NovelToon NovelToon
Hyacinth

Hyacinth

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Fantasi
Popularitas:2.6k
Nilai: 5
Nama Author: Chira Amaive

Hujan kristal misterius tiba-tiba menghujam dari langit bak ribuan peluru. Sebuah desa yang menyendiri. Jauh dari mana pun. Terletak di ujung hutan dekat tebing tak berdasar. Tak pernah ada orang dari luar desa yang pernah berkunjung sejak desa tersebut ada. Asing dari mana pun. Jauh dari mana pun. Sebuah desa sederhana yang dihuni ratusan orang. Dipimpin oleh ketua suku turun temurun. Walaupun begitu, mereka hidup rukun dan damai.

Sampai pada akhirnya fenomena dahsyat itu terjadi. Langit biru berubah menjadi warna-warni berkilau. Menciptakan silau yang indah. Indah yang berujung petaka. Seperti halnya mendung penanda hujan air, maka langit warna-warni berkilau itu penanda datangnya hujan aneh mematikan. Ribuan pecahan kristal menghujam dari langit. Membentuk hujan peluru. Seketika meluluhlantakkan seluruh bangunan desa berserta penghuninya. Anehnya, area luar desa tidak terkena dampak hujan kristal tersebut.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chira Amaive, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Tingkat Bahagia

Waktu-waktu berlalu. Keseharian Finley dan Cashel terus berlanjut. Mulai dari memanjat pohon untuk memetik buah, berburu hewan dengan tombak, mandi dan mengambil air di sungai beserta ikannya, memasak dengan bahan melimpah namun alat seadanya, membicarakan banyak hal dan tentu saja bertengkar.

Dua bulan berlalu. Kedua remaja tersebut telah pindah ke tempat yang lebih jauh dari desa sebab aroma mayat-mayat yang sudah membusuk. Tak terlalu dalam dari hutan, ada tanah lapang di sana yang cukup besar untuk ditempati dua orang yang tak suka berdekatan. Kini mereka memiliki dua rumah yang sangat sederhana dan kecil. Hanya terbuat dari ranting-ranting hutan yang berserakan. Atapnya terbuat dari daun kelapa. Finley tidak mengandalkan Cashel untuk itu, sebab ia juga mampu untuk memanjat tingginya pohon kelapa. Kondisi tersebut membuat mereka menjadi lebih kuat dan bisa melakukan apa yang sebelumnya tidak bisa. Berkat tekad bertahan hidup yang kuat. Masing-masing memiliki rumah sendiri-sendiri.

Pernah, suatu waktu mereka didatangi seekor serigala. Mereka bahu membahu melawan serangan hewan tersebut menggunakan tombak dan cara asal-asalan. Yang terpenting harus diserang tanpa ampun. Itulah yang terpikirkan sebab serangan dadakan dan mereka belum terlalu mahir menggunakannya. Untungnya, setelah itu sampai sekarang belum ada lagi ancaman serupa yang datang.

Selain memanjat pohon yang tinggi, membangun rumah dan berburu, sekarang mereka juga bisa mengangkat beban berat seperti sebakul buah-buahan, batang pohon kecil tumbang namun tetap berat, bahkan batu untuk dipahat dengan salah satu peralatan dari bawah rumah tetua. Ya, mereka membuat peralatan masak dari batu-batu di sungai.

Ada banyak skill yang mereka kuasai selama 2 bulan terakhir. Salah satu penyebabnya adalah karena mereka tidak ada yang berani menampakkan sisi lemah. Finley juga sudah tidak lagi menangis di hadapan Cashel. Keduanya memendam rasa sendu. Jika ingin bersedih, mereka sama-sama bersembunyi di tempat yang jauh. Tanpa disadari. Sampai, pernah suatu waktu mereka bertemu di tempat yang sama dalam keadaan sama-sama menangis.

Hanya sisi kuat dan tangguh saja yang ditampakkan. Sangat mendorong fisik dan mental mereka untuk melatih banyak hal.

Kulit mereka menggelap. Awalnya berwarna kuning langsat, berubah menjadi sawo matang. Sebelum meninggalkan desa, mereka mencari pakaian yang sekiranya bisa dikenakan. Semuanya telah robek-robek. Namun, mereka tetap membawanya. Daripada harus mengenakan baju yang sama sepanjang waktu.

Dari sanalah petualangan singkat mereka dimulai. Hanya satu hari, mereka telah menemukan tanah lapang yang lebih dari cukup untuk dikatakan layak ditinggali. Sebelum suatu saat nanti, di masa yang akan datang. Petualangan sebenarnya sedang menunggu.

"Kira-kira, kapan waktu yang tepat untuk kita berangkat?" Cashel membuka obrolan di sela keseriusan Finley membersihkan ikan di sungai.

"Kenapa kamu menanyakan itu? Kita belum cukup kuat untuk mengembara. Satu serigala saja sudah cukup membuat kita kewalahan. Berangkat sekarang sama saja menantang jutaan hewan yang berkali-kali lipat lebih buas dibanding Serigala."

"Kita? Hanya kau yang kewalahan. Hanya bisa bersembunyi di belakangku. Kau pikir aku tidak merasa terbebani. Lagipula, aku tidak mengatakan untuk pergi sekarang atau dalam waktu dekat. Hanya sekedar bertanya untuk persiapan di waktu yang akan datang."

"Tak ada yang menyuruhmu melindungiku. Jika merasa terbebani, kau cukup bergeser agar aku tidak berada di belakangmu lagi. Kau jelas kewalahan. Setelah Serigala itu mati, wajahmu pucat melebihi jamur putih."

