"Tlembuk" kisah tentang Lily, seorang perempuan muda yang bekerja di pasar malam Kedung Mulyo. Di tengah kesepian dan kesulitan hidup setelah kehilangan ayah dan merawat ibunya yang sakit, Lily menjalani hari-harinya dengan penuh harapan dan keputusasaan. Dalam pertemuannya dengan Rojali, seorang pelanggan setia, ia berbagi cerita tentang kehidupannya yang sulit, berjuang mencari cahaya di balik lorong gelap kehidupannya. Dengan latar belakang pasar malam yang ramai, "Tlembuk" mengeksplorasi tema perjuangan, harapan, dan pencarian jati diri di tengah tekanan hidup yang menghimpit.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Esa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34: Bahagia Selamanya
Akhirnya, setelah melalui berbagai rintangan dan perdebatan yang melelahkan, Afik dan Sijum menemukan jalan kembali ke satu sama lain. Cinta yang sempat terancam mulai menguat lagi, dan mereka berdua berkomitmen untuk menjaga hubungan ini dengan sepenuh hati.
Hari-hari mereka dipenuhi dengan kebahagiaan yang tulus. Afik berusaha keras untuk membuat Sijum merasa dicintai dan dihargai. Setiap pagi, dia selalu menyiapkan sarapan untuk Sijum, memberikan kejutan kecil, atau sekadar mengajak istrinya berbicara tentang mimpi dan harapan mereka ke depan. Sijum, yang dulunya ragu, kini merasa tenang dan bahagia melihat usaha suaminya.
“Mengapa kamu tiba-tiba begitu perhatian?” tanya Sijum di suatu pagi, saat mereka sarapan bersama.
Afik tersenyum, “Karena aku ingin kamu tahu betapa berartinya kamu bagiku. Aku tidak ingin kehilanganmu lagi.”
Sijum merasakan hangatnya cinta dalam setiap kata yang diucapkan Afik. Dia tahu bahwa pernikahan mereka mungkin tidak sempurna, tetapi dengan saling pengertian dan cinta, mereka bisa mengatasi segala rintangan.
Suatu hari, mereka memutuskan untuk pergi berlibur ke pantai, tempat di mana mereka pertama kali menghabiskan waktu bersama sebagai pasangan. Suasana cerah dan ombak yang berdebur membawa kembali kenangan manis. Sijum dan Afik berjalan berdua di tepi pantai, tangan mereka saling menggenggam erat.
“Lihat, betapa indahnya dunia ini ketika kita bersama,” kata Sijum sambil tersenyum, matanya bersinar bahagia.
“Iya, tidak ada yang lebih indah daripada bersamamu,” jawab Afik, memandang Sijum dengan penuh cinta.
Mereka berbagi tawa dan cerita, menikmati setiap momen yang ada. Saat senja mulai merunduk, mereka duduk di pasir, saling menatap, dan berbagi harapan untuk masa depan.
“Aku ingin kita bisa melalui semua ini dan hidup bahagia selamanya,” ujar Sijum dengan tulus.
Afik mengangguk, “Aku berjanji, kita akan bersama, tidak peduli apa pun yang terjadi. Sampai di surga, kita akan terus mencintai satu sama lain.”
Mereka saling berpelukan, merasakan kedamaian yang dalam. Saat itu, mereka tahu bahwa cinta mereka telah melalui banyak cobaan, namun semakin kuat dan lebih indah.
Kembali di rumah, kehidupan mereka pun semakin harmonis. Afik dan Sijum saling mendukung dalam segala hal, baik dalam pekerjaan maupun dalam rumah tangga. Mereka seringkali menghabiskan waktu berkualitas bersama, entah itu memasak, menonton film, atau sekadar bercanda tawa.
Seiring waktu, cinta mereka semakin mendalam. Sijum mulai merencanakan untuk memiliki anak, dan Afik tidak bisa lebih bahagia lagi dengan ide tersebut. Mereka mulai mempersiapkan segala hal untuk menyambut anggota baru dalam keluarga mereka.
“Siapa tahu, kita bisa memiliki anak laki-laki dan perempuan,” kata Sijum dengan penuh semangat.
Afik tersenyum lebar, “Apa pun yang kita miliki, yang penting adalah kita akan melakukannya bersama.”
