Lisna seorang istri penyabar dan tidak pernah mengeluh pada sang suami yang memilih menganggur sejak tahun ke tiga pernikahan mereka. Lisna dengan tulus menjadi tulang punggung keluarga.
Setelah tujuh tahun pernikahan akhirnya sang suami terhasut omongan ibunya yang menjodohkannya dengan seorang janda kaya raya. Dia pun menikahi janda itu atas persetujuan Lisna. Karena memang Lisna tidak bisa memberikan suaminya keturunan.
Namun istri kedua ternyata berhati jahat. Dia memfitnah Lisna dengan mengedit foto seakan Lisna sedang bermesraan dengan pria lain. Lagi lagi suaminya terhasut dan tanpa sadar memukul Lisna bahkan sampai menceraikan Lisna tanpa memberi kesempatan Lisna untuk menjelaskan.
"Aku pastikan ini adalah air mata terakhirku sebagai istri pertama kamu, mas Fauzi." Ujarnya sambil menghapus sisa air mata dipipinya.
Bagaimana kisah selanjutnya?
Saksikan di serial novel 'Air Mata Terakhir Istri Pertama'
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RahmaYesi.614, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sabarnya Lisna
Fsuzi pulang pukul tujuh pagi dan Lisna sudah tidak dirumah. Dia sudah berangkat ke kantor.
"Maafkan aku, Lisna sayang."
Fauzi merasa bersalah karena tidak menjawab panggilan dan juga tidak membalas pesan istrinya itu sejak semalam.
Langkah kakinya membawanya ke dapur, tangannya menyingkap tudung saji dan mendapati makanan sudah siap sedia seperti biasa. Bahkan di bawah mangkok sambel, Lisna menyelipkan dua lembar uang seratus ribu.
"Apa Lisna sudah gajian, ya. Tapi biasanya gajian tanggal dua dan ini baru tanggal satu.." Gumamnya mengambil uang tersebut.
Drriitttt…
Handphonenya bergetar, panggilan masuk dari Wulan. Fauzi mendapat kontak Wulan dari mamanya tadi malam. Dan alasan dia tidak menjawab panggilan dan pesan Lisna, karena asik chattingan dengan Wulan hampir semalaman.
"Halo, Wulan." Jawabnya langsung dengan wajah berseri seri.
"Aku baru tiba di rumah. Kamu udah di kantor ya?"
Fauzi tersenyum senang mendengarkan celoteh Wulan di seberang sana.
"Makan siang di Retoran? Siang ini... mmh.. boleh. Nanti aku jemput kamu ke perusahaan atau gimana?"
Dia melangkah meninggalkan dapur untuk menuju kamarnya.
"Jangan deh, kalau kamu jemput aku ke sini nanti ada yang julid dan malah ngasih tahu Lisna. Aku belum siap untuk ngasih tahu Lisna tentang kita secepat ini, sayang." Tolaknya dengan suara pelan.
"Kita bertemu langsung di restoran saja ya... Iya sayang, bye muachh.."
Begitu pembicaraan berakhir, Fauzi langsung merebahkan tubuhnya diatas kasur dan dia pun tertidur lelap. Maklum saja hampir semalaman dia tidak tidur karena chattingan mesra panjang lebar dengan Wulan, bahkan sampai saling panggil sayang sayangan.
Sementara itu, Lisna di kantor sedang sangat kerepotan dengan segala pekerjaanya yang tiba tiba menumpuk, karena keteledoran karyawan magang tiga bulan lalu. Kekeliruan laporan yang dibuat oleh karyawan magang itu, baru hari ini disadari oleh atasannya dan semua kesalahan itu dilimpahkan pada Lisna.
Satu jam…
Dua jam…
Tiga jam…
Bahkan kini jam sudah menunjukkan pukul dua, dan Lisna belum sempat untuk makan siang dan sholat sebentar saja. Itu karena laporan itu harus di kirimkan ke pusat sore ini.
"Lis, kamu belum makan dan sholat, kan?" Sapa Gunawan, yang berprofesi sama dengannya, tapi Gunawan lebih tinggi pangkatnya diatas Lisna.
"Iya, pak. Tapi ini belum selesai."
"Biar sini saya bantu, kamu pergi sholat sama makan dulu sana."
"Benaran pak?"
"Iya. Gih cepatan sana…" Tukas Gunawan dengan wajah datarnya.
Gunawan terkenal sebagai duda keren yang dingin atau kulkas dua pintu di perusahaan. Tapi, tidak berlaku jika bersama Lisna. Gunawan menjadi sangat perhatian dan suka lebih dulu mengajak Lisna ngobrol. Itu karena diam diam Gunawan menaruh hati pada Lisna, namun sayang Lisna sudah bersuami, jadi dia harus hati hati agar tidak ketahuan oleh Lisna tentang hatinya.
Lisna sudah tiba di mushola kecil di bagian belakang kantor. Dia sholat sebentar, lalu makan siang sedikit saja. Karena masih dalam masa menjaga pola makan meski sudah tidak teratur, karena sudah lewat waktu.
