Kathleen tidak pernah menyangka bahwa rasa penasaran bisa menyeret hidupnya ke dalam bahaya besar!
Semua berawal dari kehadiran seorang cowok misterius di kelas barunya yang bernama William Anderson. Will memang selalu terkesan cuek, dingin, dan suka menyendiri. Namun, ia tidak sadar kalau sikap antisosialnya yang justru telah menarik perhatian dan membuat gadis itu terlanjur jatuh hati padanya.
Hingga suatu hari, rentetan peristiwa menakutkan pun mulai datang ketika Kathleen tak sengaja mengetahui rahasia siapa William sebenarnya.
Terjebak dalam rantai takdir yang mengerikan, membuat mereka berdua harus siap terlibat dalam pertarungan sesungguhnya. Tidak ada yang dapat mereka lakukan lagi, selain mengakhiri semua mimpi buruk ini sebelum terlambat!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rivelle, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
24 - Sikap aneh.
“Kathleen, ini ponselmu.” Jillian mengambilkan ponselku yang tergeletak di lantai. Layarnya jadi sedikit retak gara-gara sempat terlepas dari genggaman tanganku.
“Ah, ya. Terima kasih, Jill.”
“Yeah, lain kali kau harus lebih berhati-hati.”
Aku mengiyakan kemudian lekas berjalan masuk ke kelas.
Saat tiba di sana, kulihat Natalie ternyata sudah datang duluan. Ia duduk di tempat favoritnya, pojok kiri barisan kedua. Aku lebih suka duduk di barisan ketiga karena posisinya tidak terlalu depan sementara William duduk di kursi paling belakang. Ia sekilas tampak sibuk dengan semua kertas yang berserakan di mejanya.
“Kau dari mana saja, Kathleen? Aku sudah menunggumu dari tadi,” protes Natalie. Ia mengerucutkan bibirnya.
“Aku tadi mengambil buku tugas dulu di loker lalu ....”
“Lalu apa?” selanya sebab aku enggan melanjutkan kalimatku yang belum selesai.
Aku mengibaskan tangan. “Ah, tidak apa-apa. Lupakan saja.”
Selang beberapa menit kemudian, Mr. Osborne pun melangkah masuk ke dalam ruang kelas. Pelajaran langsung dimulai dengan pengumuman nilai dari kuis mendadak yang diadakan sewaktu minggu kemarin. Seperti biasa, nilai William selalu paling tinggi di antara murid-murid lain. Ia mendapat nilai sempurna sedangkan nilaiku sendiri dan Natalie tidak beda jauh. Kami mendapat nilai pas rata-rata.
Di saat guru dengan kemeja kotak-kotak itu sedang sibuk menerangkan materi baru, aku mencoba curi-curi kesempatan untuk mengarahkan cermin kecil yang kubawa ke wajah William. Terus terang aku masih bingung dengan sikapnya tadi. Untung saja usahaku ini tidak sia-sia. Kuperhatikan Will ternyata sedang menatapku dari belakang. Mata kelabunya memancarkan tatapan hangat yang lembut.
Aku tidak bisa menyembunyikan senyuman di bibirku. “Kenapa kau baru mengatakannya sekarang, Will? Kau tahu, aku juga menyukaimu ...,” gumamku sembari mengusap-usap cermin yang memantulkan bayangan wajahnya.
Sedetik kemudian, aku terkesiap ketika mendengar suara bel pergantian kelas yang berbunyi sangat nyaring.
“Baiklah, materi kita hari ini selesai sampai di sini,” ujar Mr. Osborne. Ia menurunkan kacamatanya, “Jangan lupa untuk tugas membuat jurnal dikumpulkan paling lambat besok. Bagi yang terlambat mengumpulkan, siap-siap saja kalian tidak akan lulus tahun ini. Paham?”
Aku menelan ludah, tenggorokanku rasanya tersumbat. “Tamatlah riwayatku!”
Natalie lantas berbalik menghadapku sembari membenahi barang-barangnya. “Kathleen, pulang sekolah nanti—”
“Lusa saja. Aku ada perlu,” potongku ketika melihat William keluar dari ruangan.
Tak jera sudah jatuh tergelincir, aku tetap saja masih berusaha kembali mengejar cowok itu. Situasi koridor saat ini tampak ramai karena ada banyak siswa lain yang mondar-mandir untuk pindah ke kelas selanjutnya juga. Aku berhenti berlari, mengatur napas sejenak sembari menoleh ke sekeliling.
Will menghilang lagi dari pandanganku. Ke mana perginya dia?
Di jadwal pelajaran hari ini, seingatku setelah kelas filsafat adalah kelas Bahasa Inggris. Itu berarti kemungkinan besar William sekarang sudah pergi duluan ke ruang kelas pokok di gedung utama.
“Ya, benar. Will pasti ada di sana!” kataku berpikir optimis.
Namun, rupanya tebakanku salah. Sewaktu aku sampai di kelas pokok, ternyata hanya baru ada beberapa orang saja yang hadir dan William tidak termasuk. Ia belum datang. Tempat duduknya juga masih kosong—tidak ada buku pelajaran atau ransel hitam yang sering ia pakai.
“Kau mencari William?” tanya Billy, salah satu cowok berkulit eksotis yang duduk tidak jauh dariku. Sepertinya ia heran mendapati diriku yang terus mondar-mandir, mencari cowok bertubuh semampai itu sejak tadi.
Aku mengangguk. “Apa kau melihatnya?”
“Hm, kalau tidak salah, aku tadi sempat melihatnya sedang mengobrol bersama Jillian di depan lab kimia.”