Dengan cinta yang tulus dan komitmen yang kuat, Afik dan Sijum siap menghadapi masa depan. Mereka berjanji untuk selalu ada satu sama lain, untuk saling mencintai dan menghargai, hingga akhir hayat mereka. Bahagia selamanya, hingga di surga.
Mereka tahu bahwa kehidupan tidak selalu sempurna, tetapi dengan saling mendukung dan mencintai, mereka bisa mengatasi segala sesuatu yang menghadang. Dan di sinilah kisah mereka dimulai—sebuah perjalanan cinta yang abadi.
Sementara Afik dan Sijum menikmati kebahagiaan mereka, di sisi lain, Lily si tlembuk cantik merasakan kerinduan yang mendalam. Sudah beberapa minggu berlalu sejak terakhir kali ia berhubungan dengan Afik. Hubungan yang sempat membuatnya bersemangat kini terasa hampa.
“Kenapa dia tidak pernah menghubungiku lagi?” pikir Lily sambil merenung di kamarnya yang kecil dan sederhana. Ia mengenang momen-momen indah saat bersama Afik, saat mereka bercanda dan berbagi tawa. Dia merasa terasing, seolah Afik telah melupakan keberadaannya.
Di tengah kesedihan itu, Lily berusaha untuk tidak menunjukkan kelemahannya kepada teman-temannya. Bersama Dinda dan Tika, ia berusaha tampil ceria dan tetap bersosialisasi, meskipun hatinya terasa berat.
“Lily, kamu kenapa? Kok kelihatan murung?” tanya Dinda saat mereka sedang duduk di sebuah kafe.
“Enggak apa-apa,” jawab Lily, meskipun senyumnya terlihat paksa. “Hanya saja... aku kangen sama Afik.”
Tika menyentuh bahu Lily, “Coba deh kamu hubungi dia. Enggak ada salahnya, kan?”
Lily mengangguk, tetapi keraguannya menghambatnya. Dia takut jika Afik sudah melupakan dirinya. Akhirnya, Lily memutuskan untuk mengirim pesan singkat.
“Afik, sudah lama kita tidak berbicara. Apa kabar?”
Setelah mengirim pesan itu, Lily menunggu dengan cemas. Dia berharap Afik akan membalas, tetapi seiring waktu berlalu, pesan itu tak kunjung terjawab.
Di sisi lain, Afik yang tengah menikmati kebahagiaan rumah tangganya dengan Sijum, sebenarnya juga merasa sedikit bersalah karena tidak menghubungi Lily. Namun, fokusnya kini sepenuhnya tertuju pada Sijum dan masa depan mereka.
Ketika Sijum mendapati Afik terlihat sedikit resah, ia bertanya, “Ada yang mengganggu pikiranmu?”
Afik menghela napas, “Aku cuma... merasa seperti ada yang tertinggal.”
Sijum menatapnya, “Maksudmu?”
“Aku merasa sedikit bersalah karena tidak menghubungi Lily,” ungkap Afik. “Tapi aku juga tidak ingin mencampuri urusan lama.”
Sijum mengangguk, “Kadang kita memang harus melepaskan masa lalu agar bisa melangkah maju. Tapi kalau itu mengganggu pikiranmu, tidak ada salahnya untuk memberinya kabar.”
Akhirnya, setelah berjuang melawan rasa bersalah dan keraguannya, Afik memutuskan untuk mengirim pesan kepada Lily. Dia ingin menjelaskan situasinya dengan Sijum dan bahwa hidupnya telah berubah.
“Hai Lily, maaf aku sudah lama tidak menghubungimu. Saat ini aku sedang sibuk dengan keluargaku. Semoga kamu baik-baik saja.”
Lily yang melihat pesan itu langsung merasakan campur aduk antara bahagia dan sedih. Dia segera membalas, “Aku baik-baik saja. Cuma kangen sama kamu. Semoga kamu bahagia dengan pilihanmu.”
Afik merasa hatinya berat saat membaca pesan itu. Dia tahu bahwa Lily merasakan kesedihan yang sama, tetapi keputusan untuk melanjutkan hidup dan fokus pada keluarganya adalah yang terbaik saat ini.
