Aluna Haryanti Wijaya, gadis lembut yang menikah demi menjaga kehormatan keluarga. Pernikahannya dengan Barra Pramudya, CEO muda pewaris keluarga besar, tampak sempurna di mata semua orang. Namun di balik janji suci itu, Aluna hanya merasakan dingin, sepi, dan luka. Sejak awal, hati Barra bukan miliknya. Cinta pria itu telah lebih dulu tertambat pada Miska adik tirinya sendiri. Gadis berwajah polos namun berhati licik, yang sejak kecil selalu ingin merebut apa pun yang dimiliki Aluna.
Setahun pernikahan, Aluna hanya menerima tatapan kosong dari suaminya. Hingga saat Miska kembali dari luar negeri, segalanya runtuh. Aluna akhirnya tahu kebenaran yang menghancurkan, cintanya hanyalah bayangan dari cinta Barra kepada Miska.
Akankah, Aluna bertahan demi cintanya. Atau pergi meninggalkan Barra demi melanjutkan hidupnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
16. Siapa ayah dari anak ini?
Mobil hitam itu berhenti di depan rumah sakit besar. Langkah Aluna terasa berat ketika ia menggandeng tangan kecil Raka, masuk ke dalam gedung yang dipenuhi aroma obat-obatan dan suara derap kaki para perawat.
Setiap detik jantungnya berdegup kencang, semakin kuat saat mereka melewati lorong menuju ruang ICU. Raka yang biasanya banyak bicara kini ikut diam, seolah ikut merasakan kecemasan ibunya.
Begitu pintu ruang ICU terbuka, Aluna tertegun. Hanya ada tubuh Kakek Haryanto yang terbaring lemah di ranjang, wajahnya pucat, napasnya naik turun dengan bantuan selang oksigen. Seorang perawat menoleh, lalu berkata pelan, “Pasien terus memanggil nama cucunya … nona Aluna. Kondisinya kritis, kami khawatir...”
Aluna tak mendengar sisanya. Ia langsung melangkah cepat, meraih tangan keriput yang masih terasa hangat itu. Air matanya jatuh tanpa bisa ditahan.
“Kakek … ini Aluna. Aku pulang, Kek…” bisiknya parau.
Kelopak mata Kakek Haryanto perlahan bergerak. Butuh tenaga besar baginya untuk membuka mata, tapi ketika pandangannya akhirnya menangkap sosok Aluna, bola matanya melebar. Haru dan lega menyeruak bersamaan. Dengan tenaga tersisa, ia mengangkat sedikit tangannya, memeluk tubuh cucunya yang merunduk di sisinya.
“Aluna…” suaranya serak dan lemah, tapi cukup membuat dada Aluna bergetar hebat. Ia membalas pelukan itu erat, seakan ingin menebus enam tahun kehilangan.
Saat itulah terdengar suara kecil di belakang.
“Mommy…”
Aluna menoleh, Raka berdiri di pintu, diantar oleh asisten Taka, wajahnya bingung sekaligus penasaran. Bocah itu lalu melangkah pelan, menatap lelaki tua di ranjang dengan mata polos.
“Itu … siapa, Mommy?” tanyanya polos, sembari menatap ke arah Kakek Haryanto.
Air mata Aluna makin deras. Ia meraih putranya, mendekatkan pada ranjang. “Raka, ini Kakek … orang yang sangat sayang sama Mommy sejak Mommy kecil. Ayo, sapa kakek.”
Mata Kakek Haryanto berkaca-kaca. Meski tubuhnya lemah, tangannya berusaha meraih tangan mungil Raka.
“Cicit … Sayang, Mama kamu orang yang hebat…” ucapnya lirih, nyaris tak terdengar.
Raka menatap heran, lalu memegang tangan sang kakek dengan polos. “Halo, Kakek … Aku Raka.”