"Huh, sepertinya sulit untuk memperbaiki hormonku jika terus terusan seperti ini. Mana pikiranku juga mumet... Ya Allah."
Sebentar Lisna menarik napas dalam dalam, lalu menghembuskannya secara perlahan. Kegiatan itu diulanginya hingga tiga kali.
"Sabar Lisna.. kamu harus bisa sabar.. sabar… sabar… Aku harus sabar. Bismillah." Gumamnya memberi semangat pada dirinya sendiri.
*
*
*
Fauzi dan Wulan baru saja selesai makan siang. Mereka keluar dari restoran dengan bergandengan tangan dan saling tertawa bahagia.
"Mmm.. ayang mau nggak jadi supir pribadi aku?" Tanya Wulan saat mereka tiba di parkiran.
"Kamu serius, yang?"
"Iya aku serius. Habisnya kamu nggak mau aku tawari kerja di perusahaan. Tapi, aku juga nggak mau kalau kita jauhan lagi." Ocehnya.
"Oke aku setuju jadi sopir pribadi ayang."
Wulan tersenyum senang. "Soal gaji, kita bicarakan nanti di mobil saja ya, yang."
"Iya. Tapi benar loh, yang. Aku butuh gaji, nggak perlu banyak asal cukup lah untuk beli rokok dan bensin motorku."
"Iya sayang, itu mah gampang." Ucap Wulan.
Kini mereka tiba di dekat mobil Wulan, dia menyuruh Fauzi menyetir untuk mengantarnya kembali ke perusahaan. Sementara motor Fauzi di bawa oleh abang bengkel untuk diantarkan ke rumah Wulan.
Sepanjang perjalanan menuju perusahaan, Wulan banyak bertanya tentang Lisna.
"Istri kamu itu kerja dimana sih, yang?"
"Lisna kerja di PT Jati."
"PT Jati pusat?" Tanya Wulan dengan ekspresi terkejut.
"Bukan, dia karyawan bagian administrasi di PT Jati cabang."
Wulan mengangguk paham dan wajahnya kembali normal. "Kirain dia di perusahaan pusat.
"Memangnya kenapa kalau dia kerja di pusat?"
"Ya nggak apa apa, cuma nanya aja."
"Benaran nggak ada apa apa?"
"Iya, ayang. Benaran nggak ada apa apa kok." Dia merebahkan kepalanya di pundak Fauzi dengan nyaman.
"Cantikan mana aku sama istri kamu, yang?"
Wajah Fauzi tampak kurang suka mendengar pertanyaan Wulan. Karena memang Fauzi tidak suka membanding bandingkan fisik seseorang.
"Kalian sama sama cantik dengan pesona kalian masing masing kok, yang." Jawabnya jujur.
"Kamu memang nggak pernah berubah. Dari dulu tidak pernah membanding bandingkan fisik seseorang." Puji Wulan.
"Ya karena Allah menciptakan manusia berbeda beda tentu saja dengan kelebihan dan kekurangan mereka masing masing, yang."
"Iya deh…" Memberi ciuman di pipi Fauzi dan itu membuat Fauzi terkejut.
Entah mengapa setelah dicium oleh Wulan, Fauzi malah teringat pada Lisna. Rasa bersalah mulai menghantuinya. Tidak mudah bagi Fauzi untuk melupakan Lisna istri terbaik baginya. Tapi Wulan adalah pacar pertamanya dan mereka dulu saling mencintai, lalu berpisah karena terhalang restu papa Wulan.
"Ayang mau kan nikahin aku. Seperti janji ayang dulu." Suara Wulan membuyarkan lamunan Fauzi.
"Aku akan menikahi kamu, tapi belum dalam waktu dekat, yang. Beri aku waktu untuk bisa menceritakan tentang hubungan kita sama Lisna. Aku belum berani memberitahunya."
"Ya, aku paham. Aku mengerti kok posisiku disini hanya sebagai selingkuhan." Rutuk Wulan.
Dia merasa sakit dan kesal bersamaan mendengar penuturan Fauzi yang seakan sangat menjaga perasaan Lisna.
"Maafkan aku, Wulan." Fauzi menyentuh punggung tangan Wulan dengan lembut.
Namun, Wulan tidak berkutik. Dia masih terus mengalihkan pandangannya menatap keluar mobil.
Aku akan memastikan kamu mau menikah dengan aku, Fauzi. Jika Lisna tidak memberi izin untuk kita menikah, maka aku akan membuatnya mengizinkan kita menikah bagaimanapun caranya. Gumam Wulan dalam hatinya.
Sementara Fauzi masih terus mengelus punggung tangan kekasihnya itu untuk membujuknya.
Maafkan aku Wulan. Kamu memang memiliki hatiku, tapi aku tidak sanggup menyakiti Lisna. Dia satu satunya wanita yang mau menerimaku apa adanya meski aku suami yang pengangguran sekalipun. Dia terlalu baik untuk aku perlakukan dengan kejam. Bisik Fauzi dalam hatinya.
uh..ampun dah..
biarkan metrka berusaha dengan keangkuhanya dulu