Malam itu, setelah berkomunikasi dengan Lily, Afik berusaha menenangkan pikirannya. Dia berfokus pada Sijum dan merencanakan masa depan mereka. Namun, dalam hati kecilnya, dia tahu bahwa hubungan dengan Lily akan selalu menjadi bagian dari kisah hidupnya.
Lily pun akhirnya menyadari bahwa meskipun cinta mereka tak berlanjut, dia harus belajar untuk melepaskan dan menemukan kebahagiaan sendiri.
Dengan semangat baru, Lily mulai mengeksplorasi minatnya dan fokus pada karirnya. Dia mengambil kelas seni, bergabung dengan komunitas kreatif, dan bertemu banyak orang baru. Meskipun hatinya masih menyimpan sedikit rasa sakit, dia tahu bahwa hidup harus terus berjalan.
Dan begitulah, meskipun Afik dan Lily masing-masing menjalani jalan hidup yang berbeda, mereka berdua tetap menjaga harapan bahwa kebahagiaan akan datang dalam bentuk yang lain, di waktu yang tepat.
Kehidupan mereka, meskipun terpisah, menunjukkan bahwa cinta, meskipun berakhir, tetap bisa memberi pelajaran berharga dan harapan untuk masa depan.
Akhirnya, Lily mencoba move on dari Afik, namun hidup sebagai seorang tlembuk tidak mudah. Dia kembali ke rutinitasnya, mangkal di tempat yang sama dan menunggu pelanggan yang datang. Meski begitu, di dalam hatinya, masih ada rasa sepi setiap kali dia mengingat Afik. Dia berusaha untuk tidak memikirkan pria itu, tetapi bayang-bayangnya selalu kembali menghantui.
Sambil berusaha melupakan, Lily juga menghabiskan waktu dengan Dinda dan Tika. Mereka sering bercanda dan menggoda para pelanggan yang lewat. Dalam pergaulan, Lily mencoba untuk tetap ceria, meski di dalam hati ada kesedihan yang tak kunjung reda.
Suatu malam, saat mereka sedang duduk di pinggir jalan, Dinda bertanya, “Lily, kenapa kamu kelihatan melamun terus? Masih mikirin Afik, ya?”
“Gak, sih,” jawab Lily, berusaha terdengar percaya diri. “Aku hanya lagi mikirin masa depan.”
“Eh, kamu jangan sampe ngerasa kosong gitu. Kita bisa cari cowok baru, kan?” Tika menambahkan, sambil tertawa.
“Ya, mungkin,” kata Lily, meski dia tahu tidak semudah itu.
Sementara itu, Afik menjalani hidupnya dengan Sijum. Meski mereka telah berdamai, kadang-kadang bayang-bayang masa lalu mengintip di antara mereka. Afik berusaha sebaik mungkin untuk menunjukkan cintanya kepada Sijum, berjanji untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama.
Suatu malam, saat sedang duduk berdua di ruang tamu, Sijum bertanya, “Mas, pernahkah kamu menyesali hubunganmu dengan Lily?”
Afik terdiam sejenak, memikirkan jawabannya. “Mungkin aku pernah merasa senang, tapi aku tahu bahwa sekarang aku di sini karena pilihan yang tepat. Kamu adalah yang terpenting bagiku.”
Sijum tersenyum, “Ya, kita harus terus maju dan tidak membiarkan masa lalu mengganggu kita.”
Di sisi lain, Lily mencoba mencari hiburan dengan teman-temannya di dunia malam. Dia menerima tawaran untuk menemani beberapa pelanggan dan menikmati waktu bersenang-senang meski di dalam hatinya, ada rasa yang sulit dihapus.
Hidup Lily sebagai tlembuk membuatnya harus beradaptasi dengan berbagai situasi. Dia sering menghadapi komentar miring dan tantangan dari pelanggan, tetapi dia berusaha untuk tetap tegar. Setiap kali ada yang mencoba menggoda, dia akan tersenyum dan bermain-main, meski hatinya kosong.
Sementara itu, Afik dan Sijum perlahan-lahan membangun kebahagiaan mereka kembali. Mereka belajar untuk saling percaya dan mendukung satu sama lain. Dalam perjalanan ini, mereka menyadari bahwa cinta tidak hanya tentang perasaan, tetapi juga tentang usaha dan pengorbanan untuk menjaga satu sama lain.
