Hubungan manis antara Nisa dan Arman hancur akibat sebuah kesalahpahaman semata. Arman menuduh Nisa mewarisi sifat ibunya yang berprofesi sebagai pelacur.
Puncaknya setelah Nisa mengalami kecelakaan dan kehilangan calon buah hati mereka. Demi cintanya untuk Arman, Nisa rela dimadu. Sayangnya Arman menginginkan sebuah perceraian.
Sanggupkah Nisa hidup tanpa Arman? Lantas, berhasilkah Abiyyu mengejar cinta Nisa yang namanya selalu ia sebut dalam setiap doanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kaisar Biru Perak, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7 Siapa Pencuri Itu?
Di sudut kota yang lain.
"Abi pulang!" Seorang pria lajang berteriak begitu sampai rumah. Pria itu adalah Abiyyu.
Rambutnya tampak basah karena keringat. Pun dengan beberapa bagian di bajunya. Maklum, pria itu baru saja berolahraga dengan berlari di sekitar kompleks.
"Tumben pulangnya cepet!" Hanum, orangtua tunggal Abiyyu itu menyambut kedatangan putranya dengan suka cita. "Pasti kamu digodain ibu-ibu kompleks. Makanya cepet pulang. Iya, kan?"
"Apa sih, Ma?" Abiyyu tersenyum. Hampir saja dia memeluk ibunya, tapi niat itu dia urungkan setelah sadar dirinya penuh keringat. "Abi mandi dulu, ya?"
Hanum hanya menggelengkan kepala melihat kelakuan Abiyyu. Lalu memberikan sebuah kode agar Abiyyu merendahkan tubuhnya yang menjulang tinggi.
"Mandi setelah keringatmu kering, oke?" Wanita itu mencium Abiyyu. Tidak peduli meskipun Abiyyu penuh dengan keringat.
Sementara Abiyyu hanya bisa tersenyum menahan malu mendapat perlakuan seperti itu dari ibunya. "Iya, Ma!"
Sembari menunggu keringatnya kering, Abiyyu pun duduk di salah satu kursi yang ada di dapur. Matanya yang jernih tampak awas melihat sekeliling.
Sebenarnya, dapur itu berukuran cukup besar. Tapi terasa sempit karena ada beberapa orang karyawan yang sibuk membantu Hanum memproduksi kue. "Hari ini banyak pesanan, Ma?"
"Iya, nih!" jawab Hanum. Wanita itu sibuk sendiri. Membuat secangkir teh hangat untuk anak sulungnya. "Kenapa? Mau bantuin?"
"Enggak!" Dengan cepat, Abiyyu menggelengkan kepalanya. "Abiyyu kan nggak bisa bikin kue."
"Kalau begitu, bantu yang lain aja, Bi." Hanum tampak menghampiri Abiyyu, lalu menyodorkan teh buatannya.
Sementara itu, Abiyyu mengaduk teh itu dan bertanya, "Memangnya mama mau Abi bantuin apa? Mama butuh sesuatu?"
Hanum tersenyum simpul. "Mama butuh menantu. Tolong segera carikan, ya?"
"Uhuk!" Abiyyu tersedak mendengar permintaan Hanum. Pria itu pun segera mengalihkan pembicaraan agar ibunya tidak membicarakan soal menantu lagi. "Ngomong-ngomong, Annisa mana, Ma?" tanyanya.
Annisa, namanya sangat mirip dengan Nisa. Dia adalah adik bungsu Abiyyu, perempuan tulen yang cara berpakaiannya mirip anak laki-laki.
Seumur hidup, anak itu jarang memakai rok karena lebih suka memakai celana sepanjang lutut.
Parahnya, gadis tomboi itu lumayan pintar berkelahi. Abiyyu bahkan pernah dipanggil pihak sekolah karena kelakuan adiknya yang nakal itu.
"Biasa!" Hanum menghela nafas panjang. Lelah dengan kebiasaan buruk putri bungsunya. "Dia pasti tidur lagi."
"Biar Abiyyu bangunin, ya, Ma?" Tanpa menunda waktu, Abiyyu pun naik ke kamar Anissa.
Dan begitu kamar dibuka, Abiyyu merasa tekanan darahnya naik. Kamar anak gadis itu mirip kapal pecah. Lengkap dengan cara tidur Annisa yang tak karuan.
"An, bangun!" Pria itu mendekat, menggoyangkan pundak adiknya beberapa kali. Tapi bocah SMA itu bergerak hanya untuk ganti posisi.
"Annisa!" ulang Abiyyu.
Kali ini, suaranya lebih keras. Dibarengi dengan gerakan tangan menarik telinga Annisa.
"Apa sih, Mas!" Akhirnya, gadis berwajah manis itu bangun. Mengucek matanya berkali-kali dengan wajah cemberut.
Setengah nyawanya belum terkumpul, tapi Abiyyu sudah menyodorkan jam weker kecil kearahnya. "Lihat, jam berapa sekarang?"
"Mas Abi!" Spontan, Annisa berdiri. Protes keras pada kakaknya karena membiarkannya bangun terlambat. "Kenapa nggak bangunin dari tadi sih, Mas?"
Gadis itu berlari menyambar handuk, lalu pergi ke kamar mandi tanpa menghiraukan kakaknya lagi. Sementara Abiyyu hanya bisa mengomel dalam hati menyadari adiknya semakin nakal dari hari ke hari. "Annisa, seandainya saja kamu memiliki sifat seperti Althafunnisa sedikit saja, Mas Abi pasti senang!"
