Selama 4 tahun lamanya berumah tangga, tak sedikit pun Naya mengecap keadilan.
Hidup satu atap dengan mertua begitu menyesakkan dada Naya, dia di tuntut sempurna hanya karena dia belum bisa memberikan keturunan. Di sepelekan, di olok-olok oleh mertua dan juga iparnya. Sang suami cuek dengan keluh kesahnya, bahkan dengan teganya ia menikah kembali tanpa meminta izin dari Naya selaku istri pertama.
Daripada di madu, Naya lebih baik mengajukan gugatan perceraian. siapa sangka setelah ketuk palu, dirinya ternyata sudah berbadan dua.
Bagaimana kehidupan yang Naya jalani setelah bercerai, akankah dia kembali pada mantan suaminya demi sang buah hati?
"Jangan sentuh anakku! Berani menggapainya itu sama saja dengan mempertaruhkan nyawa." Naya Suci Ramadhani.
Woowww... bagaimana kah karakter Naya? apakah dia lemah lembut? atau justru dia adalah sosok perempuan yang tangguh.
Yuk, simak ceritanya jangan sampai ketinggalan 👉
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reni mardiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kembali bertemu
Selepas kepergian Egi, Naya masuk ke dalam kontrakannya dan membersihkan sisa debu di lantai dengan kekuatannya yang masih tersisa.
Tak berselang lama, seorang driver mengantarkan makanan atas nama Naya dan makanan tersebut tentunya sudah di bayar oleh Egi. Nya pun menerima makanannya dan bergegas makan sekaligus minum obatnya, setelah itu ia merenung sejenak memikirkan hal apa yang akan ia ambil untuk nantinya.
"Aku gak boleh diam saja, sekarang juga aku akan pergi ke pengadilan agama." Tekad Naya sudah benar-benar untuk bercerai dari Sendi, ia menatap berkas yang masih berada di dalam map berwarna hijau.
Naya menyambar tas miliknya dan juga membawa berkas-berkas yang di perlukan untuk mengajukan gugatannya, tidak peduli badannya masih lemah dan juga kepalanya pusing, yang pastinya ia tidak mau menundanya lagi.
"Pak, kalau misalkan ada yang kirim kasur saya minta tolong simpan saja dulu di depan kontrakan saya." Ucap Naya memberi pesan kepada Badar.
"Memangnya kamu mau kemana? Bukannya lagi sakit?" Tanya Badar.
"Alhamdulillah, sudah mendingan kok. Saya ada urusan dulu sebentar." Jawab Naya.
"Baiklah kalau begitu, hati-hati di jalannya. Kalau ada apa-apa kamu bisa hubungi saya, sini hpnya biar saya tulis nomor telponnya." Ucap Badar.
Naya menyerahkan ponselnya kepada Badar, teman ayah mertuanya itu segera menulis nomor telpon miliknya dan Naya pun pamit undur diri ketika semuanya sudah dirasa beres.
*****
Di tempat lain.
Arzan kini sudah terlihat tenang, tapi raut wajahnya yang biasa ceria dan banyak senyum itu sudah tidak ada lagi, ia memasang wajah dingin nan datar serta lebih banyak diam. Mengobrol dengan orangtuanya saja seperlunya, adik-adiknya juga ikut murung karena kakak yang selalu menghibur mereka sudah tidak ada lagi, hanya raganya saja yang terlihat tidak dengan jiwanya.
Nakula berjalan masuk ke dalam kamar kakak sulungnya, ia menatap sekeliling kamar yang terlihat seperti kamar hantu. Sunyi, sepi, gelap meskipun barangnya tertata rapi. Foto-foto Karina memenuhi ruang kamar Arzan, cintanya yang begitu besar sampai kenangan kecil yang ia miliki pun di simpannya dengan baik.
"Kakak." Panggil Nakula.
Arzan yang tengah berdiri di depan jendela menoleh ke belakang melihat adik lelakinya, sedetik kemudian ia kembali menatap keluar.
"Kakak, kapan kita main perang-perangan lagi? Aku juga mau jadi bajak laut, gapapa nanti di marahin Mama karna sering ngambil C* Mama buat tutup matanya, yang penting aku main sama Kakak." Ucap Nakula dengan pelan.
"Main sama Papa saja, kakak sibuk!" Ucap Arzan dingin.
"Kakak, aku mau sama Kakak mainnya." Rengek Nakula.
"Keluar." Usir Arzan sama sekali tak menanggapi rengekan Nakula.
Nakula memasang wajah kecewanya, lagi-lagi ia di usir oleh kakaknya sendiri.
"Kakak jahat!" Pekik Nakula sambil berbalik meninggalkan Arzan yang masih betah menatap jendela.
Arzan memejamkan matanya, hatinya terasa berantakan dan hal itu memicu reaksi emosionalnya sehingga ia tak bisa mengendalikan dirinya.
"Maaf, Kula." Lirih Arzan.
Bukan tanpa alasan Arzan menolak ajakan Nakula, ia tak mau menyakiti adik bungsunya karena sikapnya yang sewaktu-waktu bisa marah ketika sekelebatan bayangan penyesalannya melintas di pikirannya.
Nakula berjalan menuruni anak tangga sambil menangis, Nando yang melihat itu pun ia menghampiri si bungsu.
