Disarankan baca "Dear, my first love" dulu ya🙃
"Kalo jalan yang bener, pake mata dedek."
Tangan Shawn setia berada di pinggang Zuya agar gadis itu tidak terjatuh dari tangga. Dan lagi-lagi gadis itu menatapnya penuh permusuhan seperti dulu.
Pertemuan secara kebetulan di tangga hari itu menjadi awal hubungan permusuhan yang manis dan lucu antara Shawn dan Zuya, juga awal dari kisah cinta mereka yang gemas namun penuh lika-liku.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mae_jer, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 7 - Zuya pengen hidup mandiri
"Zuya pengen nge-kost."
Perkataan Zuya di meja makan membuat semua orang yang sedang duduk sambil menikmati makanannya memandanginya. Seluruh perhatian kini tertuju pada gadis berusia delapan belas tahun itu. Bahkan si bayi kecil yang baru mau umur dua tahun dalam box bayi tersebut menatap ke Zuya.
Bayi laki-laki yang imut. Sangat imut seperti mamanya. Hidung, mata dan bibirnya seperti papanya Anson. Yang lain mengikuti sang mama, Aerin. Pokoknya bayi imut tersebut setengah mirip papanya, setengah lagi mirip mamanya.
"Ngapain kamu nge-kost, tinggal di rumah aja kamu sering banget ngerepotin bunda, papa sama kakak-kakak kamu, gimana ceritanya kalau nge-kost. Nggak ada, bunda nggak ijinin." tolak bunda Amalia langsung. Sebenarnya lebih ke khawatir kalau sang putri tinggal sendirian.
"Ih bunda, Zuya udah gede. Udah kuliah. Masa tinggal sama orangtua terus sih. Zuya kan pengen belajar hidup mandiri biar nggak bergantung terus sama orangtua. Abang Anson aja waktu kuliah tinggal sendiri, nggak sama orang tua. Bener kan bang?" Zuya melirik abangnya.
"Beda cerita." balas Anson tidak membantu sama sekali. Zuya memicingkan matanya sebal ke laki-laki itu.
"Abang kamu dulu kuliahnya di luar negeri, ya jelas dong tinggal sendiri nggak bareng orang tua. Abang kamu juga laki-laki, bisa jaga dirinya sendiri. Lah kamu? Kamu itu anak gadis yang masih ada orangtua lengkap, nggak baik tinggal sendiri." kata bunda Amalia lagi.
Air muka Zuya berubah.
"Tapi bunda, Zuya kan pengen ngerasain bagaimana hidup mandiri. Temen-temen kampus Zuya rata-rata nge-kost semua. Lagian kampus Zuya jauh banget dari rumah kita. Zuya capek naik mobil lebih dari sejam terus bolak-balik tiap hari. Kalo nge-kost di dekat kampus kan Zuya jadi bisa lebih santai, nggak perlu terburu-buru. Bunda tega banget dehh ..." gadis itu merengek manja sama bundanya.
Amalia masih keras. Ia tidak mau putrinya tinggal sendirian. Sebagai seorang ibu, wajar kalau dia khawatir. Zuya memang anak nakal dan selalu bikin dia pusing tujuh keliling. Apalagi kalau sudah dipanggil menghadap ke sekolah, tapi Amalia tetap sangat menyayangi putrinya. Kenakalan Zuya masih dibatas wajar, hanya kenakalan-kenakalan biasa yang tidak merugikan orang lain. Buktinya, gadis itu bisa lolos masuk ke salah satu universitas terbaik dalam negeri.
"Mama tega buat kebaikan kamu juga adek, liat tuh ponakan kamu ikut cemberut liat kamu kayak gitu." Anson menunjuk putranya dalam box bayi.
Lucu sekali si bayi yang tengah menatap tantenya. Aerin, bunda Amalia dan papa Jewis ikut tersenyum merasa gemas karena sang bayi yang lucu sekali. Tapi raut muka Zuya tetap masam, karena keinginan pengen nge-kost belum terpenuhi.
"Papa, ijinin Zuya nge-kost ya. Pleaseee papaaa ..." giliran papanya yang dia bujuk. Kalau bundanya keras nggak mau ijinin, dia harus dapat ijin dari papanya. Raut wajah Zuya sengaja dia buat semengasihankan mungkin.