.
.
.
"Pagi, Mah!" Setelah beberapa saat, akhirnya Annisa turun juga. Gadis itu mencium tangan Hanum. Lalu memeluk sambil memberikan hujan ciuman.
Meksipun cukup nakal, tapi Annisa adalah tipe anak yang berbakti. Sedikit pengingat, Annisa hanya berbakti pada ibunya, bukan kakaknya.
"Whee!" Gadis itu menjulurkan lidahnya pada Abiyyu yang sedang menikmati sarapan. Lalu menarik kursi dan duduk di samping Abiyyu untuk sarapan.
Tapi belum sempat meraih gelas, Abiyyu sudah lebih dulu memberikan sebuah pukulan di kepalanya.
TUK
Hanya pukulan ringan, tapi sangat sukses membuat Annisa berteriak. "Aduh! Sakit, Mas!" katanya sembari memegangi kepala.
Sebenarnya, anak itu sudah besar. Tapi terkadang kelakuannya seperti anak kecil. Sangat persis seperti apa yang dia lakukan barusan. Tujuannya berteriak, memangnya apalagi kalau bukan untuk mencari perhatian ibunya?
"Ma, Mas Abi jahat!" adu Annisa.
Gadis itu memasang wajah memelas. Sayangnya hal itu tidak membuat Hanum kasihan. Yang ada, Hanum justru membela sang kakak.
"Annisa, pelankan suaramu saat bicara dengan kakakmu!" Hanum mengunyah sarapannya. "Memangnya kapan kakakmu pernah jahat sama kamu?"
Faktanya, apa yang dikatakan Hanum memang benar. Jika ada hari dimana Abiyyu menyakiti Annisa, itu hanya pernah terjadi satu kali. Tepatnya saat keduanya masih balita.
Mungkin karena terlalu gemas melihat adik bayinya, Abiyyu menggigit jempol kaki Annisa saat Annisa di jemur di bawah terik matahari pagi.
"Maaf!" Annisa yang tidak mendapatkan pembelaan pun meminta maaf. Lalu meminum susunya tanpa menyentuh sarapannya. "Kuenya masih ada, Ma?"
"Tuh disana!" jawab Hanum sembari menunjuk ke arah lain.
Melihat ibunya mengangguk, Annisa pun segera memasukkannya ke kantong. Lalu memberikannya pada beberapa teman kecil di depan sekolah nanti.
Yah, itu adalah kebiasaan Annisa setiap pagi. Satu-satunya kebiasaan yang membuat Abiyyu melupakan semua sifat nakalnya.
"Tunggu!" Tiba-tiba, Abiyyu menarik tas Annisa yang hendak pergi sekolah. Annisa pun menoleh dan bertanya, "Apalagi?"
"Titip!" Pria itu mengeluarkan dompetnya. Mengambil sejumlah uang dan memberikannya pada Annisa. "Bagikan ke mereka, ya?"
Nisa terkejut melihat uang yang Abiyyu berikan. Dia pun protes karena uang jajannya lebih sedikit dari itu. "Mas,-"
"Diam!" potong Abiyyu. Pria itu menyentil dahi adiknya yang tertutup poni. "Uang jajanmu memang sedikit. Tapi uang yang Mas Abi simpan untuk biaya kuliah dan biaya pernikahanmu nanti jauh lebih banyak dari ini, tahu?"
Seketika Annisa terdiam. Sebal karena Abiyyu selalu saja menyinggung soal pernikahan. Dia kan masih SMA. Apa tidak terlalu cepat menyiapkan biaya pernikahan untuknya?
Selain itu, jika ada orang yang harus menyiapkan biaya pernikahan, bukankah seharusnya orang itu adalah Abiyyu mengingat umurnya sudah lewat dari seperempat abad?
"Ngomong-ngomong, kapan kamu akan menikah, Mas?" Maklum, Abiyyu tidak pernah menjalin hubungan dengan siapapun.
Annisa benci mengakuinya. Tapi kakaknya itu memiliki wajah yang tampan. Terlalu tampan sampai teman-temannya tantrum ketika melihat Abiyyu.
Lalu, yang menjengkelkan adalah, mereka akan melakukan pendekatan lewat dirinya agar bisa mengenal Abiyyu lebih dekat. Karena alasan itulah Annisa selalu menolak saat Abiyyu ingin mengantarnya ke sekolah.
"Mas?" Sekali lagi, Annisa bertanya. Dia hanya ingin menggoda kakak kesayangannya. Tapi jawaban Abiyyu membuatnya kehilangan kata-kata.
"Tahun depan." Abiyyu menyudahi sarapannya. "Mas Abi mau menikah tahun depan."
"T-tahun depan?" Mata Annisa memelotot. Terkejut dengan jawaban Abiyyu yang kelihatan serius.
"Kenapa?" tanya Hanum dan Abiyyu bersamaan. Heran melihat perubahan ekpresi Annisa yang tiba-tiba.
"Oh, enggak, kok!" Annisa menggaruk pipinya yang tidak gatal. "Annisa berangkat sekolah dulu, ya?"
Annisa langsung pergi tanpa menunggu jawaban ibu dan kakaknya. Melihat jalanan dengan pandangan yang kabur karena air mata yang mulai membendung di pelupuk matanya.
"Siapa?" Annisa mulai menangis. "Siapa yang berani mencuri Mas Abiyyu?"
***