"Hey, es kul-kul. Kenapa nangis, bro?" Tanya Nando merangkul bahu Nakula dengan celetukan khasnya.
"Huhu... Udah di bilangin namaku Nakula, bukan es kul-kul!" Protes Nakula semakin jadi tangisannya.
"Serah Papa lah, yang kasih nama siapa? Bebas dong." Ucap Nando enteng.
"Hiks... Papa. Kapan kakak bisa main lagi sama Nakula? Aku mau main seru-seruan lahi sama kakak." Rengek Nakula.
"Sama Papa kan bisa, yuk kita main masak-masakan." Ajak Nando sambil meledek Nakula.
"Papa!" Kesal Nakula sambil menghentakkan kakinya.
"Hahaha.."
Nando tertawa dengan lebar, ia menyuruh Nakula naik ke punggungnya dan ia membawanya keluar dari rumah, keduanya masuk kedalam mobil.
"Mau kemana?" Tanya Nakula.
"Kita ke rumah Bumi, biar kamu ada temennya sekalian ajak si Bima anaknya temen bisnis Papa."Jawab Nando.
Nakula pun mengusap air matanya, ia cukup senang karena selain ada teman ia juga dapat bertemu dengan Kejora yang sudah dianggap kakak sendiri.
Selepas kepergian Nando dan Nakula, Arzan berjalan menuruni tangga sambil menggenggam kunci mobilnya.
"Tuan muda, mau kemana?" Tanya Mbok Inah.
"Pergi." Jawan Arzan singkat.
"Tap---"
Ucapan Mbok Inah terputus begitu Arzan memberi kode menggunakan tangannya agar Mbok Inah diam, ia pun kembali melanjutkan langkahnya keluar dari dalam rumah.
"Hari ini adalah hari dimana tiga tahun lalu kamu menerimaku, aku akan membawakan hadiah seperti biasanya." Guman Arzan.
Arzan masuk ke dalam mobilnya, ia melajukan kendaraannya meninggalkan area rumah.
Zoya dan anak keduanya tengah mempersiapkan peragaan busana yang akan di tampilkan esok hari, di sele kesibukannya pikiran mereka selalu tertuju pada Arzan.
"Ma, kakak di rumah gimana ya? Kok aku khawatir terus ya semenjak Kakak berubah." Ucap Laila.
"Kalau ada apa-apa pasti Papa juga ngabarin, mending kita beresin dulu kerjaannya biar bisa cepet pulang." Ucap Zoya.
Arzan menghentikan mobilnya tepat di depan toko bunga, ia membeli bunga tulip kesukaan Karina serta bunga mawar putih.
Ketika sudah selesai membayar, Arzan keluar dari toko bunga tersebut dan ..
Brughhh...
"Sshhh, awww..." Ringis seseorang yang tak sengaja Arzan tabrak karena tak fokus berjalan.
Bunga yang baru saja Arzan beli jatuh keatas tanah, ia membulatkan matanya dan segera mengambil kembali mengambil bunganya.
"Heh, kalau jalan tuh liat-liat dong!" Kesalnya pada Arzan.
"Salah sendiri lah, badan kecil kayak pentul korek ya mana kelihatan. Liat nih bunganya jadi kotor!" Ucap Arzan tak terima.
"Bunga bisa beli lagi, badan kayak jelangkung gitu nabrak gue yang kecil apa gak ngejengkang! Kalau sampai kepalanya kebentur sampe berdarah gimana, mau tanggung jawab?!" Hardik Naya sambil berusaha membersihkan celananya yang kotor.
"Berisik!" Ketus Arzan.
Begitu Arzan hendak pergi Naya menahan tangannya, ia menatap tajam Arzan yang juga ikut menatap tajam pula pada tangan yang di pegang Naya.
"Lu punya adab gak sih? Udah salah, minta maaf juga enggak!" Protes Naya.
"Bodo amat, emang gue pikirin!" Cuek Arzan sambil menghempaskan tangannya.
"Eh bentar, lu bukannya yang mau bundir di jembatan itu kan?" Tanya Naya begitu mengingat wajah Arzan yang terasa familiar di ingatannya.
"Kok?" Heran Arzan.
"Bener kan?" Naya kembali memastikan.
"Jadi, loe yang peluk-peluk gue? Pantesan badan gue gatel. Gak bisa, gak bisa! Gue harus mandi 7x biar bersih."Ucap Arzan sambil mengusap-usap lengannya.
Bug.. Bug...
Naya memukul punggung Arzan menggunakan map yang ada di tangannya, bukannya mengucapkan terimakasih justru Arzan malah menganggapnya sebagai najis.
"Gue gak sehina itu ya. Bukannya bilang makasih malah hina orang, dasar orang gila!" Kesal Naya.
"Diam gak lu, dasar pentul korek!" Ucap Arzan tak mau kalah.
Naya kembali memukul punggung Arzan dengan rasa kesalnya, ia pun pergi begitu saja meninggalkan Arzan yang menggerutu dengan tingkah Naya.
Arzan menatap bunganya, namun netranya menangkap sebuah fotokopi kartu identitas di bawah dan mengambilnya.
"Naya." Gumam Arzan.