Berselang dua minggu sejak dia melahirkan, tetapi Anindya harus kehilangan bayinya sesaat setelah bayi itu dilahirkan. Namun, Tuhan selalu mempunyai rencana lain. Masa laktasi yang seharusnya dia berikan untuk menyusui anaknya, dia berikan untuk keponakan kembarnya yang ditinggal pergi oleh ibunya selama-lamanya.
Mulanya, dia memberikan ASI kepada dua keponakannya secara sembunyi-sembunyi supaya mereka tidak kelaparan. Namun, membuat bayi-bayi itu menjadi ketergantungan dengan ASI Anindya yang berujung dia dinikahi oleh ayah dari keponakan kembarnya.
Bagaimana kelanjutan kisah mereka, apakah Anindya selamanya berstatus menjadi ibu susu untuk si kembar?
Atau malah tercipta cinta dan berakhir menjadi keluarga yang bahagia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon De Shandivara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6. Yang Dibutuhkan
Suasana sudut rumah sakit itu begitu hening dan nyaris hampa, tidak ada suara apapun yang terdengar selain suara memilukan dari suara detak jantung yang lemah yang terdengar dari sebuah monitor alat pendeteksi vital di samping tubuh para balita yang sedang sekarat dalam keadaan koma.
Seorang wanita paruh baya tidak hentinya menangis menatap dari luar jendela kamar rawat itu. Dia tidak bisa menahan diri untuk terus merutuki sesuatu yang seharusnya bisa dijadikan solusi atas permasalahan yang terjadi, “Ini tidak bisa dibiarkan, Ansha dan Chesa membutuhkan seorang ibu,” ucap wanita berusia akhir 50 tahunan itu.
Bagi ayah muda dua anak itu, akhir-akhir ini harinya sudah cukup berat untuk mengurusi kehidupannya dan anak-anaknya. Jadi, tidak perlu menanggapi gagasan sang ibu yang berulang kali membujuknya untuk menikah lagi dengan alasan yang sama dan berjuta kali telah dia dengar permintaan dan dengan kalimat yang sama. Bahkan, semua kalimat ibunya itu sudah khatam di telinga Arsatya.
"Satya gak mau, Bu," jawab putra semata wayangnya itu.
“Kamu harus menikah demi kesembuhan anak-anakmu, demi cucu-cucuku,” kata Ranti lagi tidak ada habisnya.
“Nggak, Ma. Baby sitter yang kita pekerjakan sudah cukup. Mereka hanya sedang sakit, ini tidak ada hubunganya apakah mereka membutuhkan ibu atau tidak,” bantah Arsatya di depan ruang perawatan intensif di mana kedua anaknya berada di dalamnya.
“Mereka bukan sekadar membutuhkan sosok Ibu, tetapi ASI-nya. Tidak ada yang bisa masuk ke dalam perutnya selain daripada ASI,” kata Ranti yang tidak tidak bisa tenang di melihat pemandangan cucu-cucunya yang terbaring di ranjang kesakitan.
“Selama ini mereka tidak minum ASI pun tetap sehat saja,” kata Arsatya yang belum mengetahui kebenarannya.
“Selama ini mereka diberi ASI,” ujar Ranti.
Arsatya yang kebingungan, lantas berbalik menatap ibunya, “ASI siapa?”
“Anindya,” ucap Ranti tanpa ada keraguan.
Deg!
Seketika seluruh indra di tubuhnya seakan hilang fungsi dan sel-sel tubuhnya mati, Arsatya tidak bisa berkata-kata, dia hanya diam membeku dengan matanya yang meneteskakan satu air mata. Arsatya baru menyadari kebenarannya bahwa selama ini anak-anak mereka menjadi penurut dengan adik iparnya karena ASI yang wanita itu berita. Dan dia menyadari bahwa beberapa hari setelah Anindya pergi, satu per satu peristiwa tidak diharapkan terjadi pada kedua putrinya.
Secara tidak langsung kedua putrinya sudah ketergantungan dengan Anindya.
“Dia yang mereka butuhkan,” ucap Ranti menegaskan.
Beberapa minggu berlalu, Anindya menjalani dengan berat dan hati yang tidak tenang. Sesuatu mengusik jiwa dan pikirannya, ditambah lara yang dia rasakan nyata di bagian dadanya di kala pagi dan malam harinya yang kerap dia rasakan dan kian menyiksa.
Di depannya hanya ada benda pipih yang menyatu dengan keyboard dan didampingi dengan secangkir air es latte pekat yang menemani pikirannya yang gelap. Tidak lain karena jiwa dan pikirannya hanya tertuju pada keadaan dua keponakan bayinya yang dia tinggalkan dan tidak bertukar kabar sama sekali setelahnya.