Di ruangan itu, tangis Aluna pecah tak terbendung, memeluk erat putranya di sisi kakeknya yang baru saja mengenalnya untuk pertama kali. Di dalam ruang ICU, suasana hening setelah tangisan Aluna mereda. Kakek Haryanto menatap cucunya dengan pandangan penuh kerinduan. Dengan suara lemah, ia berbisik, “Aluna … selama ini Kakek pikir kamu sudah melupakan semua. Ternyata kamu masih peduli pada orang tua renta ini.”
Aluna menggenggam tangannya erat. “Tidak, Kek. Bagaimanapun, Kakek tetap keluarga satu-satunya yang selalu aku rindukan ... Aku kembali untuk Kakek.”
Haryanto tersenyum samar, lalu matanya beralih pada Raka yang berdiri di dekat jendela, menggambar embun di kaca dengan jarinya. “Itu … anakmu, Aluna?”
Air mata Aluna kembali mengalir. Ia mengangguk, lalu berkata lirih, “Namanya Raka, Kek. Dia anakku ... suamiku yang sekarang, Tuan Takahashi, CEO dari Jepang, yang selama ini menjagaku dan Raka dengan penuh kasih.”
Wajah Haryanto sedikit lega, namun kerutan keningnya kembali muncul. “Lalu … siapa ayah kandung bocah itu?” tanyanya dengan sisa tenaga, sorot matanya menuntut kejujuran, dia penasaran.
Aluna terdiam lama, lalu menunduk. “Raka … adalah darah daging Barra.”
Mata Haryanto melebar, tubuhnya sedikit bergetar. “Apa…?”
“Kakek, tolong jangan cemas, Kek,” cepat Aluna menambahkan sambil menahan tangis. “Tak ada seorang pun yang tahu tentang ini, kecuali aku dan suamiku, Tuan Taka. Dia menerima Raka sepenuhnya, dan aku berjanji untuk menjaga rahasia ini selamanya.”
Haryanto menarik napas dalam, jelas terlihat syok, namun kemudian ia memejamkan mata, mencoba menenangkan diri. “Kamu anak yang kuat, Aluna…”
Sementara itu, Raka mengerucutkan bibir kecilnya. “Mommy … Raka bosan.” Ia menoleh ke arah asisten ayahnya. “Boleh beli jajan, ya?”
Aluna mengusap kepala putranya lembut. “Iya, Nak. Tapi jangan jauh-jauh. Sama Om, ya perginya."
Raka mengangguk riang, menggandeng tangan sang asisten, dan keluar dari ruangan.
Di waktu yang sama, Barra baru saja tiba di rumah sakit dengan wajah letih, langkahnya cepat menuju lantai ICU. Namun sebelum menjenguk, ia memutuskan mampir ke toilet.
Tak lama, Raka yang berlari kecil karena ingin segera ke toilet juga, tiba-tiba menabrak tubuh tinggi Barra. Bocah itu hampir terjatuh, tapi tangan kuat Barra dengan sigap menangkapnya.
“Pelan-pelan, Nak,” ucap Barra refleks.
Asisten Taka segera mendekat, menunduk sopan. “Maaf, Tuan, anak ini agak terburu-buru.”
Barra hanya mengangguk samar, tapi matanya tak lepas dari wajah bocah itu. Raka menunduk sopan, berkata dengan polos khas anak kecil, “Maaf, Om … Raka tak sengaja," dia sedikit menunduk.
Sopan santun itu membuat Barra tertegun. Hatinya bergetar aneh, dia pun tersenyum tipis, lalu bertanya, “Siapa namamu, Nak?”
Raka menoleh sebentar, wajah polosnya serius. “Aku … harus ke toilet dulu, Om. Nanti Om asisten malah-malah kalau aku nggak pergi cepat.”
Barra tersenyum samar, membiarkannya masuk. Sang asisten hanya bisa menggelengkan kepalanya mendengar ucapan Raka.
Di dalam, saat selesai buang air, Raka berdiri di wastafel, mencuci tangan dengan hati-hati, lalu merapikan rambutnya. Gerakan kecilnya menyibak poni, meremas tisu, hingga menepuk ringan pipinya semua dilakukan dengan kebiasaan yang nyaris identik dengan Barra.
