Tak kunjung garis dua, Inara terpaksa merelakan sang Suami untuk menikah lagi. Selain usia pernikahan yang sudah lima tahun, ibu mertuanya juga tak henti mendesak. Beliau menginginkan seorang pewaris.
Bahtera pun berlayar dengan dua ratu di dalamnya. Entah mengapa, Inara tak ingin keluar dari kapal terlepas dari segala kesakitan yang dirasakan. Hanya sebuah keyakinan yang menjadi penopang dan balasan akhirat yang mungkin bisa menjadi harapan.
Inara percaya, semua akan indah pada waktunya, entah di dunia atau di akhirat kelak.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ika Oktafiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7. Ibadah terlama
Nara menoleh ketika mendengar pintu kamarnya terbuka. Dia tersenyum kala mendapati Arjuna tengah berdiri di ambang pintu sambil menatap Nara lekat.
"Kenapa, Mas?" tanya Nara lalu kembali fokus pada vas yang sedang Nara ganti dengan bunga baru. Sepulang dari restoran Sunda, Nara sempatkan untuk membeli bunga tulip kesukaannya.
Nara mendengar suara pintu tertutup disusul langkah kaki yang mendekat. Ekor mata Nara menangkap keberadaan Arjuna yang kini tengah memperhatikan dirinya.
"Bunga dari siapa, Ra?" tanya Arjuna penuh curiga.
Sontak saja pertanyaan tersebut membuat Nara meledakkan tawa. "Belilah, Mas. Aku tidak akan seperti kamu yang gampang menerima tawaran orang lain," sindir Nara penuh sarkasme.
"Jangan mulai, Ra," peringat Arjuna.
"Oh. Aku salah ya, Mas? Bukan orang lain, tetapi ibu sendiri." Seakan belum puas untuk membuat Arjuna marah.
"Nara ...." geram Arjuna kesal.
Wajah Nara kembali datar. "Kamu kenapa di sini? Malam ini kamu tidak boleh tidur bersamaku," ucap Nara lalu berjalan ke sisi ranjang.
"Kamu belum makan malam. Bagaimana bisa Mas tidur dengan tenang?" tanya Arjuna menghela napas lelah.
Nara menatap suaminya itu lekat. "Hanya karena makan kamu tidak bisa tidur tenang? Lalu, bagaimana tentang kamu yang menikah lagi dan menghabiskan malam bersama istri yang lain? Apakah kamu masih bisa tidur dengan tenang bila mengingat perasaanku?" Lagi-lagi Nara mengeluarkan kata-kata sarkas nya.
Arjuna menghela napas kasar. Tangannya bergerak mengusap wajah frustasi. "Maafkan Mas, Ra. Maaf," gumam Arjuna menyesali.
"Keluarlah, Mas. Nadya pasti sudah menunggu. Jangan sampai dia berpikir yang macam-macam karena kamu selalu mengunjungi kamarku setiap malam," titah Nara yang tidak lain adalah sebuah pengusiran.
"Tapi, Ra—"
"Mas!" peringat Nara tidak ingin mendengar protes dari sang Suami.
Suasana kamar mendadak hening. Keduanya sama-sama sibuk dengan pemikiran masing-masing. Hingga beberapa menit berlalu, Arjuna akhirnya kembali bersuara.
"Mas rindu kamu yang dulu, Ra. Kamu berubah," lirih Arjuna yang seketika membuat jantung Nara bagai berhenti untuk berfungsi.
"Tidak ada yang berubah dariku, Mas. Keadaan lah yang memaksaku untuk berubah. Jika aku tidak berubah dan sedikit menguatkan hati, aku tidak tahu apakah sampai hari ini bisa bertahan di sini." Nara pun mulai mengeluarkan segala keluh kesah yang ditanggungnya.
"Jika kamu tidak berubah, buktikan. Mas ingin dua hari lagi ketika giliran kamu tiba, tidak boleh ada waktu yang tidak Mas lalui tanpa kamu. Kamu harus ada dan menemani Mas bekerja sampai selesai lalu tidur," putus Arjuna begitu takut kehilangan Nara.