Dengan cara yang berbeda, baik Lily dan Afik melanjutkan hidup mereka. Lily tetap beraktivitas sebagai seorang tlembuk, sementara Afik berusaha menjadi suami yang baik. Meskipun jalur mereka terpisah, baik Lily dan Afik belajar bahwa kebahagiaan itu harus dicari, dan setiap orang memiliki perjalanan masing-masing menuju kebahagiaan selamanya.
Para tlembuk cekakakan keras sekali sampai terdengar ke manapun. Di tempat mangkal mereka, Lily, Dinda, dan Tika terlihat asyik berbincang sambil menggoda para pengendara yang lewat. Suara tawa mereka nyaring, menciptakan suasana ceria di tengah malam.
“Eh, Dinda, kemarin kamu baper banget ya sama si Andi?” Tika menggoda, memeluk Dinda sambil tertawa. “Kok sampai bisa minta nomor WA-nya sih?”
Dinda merona, “Iya, tapi dia justru lebih suka sama Lily, deh! Coba lihat, semua cowok pada melirik kamu.”
“Jangan salahkan aku!” Lily menimpali, sambil menyeringai. “Mereka yang terlalu fokus!”
Tawa mereka menggema, menciptakan gelak tawa yang menular. Di antara percakapan penuh humor, mereka berusaha melupakan rasa kesepian yang kadang menghampiri.
“Btw, besok kita mau ke mana? Ada yang mau ngajak kencan?” Tika bertanya, matanya bersinar penuh harapan.
“Aku sih pengin ke tempat baru, denger-denger ada cowok baru yang lagi hits!” Dinda menjawab.
Sementara itu, Lily berusaha menunjukkan bahwa dia baik-baik saja, meski di dalam hatinya masih ada kerinduan yang membekas. “Ya udah, kita coba saja! Siapa tahu ada yang lebih baik dari si Afik.”
Dinda dan Tika mengangguk setuju, bersemangat untuk menjelajahi malam dengan tawaran baru. “Yang penting kita harus seru-seruan! Lupakan masalah!”
Lily tersenyum, merasakan semangat baru dari teman-temannya. Sementara itu, di balik tawa dan canda, ada harapan yang perlahan tumbuh dalam dirinya, meskipun bayangan Afik masih sesekali mengganggu pikirannya.
Di sisi lain, Afik dan Sijum yang sedang duduk di sofa, mendengarkan berita di televisi. “Kamu tahu, kan, banyak orang yang berjuang untuk kebahagiaan mereka,” kata Afik, berusaha membangun percakapan yang lebih dalam.
“Iya, Mas. Kita juga harus selalu berusaha agar tidak kehilangan satu sama lain lagi,” jawab Sijum, matanya berbinar.
“Apapun yang terjadi, aku akan selalu di sini untuk kamu,” Afik berjanji, mengingat semua kesalahan yang pernah ia buat.
Dengan harapan baru dan semangat untuk melanjutkan hidup, baik Lily maupun Afik melangkah ke depan. Mereka mungkin berada di jalur yang berbeda, tetapi keduanya berusaha menemukan kebahagiaan dalam cara mereka masing-masing. Para tlembuk terus bersenang-senang, menciptakan kenangan dan tawa yang tak terlupakan, sementara Afik dan Sijum berusaha untuk memperkuat hubungan mereka dengan cinta dan pengertian.
Para tlembuk mangkal mencari pelanggan sambil udud Sampoerna mild menthol. Di sudut gang, asap rokok mengepul ke udara, menciptakan suasana santai di malam yang cerah. Lily, Dinda, dan Tika tertawa lepas, berusaha menarik perhatian setiap pria yang melintas.
“Eh, Dinda, lihat cowok itu! Ganteng, ya?” Tika berbisik sambil menunjukkan seorang pemuda yang berjalan mendekat. “Kita harus sapa dia!”
Dinda mengangguk setuju, dan Lily mengambil inisiatif. “Sini, Mas! Mau mampir sebentar?” serunya dengan nada genit sambil menggigit bibir.
Cowok tersebut tersenyum, mendekat dengan rasa ingin tahu. “Mau ngapain di sini, ladies?”
