Pernikahan yang didasari sebuah syarat, keterpaksaan dan tanpa cinta, membuat Azzura Zahra menjadi pelampiasan kekejaman sang suami yang tak berperasaan. Bahkan dengan teganya sering membawa sang kekasih ke rumah mereka hanya untuk menyakiti perasaannya.
Bukan cuma sakit fisik tapi juga psikis hingga Azzura berada di titik yang membuatnya benar-benar lelah dan menyerah lalu memilih menjauh dari kehidupan Close. Di saat Azzura sudah menjauh dan tidak berada di sisi Close, barulah Close menyadari betapa berartinya dan pentingnya Azzura dalam kehidupannya.
Karena merasakan penyesalan yang begitu mendalam, akhirnya Close mencari keberadaan Azzura dan ingin menebus semua kesalahannya pada Azzura.
"Apa kamu pernah melihat retaknya sebuah kaca lalu pecah? Kaca itu memang masih bisa di satukan lagi. Tapi tetap saja sudah tidak sempurna bahkan masih terlihat goresan retaknya. Seperti itu lah diriku sekarang. Aku sudah memaafkan, tapi tetap saja goresan luka itu tetap membekas." Azzura.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arrafa Aris, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
7. RSK
Azzura sedang merapikan pakaian ke dalam koper kecil. Pikirnya untuk apa membawa semua baju miliknya. Toh, dia juga akan sering mampir ke rumah itu.
Setelah merasa cukup, Azzura turun ke lantai satu. Memindai seluruh sudut ruangan kemudian mengulas senyum, ketika memandangi pigura foto keluarganya.
"Ayah, aku akan setangguh dan sekuat dirimu. Bersikap lembut dan patuh seperti ibu. Bukan tak ingin melawan atau membalas ucapan serta perbuatan suamiku. Akan tetapi aku masih menghormatinya," tutur Azzura dengan hela nafas.
Dengan langkah gontai ia mendorong kopernya menuju pintu utama. Merasa sudah tak ada yang ketinggalan, Azzura pun meninggalkan rumah itu.
Sebelum benar-benar tiba di kediaman Close, ia terlebih dulu mampir di salah satu danau buatan untuk menenangkan hati serta pikirannya.
"Ya Allah ... belum sehari, aku sudah mendapat kekerasan fisik." Lea mengelus keningnya yang masih terasa sakit akibat terbentur.
"Zu." Seseorang menyapa.
Azzura menoleh ke arah sumber suara sembari tersenyum. "Yoga."
"Sedang apa kamu di sini?" tanya Yoga lalu duduk di sisi Azzura.
"Hanya ingin memandangi keindahan danau. Kebetulan alamat yang aku tuju arahnya ke sini. Jadi, aku singgah sebentar," jelas Azzura.
"Biar aku saja yang mengantarmu," tawar Yoga.
"Terima kasih, Yoga, lain kali saja soalnya aku bawa motor. Oh ya, apa kamu nggak ngantor? Nggak takut apa sama boss-mu itu?" kelakar Azzura lalu tertawa.
Yoga ikut tertawa. "Ngantor, tadi baru selesai bertemu klien atas perintah pak boss. Kebetulan lewat sini dan nggak sengaja melihatmu, jadi aku sekalian mampir."
"Gitu ya, nggak bohong kan? Takutnya gaji kamu bakalan dipotong. Jika sudah begitu kamu nggak bisa traktir aku dong," kelakar Azzura lagi.
"Nggak masalah jika gajiku dipotong. Aku masih bisa mentraktirmu kok. Tapi, hanya es seharga tiga ribuan," timpal Yoga.
Keduanya langsung tertawa lepas. Sejenak kesedihan Azzura seketika menghilang dengan candaan Yoga.
Mereka tak menyadari jika sejak tadi Close memperhatikan keduanya dari balik kaca mobil.
Ada perasaan yang sulit ia artikan ketika melihat kedekatan istri juga asistennya itu. Close mencengkram kuat setir mobil, rahangnya mengetat serta tatapannya menghunus tajam ke arah Azzura dan Yoga.
Dengan emosi berapi-api, ia kembali melajukan kendaraannya. Sedangkan Azzura dan Yoga masih berada di bangku yang sama.
Beberapa menit kemudian, setelah merasa perasaannya sudah membaik, Azzura kemudian berpamitan.
"Yoga, aku pamit, ya. Kembalilah ke kantor. Kapan-kapan kita bisa bertemu lagi,"
"Baiklah, hati-hati ya, Zu," kata Yoga. Namun, entah mengapa, ia sangat mengkhawatirkan wanita berhijab itu.
Azzura mengangguk lalu meninggalkan Yoga yang masih berdiri sambil menatapnya.