“Jillian?” Keningku berkerut samar.
“Yeah, cewek berambut bob yang menolongmu saat jatuh tadi,” balasnya.
“Oh, baiklah. Terima kasih.”
“Sama-sama.”
Aku pun duduk di tempatku lagi sambil menggaruk kepala dengan bingung. Ini aneh. Sedang apa William mengobrol dengan Jillian? Setahuku, Will adalah tipe orang yang sangat sulit untuk diajak bersosialisasi. Sebenarnya bukan sulit, tetapi ia memang enggan ketika diajak berkompromi dengan orang lain.
Selang beberapa saat menunggu, William akhirnya datang sembari membawa sebuah buku bersampul oranye di tangannya. Ia berjalan melewatiku begitu saja dan langsung duduk di bangku tempatnya biasa duduk. Jauh dalam benakku, selalu ada banyak pertanyaan tentang seorang cowok yang terkenal memiliki julukan kulkas dua pintu ini.
Aku menghadap ke samping, mengamati dirinya yang kini sedang fokus menorehkan tinta hitam pada buku itu. “Hai! Apa kau sedang sibuk?” tanyaku memulai percakapan.
Ia tidak menjawab. Mulutnya terkatup rapat dan tangannya masih melanjutkan guratan-guratan angka disertai simbol-simbol rumus yang sudah ada di luar kepala.
Aku mengulum bibir. “Umm, ada sesuatu hal yang ingin kukatakan padamu, Will.”
Cowok itu melirikku sepintas. “Katakan saja.”
“Aku tidak ingin mengatakannya di sini. Bagaimana kalau saat jam istirahat saja di kafetaria? Kebetulan waktu itu kita juga belum sempat makan bersama, bukan?”
“Tidak bisa. Aku sibuk,” balasnya singkat menggunakan nada bicara yang terdengar sedikit ketus.
“Kalau pulang sekolah? Apa kau masih—”
William menggeleng, bahkan sebelum aku selesai berbicara.
“Aku tidak akan lama-lama, Will. Lima menit saja. Kau benar-benar tidak ada waktu?”
“Tidak ada, kecuali untuk hal penting.”
“Tapi, kurasa ini juga adalah hal penting yang perlu kukatakan padamu.”
Ia kemudian berhenti menulis dan malah meletakkan penanya ke meja dengan kasar. “Kau tidak bisa menyamakan semua hal dengan seenak hatimu sendiri. Penting bagimu belum tentu juga penting bagiku, jadi jangan bersikap egois.”
“Egois?” imbuhku sambil mengerutkan dahi bingung. “Egois bagaimana maksudmu? Aku tidak mengerti.”
“Kau pikir hanya masalahmu saja yang penting? Sementara aku tidak?”
“B-bukan begitu. Kau jangan salah paham. Aku hanya ingin agar kau mendengarkan perkataanku dulu sebelum menilai itu penting atau tidak ....”
“Cukup, Kathleen. Kau ini kenapa? Aku juga tadi ‘kan sudah bilang kalau aku sedang sibuk. Apa kau masih tidak mengerti?” Kedua alis cowok itu saling bertautan dan ekspresi wajahnya berubah kesal. “Berhentilah merengek! Kau hanya akan membuang-buang waktuku dengan hal yang tidak berguna.”
Aku tercengang begitu mendengar ucapannya. Kenapa dia malah berkata seperti itu? Meskipun William terkenal cuek dan dingin, aku tidak pernah melihatnya berkata kasar dengan siapa pun, kecuali pada dua bocah tengik itu—James dan Henry. Tapi, sekarang? Mengapa Will tiba-tiba justru bersikap ketus lagi padaku?
***
Saat jam istirahat makan siang tiba, Arlene dan Natalie mengajakku pergi ke kafetaria untuk makan bersama. Sebenarnya, aku sudah tidak berselera makan—walau merasa lapar—karena kata-kata William tadi membuatku lumayan sakit hati.
“Kathleen, kau yakin tidak mau makan?” Natalie mencelupkan sandwich tuna-nya ke saus keju.
Aku menggeleng dengan tak bertenaga.
“Kau terlihat muram sekali hari ini. Apa Steve membuat gara-gara lagi padamu?” sambung Arlene ikut bertanya.
“Tidak, bagusnya hari ini dia belum berulah,” lirihku sembari mengaduk-aduk secangkir kopi pesananku dengan lesu.
“Lalu sekarang kau kenapa? Biasanya kau ceria.”
Kuhembuskan napasku pelan. “Aku tidak apa-apa. Kau tidak perlu khawatir.”
Arlene menoleh ke arah Natalie dan Natalie pun cuma bisa mengangkat bahu.
Setelah kupikir-pikir lagi, tadi aku memang terkesan agak memaksa William untuk menuruti kemauanku sendiri. Jadi, kuanggap wajar kalau dia sekarang marah padaku. Barangkali juga aku ada salah bicara dan sudah membuatnya tersinggung.
Akan tetapi, semua asumsiku itu langsung terpatahkan waktu aku melihat William makan berdua di satu meja bersama Jillian. Cowok itu tadi bilang sedang sibuk, tapi sekarang ia malah asyik bersenda gurau di tengah ramainya suasana kafetaria dengan gadis itu. Will bahkan terlihat begitu antusias dan beberapa kali tersenyum manis ketika Jillian menceritakan sesuatu padanya. Well, mungkin topik pembicaraan mereka memang jauh lebih penting sampai-sampai aku teracuhkan olehnya.
Sadarlah, Kathleen! Buat apa aku cemburu? Lagi pula, aku juga tidak berhak melarangnya dekat dengan siapa pun.