Tentang sebuah perasaan dan liarnya hati ketika sudah tertuju pada seseorang.
Rasa kecewa yang selalu menjadi awal dari sebuah penutup, sebelum nantinya berimbas pada hati yang kembali merasa tersakiti.
Semua bermula dari diri kita sendiri, selalu menuntut untuk diperlakukan menurut ego, merasa mendapatkan feedback yang tidak sebanding dengan effort yang telah kita berikan, juga ekspektasi tinggi dengan tidak disertai kesiapan hati pada kenyataan yang memiliki begitu banyak kemungkinan.
Jengah pada semua plot yang selalu berakhir serupa, mendorongku untuk membuat satu janji pada diri sendiri.
”tak akan lagi mencintai siapapun, hingga sebuah cincin melekat pada jari manis yang disertai dengan sebuah akad.”
Namun, hati memanglah satu-satunya organ tubuh yang begitu menyebalkan. Untuk mengendalikannya, tidaklah cukup jika hanya bermodalkan sabar semata, satu moment dan sedikit dorongan, sudah cukup untuk mengubah ritme hari-hari berikutnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lu'lu Il Azizi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
7. Percaya
Beberapa hari terakhir, Aku merasa menang melawan perasaanku. Tentang Ain, Aku memaksakan diri untuk tidak mencaritahu dengan cara terus menyibukkan diri, Vika sampai heran.”kesambet setan apa Kau.”itulah kata yang Dia lontarkan padaku. Gudang terlihat bersih, ruang tamu, sekaligus kamarku pun juga rapi. Bagian paling berat adalah ketika Ain membuat SW, jari dan pikiranku seakan menjadi tak sinkron.
”jangan lihat El.”lalu di sisi lain.”ayo lihat El. Siapa tau statusnya adalah sebuah isyarat untukmu.”selalu seperti itu isi pikiranku.
“hari ini, Laksa bakal nginep atau pulang El.”ku baca pesan dari Vika, meski kami berada dalam satu atap, cuma berada pada sekat bangunan yang berbeda.
”keliatannya pulang.”balasku seraya menempelkan stiker pada botol beraroma Donny red di gudang bersama Laksa.
“selesai ini, apa lagi tugas kita mas?”Laksa bertanya, dia fokus menempelkan stiker dengan hati-hati. Hanya tinggal beberapa botol lagi yang belum terpasang.”santai, istirahat dulu, nanti jam dua baru kita kirim barang.”mataku memandang layar HP, bersiap membalas chat Vika lagi.”tanyakan sendiri sama orang nya.”langsung centang biru, tapi tak ada tanda-tanda dia akan membalas.
“kalau mau istirahat jangan lupa makan dulu, aku mau mandi.”pesanku pada Laksa sebelum beranjak dari posisi, membuka jendela gudang untuk sirkulasi udara.
”oke mas.”Laksa membersihkan bekas sampah stiker, lalu mengambil sapu untuk sekalian bersih-bersih.
Selesai membersihkan diri, aku lihat Laksa tidak ada di gudang maupun di ruang tamu. Ternyata dia sedang asyik bergurau dengan Vika di depan, duduk bersebelahan pada karpet yang berada di antara etalase letter L, tempat merebahkan diri ketika sepi pembeli.
“lahhh, teryata disini kau.”Aku mengagetkan mereka berdua.
”iya mas. Bosen di gudang, mau tidur juga gak bisa.”jawab Laksa sambil menikmati gado-gado, pantas saja makanan di meja belakang masih utuh. Pikirku.
“jatahmu El.”Vika menyela, menunjuk pada sebungkus gado-gado yang masih terbungkus, tentu saja aku tidak menolak. Tumben sekali Vika cepat akrab dengan cowok yang baru dia kenal, pikirku dalam hati sembari mulai menyantap makan siang.
“Reno kemana Vik. Tumben, lama gak absen.”aku menyela obrolan mereka berdua, raut wajah Vika berubah.”sibuk, katanya jadwal lembur padat.”jawabnya singkat.
Sepertinya mereka sedang berantem. Lagi, pikiranku menerka.
Namun, karena berantem sudah menjadi kebiasaan mereka, jadi Aku tak terlalu ambil pusing.
Sehabis makan Aku mengajak Laksa kirim barang ke salah satu cabang toko kami, tidak banyak obrolan yang terjadi saat dalam perjalanan, kami sama-sama asyik mendengarkan lagu dan sesekali ikut bersenandung asal. Sesampai nya di tujuan Laksa lebih banyak diam dan hanya memperhatikan, ke dua matanya sibuk mengamati jenis prodak kami, sesekali dia bertanya mana produk buatan sendiri lalu mana yang pembuatannya paling sulit, dari hari pertama masuk kerja aku merasa laksa memiliki etos kerja yang bagus. Semoga saja dia juga cepat beradaptasi.
***
Aku sedang menuju ke rumah Bos dengan motor vario putih, Dia menyuruhku datang, cuma itu perintah darinya, tidak menjelaskan secara rinci.
Untuk suasana hatiku saat ini, cukup tenang. Kesibukan mampu mengabaikan rasa penasaranku tentang Ain, setidaknya untuk sekarang. Beberapa hari ini Ain juga tidak terlihat membuat SW, kesibukannya mungkin juga sedang mengantri.
Rumah bosku berada di kawasan perumahan, terletak di deret paling depan. Aku melihat ada mobil yang sudah terparkir di depan rumahnya, ku parkir motor tepat di belakang mobil tamu itu.