“Mungkin mereka tidak membutuhkanku,” pikirnya saat mulai teringat pada dua keponakan lucunya.
Harusnya, semester ini adalah akhir dari masa studinya sebelum dinyatakan lulus dari prodi kedokteran gigi yang dia tempuh hampir empat setengah tahun itu.
Namun, berkali-kali fokusnya terpecahkan karena ada hal lain yang menjadi fokusnya selain daripada karya tulis ilmiah yang harus dia rampungkan sebagai syarat mendapat gelar sarjana.
“Halo, Assalamualaikum, Tan. Iya, hanya ingin tahu bagaimana kabar Ansha dan Chesa, mereka baik?” tanya Anindya ramah setelah memutuskan untuk menelepon oma dari keponakannya.
“Apa?! Benarkah? Kritis?!” semua orang di dalam kafetarian kampus di fakultasnya menatap cemas pada Anindya yang menyerukan kata kritis dengan suara yang begitu lantang.
“Ya, Tante. Anin ke sana sekarang!” cetusnya tidak mempertimbangkan apapun lagi, bahkan dia melupakan tugas skripsinya yang masih stuck di bab 3.
Anindya tiba di kota kelahirannya saat hari telah gelap. Namun, dengan kemampuan gerak yang dia bisa, dia ingin segera sampai di rumah sakit dan melihat si kembar. Jika saja dia diberi satu permintaan, ia akan meminta jurus jitu untuk berteleportasi dan dapat berpindah tempat dalam satu kejapan mata.
“Tante, Mas Satya?! Apa yang terjadi pada mereka?” Napasnya tercekat-cekat, tetapi ada sedikit kelegaan saat dia berhasil menemukan ruangan tempat si kembar di rawat.
“Mereka di dalam, Nin,” jawab Ranti yang langsung bangkit dan menangis memeluk Anindya yang baru saja tiba.
“Sudah seminggu mereka kritis. Mereka masih bayi, tetapi harus mengalami hal seperti ini. Tubuhnya tidak mau merespons, lihatlah mereka, Nak. Dokter bilang, kemungkinan kecil untuk pulih kembali dari komanya. Tante yakin, pasti mereka hanya menunggu sentuhanmu. Sebelumnya, mereka hanya dehidrasi, tapi mengapa bisa sampai seperti ini,” Ranti mengadu di pelukan Anindya.
Lutut Anindya dibuat lemas seperti tidak bertulang setelah mendengar penuturan Ranti. Matanya sudah tidak bisa dikonsidikan lagi saat melihat kondisi kedua keponakannnya di depan matanya. Dalam keadaan steril, Anindya masuk ke dalam ruangan itu. Membungkuk dan membisikan sesuatu di telinga keduanya bergantian.
“Peri-peri cantiknya, Onty. Kalian anak yang kuat, sekarang Onty ada di sini, ayo kita mengobrol lagi, bermain bersama lagi, Nak. Onty sedih melihat kalian sakit seperti ini. Bangunlah, maka Onty akan selalu ada di sisi kalian,” kata Anindya yang sudah banjir air mata. Telapak tangannya teratur menepuk pelan dada keduanya, tiba-tiba dari elektrokardiogram terdengar bunyi yang memekik melonjak naik dengan satu garis lurus yang terlihat di layar monitor tersebut. Jelas, orang awam pun paham apa arti garis lurus melintang di layar monitor itu.
Anindya panik, semua orang yang berada di sekitar ruangan itu panik. Arsatya dengan sigap memanggil dokter yang menangangi kedua putri kembarnya. Suasana menjadi tegang dan jemari Anindya bertautan dengan Ranti yang gemetar hebat tidak terkendali.
Arsatya hanya bisa berdoa untuk hasil terbaik putri kembarnya.
Dokter keluar setelah pemeriksaan dilakukan.
“Dok, bagaimana kondisi anak-anak saya?”
Embusan napas terdengar mengembus keras, “Tuhan mempunyai rencana lain, setelah sempat dekat jantungnya berhenti. Bayi Ansha dan Chesa, keduanya berhasil melewati masa krisisnya. Puji syukur, kedua putri bapak sudah siuman dan secara signifikan kondisinya membaik,” ujar sang dokter dengan senyum kelegaan.
Arsatya, dia yang semula sudah pasrah atas apa saja yang mungkin terjadi, lantas menghempaskan tubuhnya di kursi tunggu dan menyandarkan punggungnya dan dapat menghela napas dengan lega.
"Terima kasih, Ya Allah. Aku tidak sanggup jika harus kehilangan untuk yang kesekian kalinya," ucap ayah dua anak itu.
maaf ya thor
gak cmn mewek kak, gemes,kesel pokoknya nano nano