“Menunggu pelanggan,” jawab Lily, menambahkan sedikit godaan. “Kamu bisa jadi pelanggan spesial kita.”
Kedua temannya tertawa geli melihat keberanian Lily. Suasana menjadi semakin hidup, dan kedekatan dengan pelanggan baru itu membuat mereka semakin semangat.
Sementara itu, para tlembuk saling bertukar cerita tentang pengalaman mereka. “Aku kemarin dapat pelanggan yang lumayan baik, ngajak makan enak!” Dinda bercerita, memamerkan wajah bahagianya.
“Aku juga! Cuma sayangnya dia enggak mau bayar lebih. Untung aku punya jurus jitu!” Tika menimpali sambil terkekeh.
Lily mengangkat alisnya. “Jurus jitu? Apa itu? Bagi-bagi dong!”
“Gampang, tinggal pasang muka memelas dan pura-pura enggak enak badan. Mereka biasanya langsung luluh,” jawab Tika sambil tertawa.
Malam semakin larut, dan para lelaki mulai berdatangan, tertarik oleh keramaian dan kecantikan para tlembuk. Lily merasa semangat, mengingatkan dirinya untuk terus melangkah meskipun bayangan Afik masih kadang menghantui pikirannya.
Sementara itu, di dalam hati Lily, ada keinginan untuk menemukan cinta baru, yang bisa menggantikan rasa sepinya. Dia berharap bisa bertemu seseorang yang bisa memahami dan menerima dia apa adanya.
Di sisi lain, Afik dan Sijum, yang sedang menikmati malam mereka dengan secangkir kopi, berusaha memperbaiki komunikasi mereka. “Kita harus saling jujur, ya. Enggak ada lagi yang disembunyikan,” ujar Afik, menatap Sijum dengan tulus.
“Iya, Mas. Aku ingin kita bisa saling percaya lagi,” jawab Sijum, memberikan senyuman yang penuh harapan.
Kehidupan mereka mungkin berbeda, tetapi setiap karakter dalam cerita ini terus berjuang untuk menemukan kebahagiaan dan cinta sejati, mengingatkan kita bahwa di balik segala kesulitan, ada harapan yang selalu menanti.
Lily menyemprotkan parfum menggoda di leher dan pergelangan tangannya, aroma manisnya menyebar ke udara, membuatnya semakin terlihat menarik di mata para lelaki yang melintas. Dengan kaos ketat dan rok mini, Lily tahu betul cara menarik perhatian.
“Coba deh, ini parfum terbaru yang aku beli,” ujarnya kepada Dinda dan Tika, sambil memperlihatkan botol parfum berwarna pink yang cantik. “Bikin siapa pun jatuh cinta!”
Dinda mencium aromanya dan mengangguk setuju. “Wah, ini wangi banget! Pasti banyak yang mendekat kalau kamu pakai ini.”
“Pasti!” balas Lily, sambil tersenyum lebar. Dia merasa percaya diri dan siap untuk menjalani malam yang penuh potensi.
Tak lama kemudian, seorang pria paruh baya melintas, dan Lily segera memanggilnya. “Sini, Mas! Mau ngobrol sebentar?” Dengan senyum menawan dan gerakan menggoda, dia berhasil menarik perhatian pria itu.
Pria tersebut berhenti dan mendekat, menatap Lily dengan penuh minat. “Malam, cantik. Lagi mangkal ya?”
“Iya, Mas. Lagi nyari teman buat ngobrol,” jawab Lily sambil menggoyangkan rambutnya yang terurai indah. “Kamu mau join?”
Tika dan Dinda melihat dengan penuh rasa bangga. “Lily memang jagoan dalam hal ini,” bisik Dinda kepada Tika.
Lily terus menggoda pria tersebut, bertanya-tanya tentang pekerjaannya dan kehidupan sehari-harinya. Dia tahu betul bagaimana cara membuat seseorang merasa nyaman dan terlibat dalam percakapan yang menyenangkan. Sementara itu, aroma parfum yang menggoda semakin membuat suasana semakin intim.
Di sudut lain, Tika dan Dinda juga mencoba mendekati pelanggan mereka sendiri. “Eh, Dinda, lihat cowok itu! Kayaknya tajir, deh!” seru Tika sambil menunjuk ke arah seorang pemuda yang baru keluar dari mobil mewah.
