Ini cerita sederhana seorang pemuda di pedesaan. Tentang masalah pertumbuhan dan ketertarikan terlarang. Punya kakak ipar yang cantik dan seksi, itulah yang di alami Rangga. Cowok berusia 17 tahun itu sedang berada di masa puber dan tak bisa menahan diri untuk tak jatuh cinta pada sang kakak ipar. Terlebih mereka tinggal serumah.
Semuanya kacau saat ibunya Rangga meninggal. Karena semenjak itu, dia semakin sering berduaan di rumah dengan Dita. Tak jarang Rangga menyaksikan Dita berpakaian minim dan membuat jiwa kejantanannya goyah. Rangga berusaha menahan diri, sampai suatu hari Dita menghampirinya.
"Aku tahu kau tertarik padaku, Dek. Aku bisa melihatnya dari tatapanmu?" ucapnya sembari tersenyum manis. Membuat jantung Rangga berdentum keras.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desau, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 20 - Pindah Tugas
Rangga baru saja tiba di rumah ketika pandangannya langsung tertuju pada sebuah motor yang terparkir rapi di teras. Motor itu bukan motor sembarangan. Ia sangat mengenalnya. Itu adalah motor milik kakaknya. Artinya hanya satu, Firza sudah pulang.
Langkah Rangga sempat melambat. Ada perasaan aneh yang muncul begitu saja di dadanya. Bukan perasaan takut, bukan juga senang. Lebih seperti campuran canggung dan waswas yang sulit ia jelaskan. Ia menghela napas singkat sebelum akhirnya melangkah masuk ke dalam rumah.
Begitu pintu terbuka, suasana ruang tamu langsung terlihat jelas. Firza dan Dita duduk berdampingan di sofa. Mereka tampak sedang berbincang santai, meski percakapan itu terhenti begitu Rangga muncul di hadapan mereka.
Tanpa diduga, mata Rangga dan Dita bertemu. Hanya sepersekian detik, namun cukup untuk membuat dada Rangga berdesir. Seketika, ingatan tentang kejadian terakhir mereka di ranjang menyeruak begitu saja, datang tanpa diundang. Ingatan itu membuat tengkuk Rangga terasa hangat, sementara jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya.
Dita pun tampak merasakan hal yang sama. Wajahnya berubah sekilas, nyaris tak terlihat, sebelum akhirnya ia buru-buru mengalihkan pandangan. Perempuan itu kembali memasang ekspresi tenang, seolah tidak pernah terjadi apa-apa di antara mereka. Sikapnya kembali seperti Dita yang biasa, tenang, sopan, dan berjarak.
“Kau ke mana saja? Kenapa baru pulang sekarang?” cecar Firza dengan nada khasnya yang tegas.
“Aku tadi ke rumah Ifan, Bang,” jawab Rangga singkat sambil melangkah menuju kamar. Ia tak ingin berlama-lama di ruang tamu. Ada sesuatu di udara yang membuatnya tak nyaman.
Begitu masuk kamar, Rangga menutup pintu lalu menghempaskan tubuhnya ke atas ranjang. Pandangannya menatap langit-langit kamar yang terasa kosong. Setelah melihat sikap Dita barusan, Rangga akhirnya benar-benar menyadari sesuatu.
Apa yang dikatakan Astrid memang benar. Tidak ada yang perlu diharapkan. Apa pun yang sempat terjadi, apa pun yang sempat membuat hatinya bergetar, semuanya tidak akan pernah memiliki kelanjutan. Dita adalah istri kakaknya. Dan sikap Dita barusan seolah menjadi garis batas yang tak bisa, dan tak boleh, ia lewati.
Namun anehnya, Rangga tidak merasa sepenuhnya hancur. Justru perlahan, senyuman tipis mengembang di wajahnya. Ingatannya beralih ke momen lain, ciuman yang ia lakukan bersama Astrid tadi. Rangga refleks menyentuh bibirnya sendiri. Itu adalah ciuman pertamanya. Dan jujur saja, dia tidak bisa memungkiri bahwa ia menyukainya. Bahkan, ada rasa ingin mengulanginya lagi. Sensasi itu masih tertinggal, membuat sudut bibirnya terangkat samar.
Junaidi dan Ifan pasti tidak akan percaya jika ia menceritakan hal ini. Mereka bahkan mungkin akan menuduhnya berhalusinasi. Siapa sangka Rangga yang selama ini terlihat biasa saja, kini sudah resmi berpacaran dengan Astrid, gadis kota yang menjadi pusat perhatian di sekolah.
Lamunan Rangga terputus ketika ponselnya tiba-tiba bergetar. Ia meraih benda itu dan melihat sebuah pesan masuk dari Astrid.
Gadis itu menanyakan keadaannya. Menanyakan bagaimana suasana di rumah. Bahkan menyinggung soal Dita, meski dengan bahasa yang terdengar santai.
Rangga membaca pesan itu pelan. Ia tidak ingin memperpanjang atau memperumit apa pun. Maka ia membalas dengan singkat, mengatakan Bahwa semuanya tetap berjalan normal seperti biasa. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan.
Setelah mengirim pesan itu, Rangga meletakkan ponselnya di samping bantal. Ia kembali memandangi langit-langit kamar, mencoba merapikan pikirannya sendiri.