"Awas saja kalau ada hewan buas yang datang lagi. Aku tidak akan ikut menyerang. Cukup kau saja dan aku hanya menonton."

"Silakan saja. Kalau aku mati, kamu sendirian."

"Tak apa, aku akan langsung menyerahkan diriku agar aku juga dimakan. Mudah! Jika kau mati, aku juga harus mati."

"Apa-apaan itu. Seperti ungkapan seseorang yang cinta mati."

Cashel tiba-tiba tertawa lepas. Lepas sekali hingga seluruh susunan giginya rapi terlihat.

"Cinta? Lucu sekali. Jadi, itu yang membuatmu ragu untuk mengembara? Kau ingin diam di sini hingga kita besar dan pada saat itu Kau ingin meneruskan generasi denganku."

Finley balas tertawa, tak kalah lepasnya.

"Aku bahkan tak mengatakan hal demikian. Rangkaian kata yang tidak terpikirkan pada kepalaku. Isi khayalan laki-laki memang berbahaya. Kau lebih muda dariku tapi pikiranmu dewasa sekali. Tanpa sadar kau malah mengiyakan pertanyaanku," ucap Finley.

Cashel terdiam. Kali ini Finley menang.

Untuk pertama kalinya. Bukan lagi pertengkaran adu keras kepala. Melainkan berhiaskan tawa jahat. Entah kapan mereka tertawa, pastinya sebelum hujan kristal itu terjadi. Akhirnya, mereka mendengarkan dan merasakan kembali bagaimana tawa itu berfungsi.

"Cashel!"

"Apa," Cashel menjawab malas.

"Semalam, kamu mimpi apa?"

"Untuk apa kamu penasaran dengan mimpiku?"

"Jangan salah paham, mata kucing cacat! Aku hanya ingin tahu, adakah petunjuk lagi."

"Aku malas memberitahumu."

"Katakanlah! Biasanya kau suka rela memberitahuku."

"Lantas, mengapa sekarang kamu berinisiatif untuk bertanya?"

"Tak apa. Bukan apa-apa. Hanya ingin mencoba untuk memikirkan sesuatu. Seperti yang sering kau lakukan."

"Kau gadis bodoh. Jangan paksakan diri untuk berpikir. Cukup aku. Ini juga karena aku kasihan kepadamu. Sekali-kali, aku ingin terlihat baik hati."

"Tak ada orang baik hati yang mengatakan kalimat seperti itu!"

Cashel mengabaikan ucapan Finley. Lantas fokus dengan pekerjaannya untuk membuat tusukan ikan dari bambu. Finley juga tak berkomentar. Lanjut mencuci ikan-ikan di sungai.

Senyap sejenak, menyisakan suara air sungai yang mengalir merdu. Memanjakan gendang telinga. Setidaknya, masih ada alasan untuk bersyukur. Mereka tidak perlu takut kehausan. Ditambah suasana menenangkan dari wilayah sungai.

"Finley!" Kali ini Cashel yang memanggil.

"Apa?"

"Apa hal paling menyenangkan selama di rumahmu."

"Kau tak cocok menanyakan hal selembut itu padaku."

"Baiklah. Terserah saja."

"Kebersamaan dengan mereka. Tak pernah terasa berubah, sekali pun satu anggota keluarga berkurang, yaitu ayahku." Finley tetap menjawab.

"Artinya, ada atau tidaknya ayahmu tidak memengaruhi tingkat kebahagiaanmu? Itu berarti, ayahmu tidak menjadi bagian dari alasan kebahagiaanmu."

Seharusnya Finley marah dan membentak Cashel. Namun, ia justru mematung sambil menatap tajam Cashel. Ikan yang telah dicuci digenggamannya erat.

"Bukan. Itu lebih dikarenakan ibu menyuruh kami untuk menggenggam erat apa yang masih ada. Yang hilang biarkan saja. Bukan untuk melupakan, namun untuk mengurangi laki."

"Apa kau yakin ibumu tidak pernah teringat suaminya?"

"Entahlah. Aku pernah melihat ibu menangis setelah Birdella memanggil ayah berkali-kali ketika ia sakit parah. Namun, aku tak tahu itu tangisan karena cemas dengan kondisi Birdella atau merasakan rasukan rindu kepada ayah dari ucapan Birdella. Perasaan ibu selalu sulit ditebak."

Tanpa memberi tanggapan lagi, Cashel kembali terdiam.

"Kenapa kau menanyakan itu?" Ujar Finley geram dengan Cashel yang tidak menanggapinya lagi.

"Semalam, aku bermimpi. Kamu dan seluruh keluargamu beserta ayahmu berkumpul kembali. Di rumah kalian. Masih utuh. Bukan tumpukan kayu yang hancur akibat hujan kristal."

"HAH?"

"Jangan senang dulu. Mereka jelas-jelas sudah mati. Kecuali ayahmu yang tidak diketahui. Artinya, itu bukan mimpi yang akan menjadi nyata. Atau, itu akan nyata dalam bentuk lain. Tapi, aku yakin itu hanya sekedar mimpi biasa. Walaupun aku tak mengerti, mengapa kehidupanmu masuk ke dalam mimpiku."

1
mochamad ribut
lanjut
adie_izzati
Permulaan yang baik👍👍
Chira Amaive: 🤍🤍🤍🤍🤍🤍🤍🤍🤍🤍
Chira Amaive: 🤍🤍🤍🤍🤍🤍🤍🤍🤍🤍
total 3 replies
Ucu Borneo.
nice...
Chira Amaive: 🤍🤍🤍🤍🤍🤍🤍🤍🤍🤍
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!