Mereka berdua pun segera menghampiri pemuda itu. “Hai, Mas! Mau kenalan?” sapa Dinda dengan senyuman manis.
Seiring dengan keramaian malam itu, para tlembuk sibuk mencari pelanggan sambil meramaikan suasana. Lily yang semakin nyaman bercengkerama dengan pria di hadapannya merasakan bahwa hidupnya sebagai seorang tlembuk memberikan kesenangan tersendiri, meskipun tidak selalu mudah.
Di lain pihak, Lily pun mulai merenungkan masa depannya. Dia tahu dia harus bergerak maju, dan menemukan jalan terbaik untuk kebahagiaannya sendiri. Mungkin, di balik semua kesenangan malam ini, ada harapan baru yang menantinya di depan.
Ketika tawa dan candaan bergema di malam yang cerah, semua karakter ini berjuang untuk menemukan tempat mereka di dunia yang penuh warna ini, masing-masing dengan cara mereka sendiri.
Lily berdiri di sudut gang yang ramai, suaranya menggoda dan penuh pesona saat dia berbicara dengan seorang pria yang baru mendekatinya. “Malam ini kamu mau kencan sama aku, kan? Enak lho, kita bisa ke tempat yang cozy,” katanya sambil menggoyangkan pinggulnya sedikit.
Pria itu tersenyum lebar, menunjukkan ketertarikan yang jelas. “Tentu saja! Tapi, harganya berapa, ya?”
Lily mengedipkan matanya dan berusaha tampil percaya diri. “Kalau untuk semalam, aku biasa ambil 700 ribu. Kamu pasti puas,” jawabnya, sambil memperlihatkan senyuman yang manis.
Pria itu tampak berpikir sejenak. “Hmm, boleh juga. Tapi, ada diskon khusus untuk kencan pertama?” Dia terlihat sangat menikmati percakapan ini.
“Diskon? Hmm, kalau kamu mau yang spesial, bisa aku kasih harga 600 ribu saja. Gimana?” Lily menjawab, dengan nada menggoda yang tak bisa ditolak.
“Setuju! Ayo, kita langsung pergi!” Pria itu tak sabar dan segera mengeluarkan dompetnya, mengeluarkan uang tunai yang dibutuhkan.
Lily tersenyum puas, merasa senang dengan negosiasi ini. “Yuk, ke mobilku!” ajaknya sambil melangkah pergi, menoleh ke belakang untuk memastikan pria itu mengikutinya.
Sementara itu, Tika dan Dinda yang sedang menunggu di dekat tempat mereka mangkal, menyaksikan momen ini dengan rasa bangga. “Lihat Lily, dia memang tahu cara bernegosiasi,” kata Dinda.
“Kalau kita juga perlu berusaha lebih, biar dapat pelanggan seperti itu,” balas Tika sambil mengedarkan pandangannya ke arah lelaki lain yang melintas.
Lily melangkah ke arah mobil pria itu dengan langkah percaya diri, berpikir tentang malam yang penuh kemungkinan di depannya. Dia tahu bahwa dunia ini mungkin keras, tetapi dia selalu bisa menemukan cara untuk membuat hidupnya menyenangkan dan menguntungkan.
“Jadi, kita mau kemana, Mas?” tanya Lily dengan senyuman, menatap pria itu dengan tatapan yang menggoda.
“Ke hotel yang dekat sini, ya. Semoga malam ini menyenangkan,” jawab pria itu sambil membuka pintu mobil untuk Lily.
Lily masuk ke dalam mobil, merasa bersemangat. Malam ini akan menjadi pengalaman yang tak terlupakan, baik untuknya maupun pria tersebut.
Sementara itu, Dinda sedang duduk santai di tepi trotoar, menikmati suasana malam yang hidup di sekelilingnya. Tiba-tiba, ponselnya bergetar, menarik perhatiannya. Dia melihat nama yang muncul di layar dan langsung tahu bahwa itu adalah juragan glondong—seorang pria kaya tapi sudah tua, yang biasanya memanggilnya untuk kencan malam.
“Wah, si juragan sudah telepon,” kata Dinda sambil melirik Tika dan Lily yang sedang asyik berbincang. “Kayaknya ini kesempatan baik!”