Papa Jewis menatap putrinya lama. Kasihan juga gadis itu dari tadi maksa-maksa minta diijinin nge-kost.
"Ya udah gini aja," ucap lelaki itu angkat suara.
"Papa ingat teman papa ada yang punya bisnis apartemen di depan kampus kamu. Papa akan coba tanya kalau masih ada apartemen kosong buat disewakan. Kalau ada kamu bisa tinggal di sana semasa kamu kuliah." ia melanjutkan.
"Yes!" Zuya bersorak gembira. Gadis itu bangkit dari kursi, mendekati sang papa dan mencium pipi lelaki itu.
Bunda Amalia tidak terlihat senang.
"Papa, kok diizinin sih? Nggak, bunda keberatan." wanita itu masih kekeuh menolak. Aerin dan Anson saling bertukar pandang. Anson sendiri lebih condong mendukung bundanya, apalagi melihat adiknya yang modelnya seperti itu. Anson tidak percaya Zuya bisa menjaga dirinya sendiri.
"Aku setuju sama bunda pa," pria itu menimpali.
Zuya langsung memberikan tatapan dongkol pada abangnya.
Jewis menarik napas panjang.
"Gini aja. Ijinin Zuya hidup mandiri satu bulan. Kalo dia masih bertahan selama itu, kalian ijinin dia tinggal sendiri sampai dia lulus kuliah." laki-laki tua itu mencoba mengambil jalan tengah.
Bunda Amalia tampaknya masih keberatan.
"Kalau bunda nggak kasih ijin juga Zuya mogok makan sebulan!"
"Hush, jangan ngomong begitu dek." tegur Aerin.
"Ya udah bunda setuju. Asal tiap weekend kamu pulang." akhirnya bunda Amalia setuju juga setelah bermenit-menit drama debat.
Ekspresi Zuya berubah sumringah. Ia melompat-lompat kegirangan. Sudah lama sekali dia pengen coba tinggal sendiri. Bukan karena pengen hidup bebas, ia pengen tahu saja rasanya seperti apa kalau hidup rantau.
Keno, Gogo dan Bowen saja hidup sendiri sekarang. Dia juga ingin seperti mereka. Kalau bisa cari uang sendiri, Zuya juga mau coba. Apalagi ada banyak teman-teman kelasnya yang kerja part time.
"Kalau begitu papa cepet tanya teman papa ya, biar aku bisa pindah secepatnya di apartemen." kata Zuya melirik sang papa.
"Tapi kamu harus janji satu hal," ucap papa Jewis.
Zuya memandangi papanya dengan kening terangkat. Anggota keluarganya pun sama, menunggu kepala keluarga mereka kembali berbicara.
"Harus kuliah serius. Jangan rajin bolos kayak jaman kamu SMA dulu. Tiga sahabat kamu saja papa lihat serius sekali mengejar cita-cita mereka. Kamu nggak mau kan saat mereka sudah sukses nanti, kamu-nya masih main-main aja nggak ngapa-ngapain?"
Zuya terdiam. Perkataan yang sulit dia janjikan.
"Denger tuh," tambah Anson.
Zuya memainkan bibirnya.
"Zuya akan usaha. Tapi nggak bener-bener janji ya pa, kan otak Zuya kalau sudah lelah nggak bisa dipaksain. Nanti sakit, yang repot juga bunda sama papa kan. Abang Anson sama kak Aerin juga." gadis itu beralasan.
Bunda Amalia tertawa. Ia tahu sekali watak putrinya, selalu saja ada alasan. Tapi Amalia juga tahu ketiga sahabat Zuya juga selalu menjaga dan memberitahu anak gadisnya ini biar dia tidak banyak main-main lagi. Amalia tidak khawatir. Zuya pasti akan berhasil di masa depan dan membanggakan mereka semua. Hanya prosesnya saja yang harus dilalui dengan sabar.
"Ayo makan dulu. Nanti kita semua terlambat beraktivitas hari ini." ucap bunda Amalia.
lucu bgt s Zuya..