Barra yang sedang mengeringkan tangan di sebelahnya menatap terpaku. Awalnya ia mengira bocah itu menirunya, lalu ia berjongkok, menatap mata kecil itu dengan lembut.
“Kamu … kenapa meniru Om, hm?”
Raka mengerjap polos. “Nggak, Om. Raka nggak meniru … ini memang kebiasaan Raka.”
Jawaban polos itu membuat Barra terdiam. Ada rasa asing menggelitik dadanya. Semakin lama ia memandang, semakin mirip wajah bocah itu dengan dirinya saat kecil. Mata, senyum samar, bahkan sorot keras kepala yang tersembunyi di balik polosnya.
Namun sebelum pikirannya sempat jauh, asisten masuk terburu-buru. “Raka, ayo, Nak. Kita harus segera kembali. Daddy Taka sebentar lagi tiba.”
Raka mengangguk, melambaikan tangan singkat ke arah Barra. “Daaah, Om!”
Barra hanya bisa menatap punggung kecil itu menghilang bersama asistennya. Dadanya terasa sesak, entah mengapa.
Beberapa saat kemudian, Barra tiba di depan ruang Kakek Haryanto. Pintu ruang ICU terbuka perlahan. Barra masuk dengan wajah letih, namun langkahnya terhenti begitu matanya menangkap sosok yang selama enam tahun terakhir hanya hadir di mimpinya. Wanita yang terus menerus dia cari keberadaannya. Namun, kini orang itu ada di depannya.
“Aluna…” suara Barra tercekat, seperti sulit percaya bahwa wanita itu benar-benar ada di depannya. Aluna menoleh singkat, tatapan matanya menusuk tajam namun dingin, bahkan sisa keterkejutannya masih terasa saat pertama kali menatap Barra setelah enam tahun lamanya.
Barra maju beberapa langkah, mencoba meraih tangan Aluna dengan penuh rindu.
"Aluna ... aku ...”
Aluna dengan cepat menepis, mundur setengah langkah. “Jangan sentuh aku, hargai batasanku. Kita sudah berakhir sejak lama.”
Perlakuan itu menghantam hati Barra lebih keras dari tamparan siapa pun. Untuk pertama kalinya, ia benar-benar sadar betapa sakitnya luka yang pernah ia torehkan pada wanita ini. Wajah Barra menegang, dadanya sesak, namun ia tak bisa berkata apa pun. Keheningan yang mencekam mendadak pecah oleh suara ceria dari luar pintu.
“Mommy…!”
Suara bocah kecil itu membuat jantung Aluna serasa berhenti. Mata Aluna melebar, panik, karena Barra berada di ruangan yang sama. Tak lama, pintu kembali terbuka. Raka berlari kecil masuk dengan langkah lugu, masih menggenggam sebungkus snack di tangannya. Senyum cerahnya merekah, polos, tanpa tahu badai besar tengah menunggu di antara orang dewasa itu.
“Mommy, lihat! Raka beli ini, enak banget kata om asisten!” ucapnya riang.
Aluna menoleh cepat, mencoba menenangkan wajahnya agar tidak terlihat gugup. Namun dalam hati, ia takut dan sangat takut jika Barra akan mengenali sesuatu yang tak seharusnya.
Barra sendiri berdiri terpaku, matanya membesar menatap bocah itu. Napasnya tercekat. Jantungnya berdetak tak karuan. Ada sesuatu yang langsung menusuk nuraninya ketika tatapan polos Raka kembali bertemu dengan matanya, setelah pertemuan di toilet tadi.
Aluna segera menunduk, menggandeng tangan anaknya erat, lalu berbisik singkat. “Sayang, jangan berisik kakek lagi istirahat," Raka mengangguk riang tanpa menyadari ketegangan yang membekap udara.
Namun, di balik tatapannya yang seakan tenang, Aluna bisa merasakan tatapan Barra menusuk punggungnya penuh tanda tanya, penuh kegelisahan.
'Jadi, ini anak Aluna?' bisiknya dalam hati.
Semoga karma cepat menjemput mu 😡😡😡