Dia menjawab telepon tersebut dengan nada menggoda. “Halo, Pak! Ada yang bisa saya bantu?” suaranya ceria dan penuh semangat.
“Dinda, sayang. Apa kamu free malam ini? Aku ingin menjemputmu dan kita bisa jalan-jalan sebentar,” jawab juragan tersebut dengan suara beratnya yang khas.
“Hmm, malam ini? Tentu saja, Pak! Saya siap,” Dinda menjawab, mencoba menahan senyum di wajahnya. Dia tahu betul bahwa pria ini tidak hanya kaya, tetapi juga sangat pemurah.
“Bagus, aku akan segera datang. Tunggu di depan,” kata juragan itu, dan Dinda segera menutup teleponnya dengan penuh semangat.
“Dapat BO lagi, ya?” tanya Tika sambil mengedipkan mata, mengetahui pasti siapa yang sedang Dinda ajak bicara.
“Yup! Juragan glondong itu. Dia mau jemput aku,” jawab Dinda, wajahnya berseri-seri.
“Duh, beruntung banget kamu! Dia pasti bakal bawa kamu ke tempat yang mahal,” ujar Lily sambil tertawa.
“Ya, semoga saja!” Dinda menjawab sambil mengatur rambutnya dan menyiapkan penampilannya. “Tapi dia udah tua, sih. Tapi yang penting kan rezeki,” lanjutnya sambil tersenyum nakal.
Tak lama kemudian, sebuah mobil mewah berhenti di depan mereka. Dinda melambai ke arah mobil tersebut dan berjalan mendekat. Dia membuka pintu dan tersenyum lebar ke arah juragan glondong yang duduk di dalam.
“Selamat malam, Pak!” sapanya dengan suara yang manja.
“Selamat malam, sayang. Kamu terlihat cantik malam ini,” puji juragan itu, tersenyum lebar sambil mengangkat tangannya untuk mengundang Dinda masuk.
Dinda masuk ke dalam mobil dengan anggun. “Terima kasih, Pak! Jadi mau kemana kita malam ini?” tanyanya dengan nada menggoda.
“Kita ke tempat yang istimewa, di mana kamu bisa menikmati makanan lezat dan minuman enak,” jawab juragan itu sambil memulai mobil.
Dinda merasa bersemangat, membayangkan malam yang penuh kesenangan dan kemewahan di depannya. Sementara itu, Lily dan Tika hanya bisa tersenyum dan menggelengkan kepala, mengetahui betapa beruntungnya Dinda malam ini.
“Semoga kamu dapat banyak, ya!” teriak Lily saat Dinda melambai sebelum mobil itu melaju pergi.
Malam ini, Dinda tahu dia akan mendapatkan lebih dari sekadar kencan biasa, dan itu membuatnya merasa berenergi. Dia siap menikmati setiap momen!
Dalam hati Tika merasa iri, karena Lily dan Dinda sudah pada dapat pelanggan, sedangkan dia belum. Dia melihat kedua temannya yang ceria, menggoda para pria yang lewat dengan senyum manis dan gaya genit. Tika, meski mencoba untuk bersikap santai, tidak bisa menahan rasa cemburu yang menyelinap di dadanya.
"Kenapa ya, padahal aku juga udah berusaha semaksimal mungkin," gumamnya pelan, menatap kaki-kaki para lelaki yang berlalu. Sepatu hak tingginya yang sexy dan rok mini sudah siap, tapi belum ada satu pun yang mendekatinya.
“Eh, Tika! Kenapa kamu melamun?” tanya Lily sambil tertawa. “Ayo, jangan cemberut gitu. Nanti ada pelanggan yang lewat, kamu harus siap menggoda!”
Tika memaksakan senyum, meski di dalam hati ia merasa kecewa. “Iya, aku cuma sedikit bingung saja. Kenapa malam ini sepi banget?” jawabnya sambil melirik ke arah jalan, berharap ada seseorang yang bisa menghampirinya.
“Yah, namanya juga dunia. Kadang kita dapat banyak, kadang juga sepi. Yang penting kamu tetap percaya diri!” Dinda mencoba menenangkan.
“Coba deh kamu berani sedikit lebih menonjol. Kalian kan tahu aku bisa lebih genit!” Tika berkata dengan semangat. "Tapi rasanya kalau sendirian gini, males."
