> "Rei Jaavu, apakah anda siap meninggalkan dunia ini dan pergi menuju negeri impian anda sekarang?"
"Jepang? Beneran aku bisa ke Jepang?"
> "Jepang? Ya, Jepang. Tentu saja."
Kata-kata itu muncul di layar laptop Rei, seperti tawaran menggiurkan yang nggak mungkin ia tolak. Sebuah sistem bernama "AniGate" menjanjikan hal yang selama ini cuma ada di dalam imajinasinya. Jepang klasik, negeri isekai, atau bahkan jadi tokoh kecil di dalam novel klasik yang selalu ia baca? Semua seperti mungkin. Ditambah lagi, ini adalah jalan agar Rei bisa mewujudkan impiannya selama ini: pergi kuliah ke Jepang.
Tapi begitu masuk, Rei segera sadar... ini bukan petualangan santai biasa. Bukan game, bukan sekadar sistem main-main. Di tiap dunia, dia bukan sekadar 'pengunjung'. Bahaya, musuh, bahkan rahasia tersembunyi menghadangnya di tiap sudut. Lebih dari itu, sistem AniGate seolah punya cara tersendiri untuk memaksa Rei menemukan "versi dirinya yang lain".
"Sistem ini... mempermainkan diriku!!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RE-jaavu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cinta Tanpa Cinta: Bagian 6
Bagian 6: Langkah Pertama dalam Perjanjian
Keesokan harinya, aku masih merasa sedikit aneh memikirkan malam sebelumnya. Quinsha Rinn, si user AniGate senior, sekarang memainkan peran Sayuri Kanzaki di dunia ini. Dan entah bagaimana, dia telah memutuskan untuk membantuku menyelesaikan misi ini dengan syarat-syaratnya yang… yah, begitulah.
Aku memikirkan senyuman kecilnya ketika dia mengatakan, “Jangan jatuh cinta padaku.” Kata-kata itu terus terngiang di kepalaku seperti lagu yang susah dilupakan, dan aku tidak yakin apakah aku harus tertawa atau merasa tersinggung.
Bagaimanapun, aku tahu satu hal pasti: Quinsha yang kukenal tidak mungkin melakukan ini hanya karena kebaikan hatinya.
...****************...
Kelas pagi berjalan seperti biasa. Aku mencoba fokus pada materi yang diberikan dosen, tapi pikiranku terus melayang ke misi AniGate dan perjanjian yang kubuat dengan Quinsha—eh, Sayuri.
Ketika jam istirahat tiba, aku melihatnya berjalan ke arahku dengan langkah percaya diri, membawa aura yang membuat semua orang di sekitar seolah memudar.
“Takuto-kun,” panggilnya dengan senyum tipis yang tampaknya tidak berbahaya. Tapi aku tahu lebih baik tetap waspada, daripada mempercayainya sepenuhnya.
“Ada apa?” tanyaku, mencoba terdengar santai.
Dia melirik ke sekitar, memastikan tidak ada yang mendengarkan, lalu berkata dengan suara pelan, “Kita perlu membicarakan langkah berikutnya.”
...****************...
Kami duduk di bangku taman yang sedikit tersembunyi di antara pepohonan. Angin sepoi-sepoi membawa aroma bunga musim semi, tapi suasana di antara kami jauh dari kata santai.
“Jadi, apa rencanamu?” tanyaku, mencoba langsung ke intinya.
Dia menyilangkan tangan di dadanya, matanya menatapku dengan tajam. “Langkah pertama adalah membangun hubungan. Kau harus membuatnya terlihat natural.”
Aku menatapnya bingung. “Tapi bukankah kau sudah setuju untuk menjadi targetku? Jadi, bukankah kita hanya tinggal berpura-pura?”
Dia mendengus kecil, seperti menertawakan kepolosanku. “AniGate tidak sebodoh itu, Rei. Sistem akan tahu kalau kita tidak benar-benar mencoba.”
Aku menghela napas panjang, merasa sedikit frustrasi. “Jadi, apa yang kau sarankan?”
Dia tersenyum kecil, senyuman yang membuatku merasa seperti sedang masuk ke dalam jebakan. “Ajak aku makan siang hari ini.”
“Makan siang?” ulangku, merasa itu terlalu sederhana.
“Ya,” katanya sambil mengangguk. “Kau perlu membiasakan diri bertindak seolah-olah ini nyata. Ya, seperti orang normal. Mulai sekarang, cobalah bertindak secara alami. Jangan ada kesan pura-pura!"
Aku mengerutkan kening. “Tunggu, jadi ini semua hanya untuk membantuku? Apa sebenarnya alasanmu melakukan ini?”