Tak terasa waktu berjalan hingga jam setengah enam sore. Rangga akhirnya keluar dari kamar dengan niat ingin mandi. Tubuhnya terasa sedikit lengket setelah seharian beraktivitas.
Namun saat melewati dapur, langkahnya terhenti. Dita ada di sana.
Perempuan itu sedang berdiri di dekat meja dapur, seolah sedang menunggu sesuatu. Begitu melihat Rangga, ia menoleh dan menatapnya dengan ekspresi yang sulit dibaca.
“Kau baik-baik saja?” tanya Dita, suaranya terdengar lembut namun berhati-hati.
“Ya, aku rasa begitu,” sahut Rangga singkat.
Ada jeda hening di antara mereka. Hening yang terasa canggung, seolah ada banyak hal yang ingin dibicarakan namun tak tahu harus dimulai dari mana.
“Mengenai yang sebelumnya,” ucap Dita akhirnya, suaranya sedikit lebih pelan, “aku mohon lupakan dan jangan memikirkannya.”
Rangga mengangguk kecil. “Aku tahu. Lagi pula itu bukan apa-apa.”
Jawaban itu terdengar ringan, namun di dalam hatinya, Rangga tahu bahwa tidak semua hal bisa dianggap bukan apa-apa. Tapi ia memilih untuk tidak memperpanjangnya.
“Kakakmu pindah tugas ke pusat, Ga,” lanjut Dita. Wajahnya tampak sedikit muram. “Dia akan mulai tugas ke pusat besok. Jadi dia mungkin akan pulang telat dari biasanya.”
Rangga terdiam sejenak. “Kenapa mendadak sekali, Kak?” tanyanya. “Di pusat itu kan di kota. Jauh dong.”
Ia tahu betul jarak antara desa Sadewa dan kota tidaklah dekat. Perjalanan bisa memakan waktu sekitar satu setengah jam.
“Makanya,” jawab Dita pelan. “Tapi kata abangmu biar cepat naik pangkat.”
“Oh…” Rangga mengangguk lesu.
Ada rasa sedih yang muncul, bercampur dengan kecemasan yang tak ia pahami sepenuhnya. Jika Firza sering pulang telat, berarti ia akan semakin sering berada di rumah hanya berdua dengan Dita. Pikiran itu membuat perasaannya campur aduk.
“Ya sudah, Kak. Aku mau mandi dulu,” ucap Rangga akhirnya.
“Iya,” sahut Dita. “Setelah itu makan ya. Aku sudah siapkan makan malam.”
“Iya, Kak.”
Rangga segera masuk ke kamar mandi, mencoba menenangkan pikirannya dengan air dingin yang mengalir membasahi tubuhnya.
Setelah selesai mandi, Rangga keluar dan mendapati Firza dan Dita sudah duduk di meja makan. Aroma masakan memenuhi ruangan. Rangga segera bergabung dan duduk di kursinya.
“Kak Dita sudah cerita padaku,” ujar Rangga membuka percakapan. “Kalau Bang Firza pindah tugas ke pusat. Kenapa tiba-tiba sih, Bang? Kak Dita bakalan sering tinggal di rumah loh. Kalian tuh baru aja kawin.”
Firza terkekeh. “Dih, sok dewasa banget kau,” katanya sambil tersenyum. “Ini semua kan demi kebaikan kita. Kalau aku naik pangkat, gajiku juga naik. Kan bagus buat kita.”
Ia berhenti sejenak sebelum melanjutkan, “Aku juga mau mulai ngumpulin uang buat beli rumah. Dan juga buat anakku nanti.”
Rangga mengangguk pelan, lalu tanpa sadar melontarkan kalimat yang bahkan membuat dirinya sendiri terkejut.
“Emang Bang Firza nggak takut kalau sesuatu terjadi padaku dan Kak Dita?” katanya. “Kami bakalan sering berduaan di rumah.”
Kalimat itu meluncur begitu saja dari mulutnya, jujur dan tanpa ia pikirkan matang-matang. Ada keresahan yang selama ini dia pendam, dan kini keluar tanpa sengaja. Namun alih-alih cemas, Firza justru tertawa terbahak-bahak.
“Kau?” katanya sambil tertawa. “Sama Kak Dita? Kau ini ada-ada saja.” Ia menoleh ke arah istrinya. “Iyakan, Dek?”
Tanpa diduga, Dita ikut tertawa. Tawanya ringan, seolah apa yang dikatakan Rangga adalah sesuatu yang sangat mustahil untuk terjadi.
Rangga terdiam. Dia memandang kakak dan kakak iparnya yang tertawa bersama. Di hadapan tawa itu, kata-katanya terasa kecil dan tak berarti. Dan untuk pertama kalinya, Rangga merasa benar-benar terasing, bukan hanya sebagai adik, tetapi sebagai seseorang yang menyimpan perasaan yang tak pernah bisa ia ungkapkan.
Tawa itu masih menggema di telinganya, sementara Rangga hanya bisa menunduk, terperangah, menyadari bahwa ada hal-hal yang memang seharusnya tetap terkubur dalam diam.
Rangga lebih mengerti dita sebaliknya juga begitu rasanya mereka cocok
mangats thor sllu ditunggu up nya setiap hari