Lily memberikan saran, “Coba panggil yang lewat, jangan malu-malu! Buat mereka merasa spesial.”
Tika mengangguk dan mulai berlatih cara memanggil dengan suara genit. “Sini, Mas, mau kenalan?” serunya, meski terasa canggung.
Akhirnya, dia melihat seorang pemuda melintas, masih ragu tetapi Tika segera menyapa, “Hei, Mas! Mau nongkrong sama kita?”
Pemuda itu berhenti dan menatap Tika dengan bingung, sepertinya terpesona oleh pesonanya. “Ehm, ada apa?”
“Cuma mau ajak ngobrol. Ini teman-temanku,” jawab Tika sambil menunjuk ke arah Lily dan Dinda yang tersenyum.
Mendapat respon positif, Tika merasa sedikit lebih percaya diri. Dia mulai berbincang dengan pemuda itu, menggoda dan membuatnya tertawa. Beberapa menit kemudian, saat Tika merasa suasana semakin cair, dia mengambil keberanian untuk menawarkan sesuatu yang lebih.
“Gimana kalau kita pergi ke tempat yang lebih seru? Aku yakin kamu bakal senang,” Tika berkata dengan senyum manis.
Pemuda itu mengangguk, tampaknya tertarik dengan tawarannya. “Oke, tempat mana yang kamu pikirkan?”
Tika merasa kegembiraan merayapi dirinya, dia mulai membayangkan malam yang menyenangkan dan berharap kali ini akan ada pelanggan yang mau bersenang-senang bersamanya.
“Yuk, ikuti aku!” Tika berkata penuh semangat, merasa sedikit bangga karena akhirnya mendapatkan perhatian. Dalam hatinya, dia berharap malam ini akan menjadi awal yang baru, tidak hanya untuk dirinya tetapi juga untuk pengalamannya sebagai seorang tlembuk.
Sementara itu, Lily dan Dinda saling berbisik melihat Tika yang akhirnya mendapatkan pelanggan. “Akhirnya dia juga,” kata Dinda.
“Semoga malam ini membawa keberuntungan untuk kita semua,” balas Lily dengan senyum optimis, berharap kawan-kawannya akan menemukan kebahagiaan dan kesuksesan dalam dunia yang mereka jalani.
Saat Lily, Dinda, dan Tika asyik dengan pelanggan masing-masing, suasana di dalam kamar hotel mendadak berubah. Tiba-tiba, sebiji kecoa merayap masuk ke dalam ruangan, menyusuri dinding dengan tenang.
Dinda yang sedang bercumbu dengan juragan glondong, melihat kecoa itu dan berteriak, "Ihhh, kecoa! Cepat bunuh itu!"
Lily yang sedang terlibat dalam aktivitas serupa, menjerit kaget. "Astaga, kenapa selalu ada kecoa di tempat seperti ini?!"
Tika, yang merasa sudah cukup sabar, mencoba menenangkan suasana. "Tenang, aku ambil sandal! Satu pukul, pasti beres!"
Dalam kegaduhan itu, Dinda mulai menutup wajahnya, takut jika kecoa itu melompat ke arahnya. "Bisa-bisanya, kita lagi seru-serunya, eh ada kecoa!"
Lily mengambil handuk dan mencoba mengusir kecoa itu dengan gerakan cepat. "Ayo, lari ke pojok sana, jangan ganggu kami!"
Setelah beberapa detik berjuang, akhirnya Tika berhasil menempelkan sandal di atas kecoa, dan semua terdiam sejenak, memastikan kecoa itu sudah tidak bergerak lagi.
"Yeay! Kita selamat!" Dinda bersorak sambil tertawa, merasa lega.
Lily mencubit lengan Dinda, "Jangan terlalu banyak teriak, nanti pelanggan kita kabur!"
Setelah suasana kembali tenang, mereka melanjutkan aktivitas masing-masing dengan tawa. Kecoa itu mungkin telah mengganggu, tetapi itu hanya menambah bumbu dalam malam yang penuh canda tawa.
Hari-hari mereka terus berjalan, dan meski ada hal-hal tak terduga, mereka tahu bahwa ini adalah bagian dari kehidupan yang mereka pilih.