Dia terdiam sejenak, tatapannya mengarah ke langit seolah mencari jawaban. Lalu, dengan nada setengah tersinggung, dia berkata, “Karena kau butuh bantuan, bodoh.”
Aku memiringkan kepala, tidak yakin apakah itu jawaban jujur atau hanya alasan yang dibuat-buat. “Serius?”
Dia melirikku, wajahnya sedikit memerah. “Tentu saja! Kau bahkan tidak tahu bagaimana cara bersikap normal di sini. Kalau bukan karena aku, kau pasti sudah gagal sejak awal.”
Aku ingin membalas, tapi melihat bagaimana dia mencoba menyembunyikan rasa malunya, aku memutuskan untuk membiarkannya saja.
“Baiklah,” kataku akhirnya. “Aku akan mengajakmu makan siang.”
Dia tersenyum tipis, lalu berdiri. “Bagus. Jangan buat aku menyesal membantumu, Takuto-kun.”
...****************...
Ketika waktu makan siang tiba, aku berjalan ke arah kelas Sayuri dengan langkah yang sedikit ragu. Aku mencoba mengingat semua hal yang dia katakan tadi pagi, tapi semakin aku mendekati pintu, semakin gugup aku merasa.
“Ini hanya makan siang,” gumamku pada diri sendiri. “Apa yang bisa salah?”
Namun, begitu aku sampai di depan pintu, aku melihat Sayuri dikelilingi oleh teman-temannya. Mereka tertawa dan bercanda, tampak sangat akrab satu sama lain.
Aku merasa jantungku mulai berdebar lebih cepat. Bagaimana aku bisa mendekatinya dalam situasi seperti ini tanpa terlihat aneh?
“Tunggu apa lagi, Rei?” suara AniGate tiba-tiba terdengar di kepalaku.
Aku tersentak, hampir lupa bahwa sistem ini masih mengamatiku.
“Aku sedang mencari waktu yang tepat,” bisikku, mencoba terdengar meyakinkan.
> “Tidak ada waktu yang lebih tepat daripada sekarang. Atau Anda ingin membuat kesan pertama yang buruk?”
Aku menghela napas panjang, lalu melangkah masuk.
“Sayuri-san,” panggilku, suaraku sedikit bergetar.
Semua orang di sekitar Sayuri menoleh ke arahku, membuatku merasa seperti pusat perhatian. Sayuri sendiri terlihat agak terkejut, tapi hanya untuk sesaat.
“Takuto-kun,” katanya dengan senyum kecil. “Ada apa?”
Aku menelan ludah, mencoba mengumpulkan keberanian. “Aku ingin mengajakmu makan siang.”
Kelompoknya saling bertukar pandang, lalu salah satu dari mereka tersenyum nakal. “Oh, Takuto-kun. Berani sekali!”
Aku merasa wajahku memanas, tapi Sayuri tetap tenang seperti biasa.
“Baiklah,” katanya sambil berdiri. “Mari kita pergi.”
Dia berjalan ke arahku, meninggalkan teman-temannya yang mulai berbisik-bisik. Aku tidak tahu apakah ini akan memperbaiki reputasiku atau menghancurkannya, tapi setidaknya aku berhasil menyelesaikan langkah pertama.
...****************...
Kafetaria kampus penuh sesak seperti biasa, tapi kami berhasil menemukan meja di sudut yang agak sepi. Sayuri memesan makanannya dengan santai, sementara aku masih mencoba menenangkan diri.
“Kau terlihat gugup,” katanya sambil mengambil sumpitnya.
“Aku hanya tidak terbiasa dengan ini,” jawabku jujur.
Dia tersenyum kecil, matanya berbinar dengan sesuatu yang tidak bisa kugambarkan. “Kau sudah melakukan langkah pertama. Itu yang paling sulit.”
Aku mengangguk, merasa bahwa apa yang dia katakan mungkin benar.
Ketika kami mulai makan, aku mencoba mencari topik pembicaraan untuk mengurangi keheningan yang canggung. “Jadi… kenapa kau memutuskan untuk membantuku?”
Dia berhenti sejenak, lalu menjawab tanpa menatapku. “Karena aku tahu kau tidak akan berhasil jika sendirian.”
Aku menatapnya, mencoba membaca ekspresinya. “Itu saja?”
Dia meletakkan sumpitnya, lalu menatapku dengan mata yang tajam. “Apa lagi sih yang kau harapkan? Aku hanya mencoba memastikan kau tidak mempermalukan diri sendiri.” pipinya mengembang seperti anak kecil yang habis merajuk.
Aku tersenyum kecil, merasa bahwa jawabannya tidak sepenuhnya jujur. Tapi untuk saat ini, aku memutuskan untuk tidak mendesaknya lebih jauh.
aku mampir ya 😁