”assalamualaikum.”aku berdiri tepat di depan pintu yang sudah terbuka.
”Ali, masuk.”suara khas bosku, berat sedikit serak. Pak bos selalu memanggil ku dengan nama Ali.
Aku tak pernah bosan mengamati ruang tamu rumah ini, tidak besar namun pas untuk di lihat. Sofa satu set warna cokelat di atas karpet tebal bermotif bunga warna merah tua, lalu beberapa lukisan terpajang di dinding warna putih, plafon bertema sarang laba-laba di lengkapi lampu-lampu LED dengan nyala redup, dan terakhir aquascepe ukuran sedang yang berada di atas meja khusus di tambah beberapa pot bunga di sekitarnya, menyempurnakan pandangan mata.
Aku duduk di sebelah pak Bos, kami saling tegur sapa sebentar. Di depanku, ada bapak-bapak usia sekitar 55 tahun, celana pendek serta kaos oblong warna putih. Santai, namun aura elegan beliau begitu terasa, pak Herman adalah namanya.
Bosku kembali melanjutkan pembicaraan yang sempat terhenti karena kedatanganku, juga bicara tentang tujuannya menyuruhku datang. Pak Herman berencana ingin melakukan kerja sama, menyediakan lokasi strategis lengkap dengan segala hal yang di perlukan, lalu tugas kami adalah menyuplai barangnya.
Aku lebih banyak mendengarkan, hanya sesekali mengutarakan pendapat. Mengamati cara bosku menjelaskan juga menyimak pertanyaan pak Herman yang penuh bobot. Beberapa kali Aku menelan ludah, kagum dengan dua orang hebat yang sedang berdiskusi. Tentang strategi, operasional, cara kerja, dan juga pembagian hasil. Banyak sekali hal baru yang ku dapat malam ini. Pandanganku terus fokus, mengikuti sumber suara yang keluar dari dua bapak ini secara bergantian.
Diskusi mereka terhenti sejenak ketika Pak Herman ijin keluar, guna mengangkat telpon yang baru saja berbunyi.
”mau aku kenalin sama anak pak Herman?”tanya bosku saat pak Herman beranjak keluar menuju teras. Cuma senyum simpul yang ku tunjukan, tanpa minat memberi sebuah jawaban, si Bos pasti sedang bercanda. Aku sudah sering jadi korban candaannya.
Tidak berselang lama pak Herman kembali duduk di tempat semula, meneguk kopi yang sudah mulai dingin.”siapa tadi namamu?”pak Herman mengarahkan pandangan padaku.”ghozali pak.”jawabku lirih.
”kapan-kapan Aku akan datang kesana, melihat bagaimana cara produksinya.”suara pak herman besar, tegas dan terasa menekan. Aku menjawabnya lirih, dengan sedikit mengangguk. Entah hanya perasaanku atau apa, tapi Aku merasa seperti sedang diperhatikan, aku menjadi salah tingkah sendiri. Beberapa kali beliau memberi ku pertanyaan di luar masalah kerja, beberapa kali pula beliau tertawa karena jawaban kaku dan segan ku.
Pukul 20.12 aku sedang perjalanan untuk kembali ke toko sehabis pulang dari rumah pak Bos, mulai membayangkan kerangka kasar di dalam otak, persiapan apa saja yang harus di segerakan, melaju santai melewati jalur utama kota ini. Saat melintasi taman, penjual kopi dan jajanan basah memanjang di pinggir trotoar, tempat familiar untuk anak muda ngopi, menghabiskan waktu luang.
Sepintas Aku seperti melihat wajah Ain, duduk di antara teman-temannya lebih dari 10 orang, cewe dan cowok duduk secara random. Tentu saja aku kaget dan tanpa mematikan mesin, aku menghentikan laju motor untuk memastikan. Benar saja, itu adalah Ain. Mendadak dadaku terasa terhimpit sesuatu. Sesak.
Di Kirinya cewek namun di sebelah kanan Ain, jelas itu cowok! Seminggu lebih Aku sudah merasa mampu menahan diri, menekan setiap penasaranku. Namun, satu moment saja sudah cukup untuk membuat hatiku berontak lagi. Bahkan lebih.
Aku melirik jam pada HP lalu kembali memandang ke arahnya penuh dengan pertanyaan, seingat ku pukul 20.00 adalah batas akhir untuk santri putri dan pukul 21.00 jika sudah mendapat ijin khusus karena hal penting. Entah karena peraturan yang sudah ku ketahui atau karena cemburu, yang jelas ingin sekali aku menghampirinya. Kesal!
Sudah hampir habis sebatang rokok dan aku masih dalam posisi sama, menahan kesal.”kau sedang dimana.”pesan sudah ku ketik namun urung untukku kirim, aku ragu.
Mencoba menguatkan logika ku, mengesampingkan cemburu.”ayolah El! Percayalah, kau tau siapa Ain, dia pasti punya alasan. Jangan rusak agendanya.”ku buang nafas panjang bersamaan dengan hisapan rokok terakhir. Akhirnya aku memilih menyalakan kembali mesin motor, melaju dengan pelan untuk bersiap pulang.
Baru sekitar 20 meter aku melintasi tempat Ain dan juga teman-temanya, dering HP dalam tas kecilku berbunyi, kembali aku menghentikan motor dan segera mengangkat panggilan.