Nara tersenyum penuh haru. Jelas dia melihat ada raut takut ketika mengucapkannya. "Iya. Sekarang Mas harus kembali ke kamar Nadya," jawab Nara pada akhirnya.
Soal perdebatan masalah kamar telah teratasi. Arjuna sudah memutuskan jika Nara tidak akan pernah pindah kamar. Begitu juga Nadya yang tidak diizinkan untuk menggeser barang-barang milik Nara dari kamar tersebut.
Sebagai orang baru, Nadya tidak diizinkan untuk mengalahkan apapun yang sudah menjadi milik Nara. Semua memiliki porsi masing-masing. Beruntung, Nadya mau mengerti karena niat itu tidak dari Nadya sendiri, melainkan dari Bu Azni dan Antika.
Setibanya di kamar Nadya, Arjuna tidak menemukan istri keduanya itu. Arjuna menghela napas lega lalu memilih berdiri di depan jendela, menatap langit malam yang tampak suram.
"Kenapa akhir-akhir ini kamu begitu gelisah, Mas? Apa yang sebenarnya kamu rasakan?" Pertanyaan itu membuat Arjuna berjenggit karena sedang melamun. Dia pikir, Nadya sedang tak berada dalam kamar.
"Tidak ada," jawab Arjuna berbohong. Dia tidak memiliki keinginan untuk menceritakan tentang perasaanya terhadap Nara. Begitu pun sebaliknya. Arjuna takut karena curahan hatinya itu dapat menimbulkan perpecahan di antara Nara dan Nadya.
"Lalu kenapa kamu melamun?" tanya Nadya yang kini telah memeluk Nara dari belakang. Walau kurang nyaman, Arjuna berusaha bersikap se normal mungkin dan meyakinkan jika Nadya juga istrinya.
"Kamu tidak perlu tahu. Biar ini menjadi rahasiaku," jawab Arjuna masih teguh pada pendiriannya.
Arjuna merasakan kepala Nadya yang bersandar di punggungnya. Lalu, kecupan demi kecupan Nadya berikan pada punggung Arjuna yang masih tertutup kaos.
"Nadya—"
"Kenapa, Mas? Bolehkah kita mengulang malam itu lagi, Mas?" Nadya berucap manja.
Arjuna menarik napas lalu menghembuskannya lewat mulut. Jiwa laki-lakinya tidak bisa berbohong. Arjuna adalah pria normal.
"Mas ...."
Pada akhirnya, malam panas itu kembali terulang.
Sangat berbeda dengan kondisi Nara yang kini sedang terduduk di atas sajadah nya. Dia selalu memohon kedamaian dalam hatinya.
Semua yang menimpa Nara saat ini sudah kehendak Yang Maha Kuasa. Sebagai manusia, Nara hanya bisa berserah diri dan berusaha menerima ketentuan takdir.
"Ya Allah. Aku percaya jika apa yang saat ini menimpaku, merupakan bagian dari skenario-Mu. Entah cepat atau lambat, aku percaya akan menemukan hikmahnya."
"Ya Allah. Aku mohon semoga Engkau selalu menjaga suamiku dari perbuatan yang tidak baik. Lindungilah dia agar tetap adil menjalani kewajiban. Jika menurut-Mu memang ini ketentuan yang terbaik untuk diriku, aku terima Ya Allah. Aamiin."
Air mata Nara sudah jatuh berulangkali mengucap setiap kata yang terasa berat dilalui. Matanya sudah bengkak meratapi takdir hidup yang sulit sekali dijalani.
Hanya sebuah keyakinan yang bisa Nara pegang. Bahwa Tuhan tidak pernah tidur dan mendengar semua doa-doanya.
"Mungkin, orang lain banyak yang mengatakan aku bodoh karena bertahan dalam rumah tangga yang seperti ini. Mereka pasti akan mengatakan jika seumur hidup itu terlalu lama untuk dihabiskan dengan air mata."
"Namun, bukankah menikah merupakan ibadah yang paling lama? Biarlah aku bagai hidup di neraka sewaktu di dunia. Semoga saja, ketika ragaku tak lagi bernyawa, di akhirat kelak bisa tinggal di surganya Allah."
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
...mampir juga kesini yuk 👇👇...