LAIL!” kesal Azara.
Lail dan Bening tertawa puas.
TBC