"Entah mengapa aku mengkhawatirkan dia. Semoga kamu baik-baik saja Zu," gumam Yoga sesaat setelah Azzura meninggalkan dirinya.
.
.
.
Setibanya di rumah ....
"Assalamu'alaikum," ucap Azzura kemudian mengetuk pintu.
Begitu pintu dibuka, Azzura mengusap tengkuknya. Ia tak bisa melanjutkan langkah karena Close masih berdiri di ambang pintu disertai tatapan menghunus tajam.
"Dari mana saja kamu, hah!!! Harusnya kamu itu sampai duluan di rumah ini sebelum aku tiba!" bentak Close lalu mencengkeram kuat lengan Azzura.
"Walaupun aku sampai lebih dulu, aku juga nggak bisa masuk, soalnya pintunya menggunakan smart lock," balas Azzura kemudian meringis.
Close bungkam, tanpa melepas cengkeramannya ia menarik tangan Azzura dengan kasar menuju kamar.
Dengan terseok-seok Azzura mengikuti langkah Close. Alih-alih mendapat kamar bagus, sang barista diberikan kamar yang jauh daripada kata layak. Lebih tepatnya seperti gudang.
"Mulai hari ini dan seterusnya, kamu akan tidur di sini. Jangan pernah masuk ke kamarku atau pun kamar yang ada di rumah ini, kecuali ..."
Close menjeda sejenak kalimatnya sembari menyeringai. Ia mengeluarkan selembar kertas juga cek kosong.
"Kecuali apa?" tanya Azzura.
"Kecuali kamu sudah lelah dan menyerah. Maka tanda tangani surat perjanjian perceraian ini. Tulislah nominal uang yang kamu inginkan di cek kosong ini, setelah itu enyahlah dari rumahku. Gunakan uang itu untuk memenuhi kebutuhan hidupmu. Karena aku akan menikahi Laura dan tinggal bersamanya di sini!" tegas Close dengan tatapan benci.
Bugh ...
Azzura merasa dadanya seperti dihantam batu.
Singgg ....
Hatinya seperti di disayat-sayat belati tajam.
Nyess ...
Luka yang tak tampak juga tak berdarah itu seperti di sirami air garam.
Sesak ...
Sakit ...
Perih ...
Semuanya menjadi satu, itulah yang di rasakan Azzura saat ini. Ingin rasanya ia menangis namun sebisa mungkin tetap menahan kristal bening di pelupuk matanya.
Ia tersenyum sinis merasa miris. Menatap manik coklat sang suami sambil mengangguk dalam diam. Sedetik kemudian, ia pun membuka suara.
"Hanya itu? Apa masih ada yang lain? Jika sudah nggak ada lagi yang ingin kamu katakan, silakan keluar. Takutnya kamu akan alergi berada di kamar sempit dan pengap ini!" sindir Azzura, secara tak langsung mengusir suaminya dari kamar itu.
Close bungkam tak bisa membalas. Dengan perasaan geram, ia pun meninggalkan Azzura lalu ke kamarnya di lantai dua.
Sepeninggal Close, Azzura langsung mengunci pintu kamar. Air mata yang sejak tadi ditahan akhirnya tumpah begitu saja.
Malang sungguh nasib Azzura. Namun, demi kesembuhan sang ibu, ia rela menderita.
Azzura terus menangis. Merebahkan tubuhnya di atas lantai tanpa alas sehingga ia lelah lalu tertidur.
Sedangkan Close yang berada di kamarnya, sedang menyesap rokok sembari menatap surat perjanjian beserta cek kosong.
"Aku ingin secepatnya cek ini terisi dan surat perjanjian ini segera di tanda tangani olehnya," gumam Close lalu menyimpan surat perjanjian serta cek itu ke dalam laci nakas.
Ketika akan mendorong laci nakas, Close menatap cincin kawin di jari manisnya. Dengan perasaan dongkol ia melepas benda itu lalu ikut menyimpan ke dalam laci.
"Untuk apa aku memakai cincin itu, lagian aku nggak akan menganggapnya istriku melainkan orang asing."
.
.
.
Kantor Close ....
Yoga terlihat sibuk menyelesaikan pekerjaannya. Memastikan tak terjadi kesalahan pada berkas yang sedang ia periksa.
Setelah menyelesaikan pekerjaannya, ia pun bersandar sejenak di kursi kerja sambil memijat kening turun ke pangkal hidung.
Pikirannya seketika melayang memikirkan Azzura.
Khawatir ...
Satu kata itu yang sedang mewakili juga menyelimuti dirinya.
"Dari tatapan matanya terlihat banget jika dia tertekan juga menyimpan kesedihan mendalam. Dia bisa saja menutupi kesedihannya dengan senyuman. Namun, tetap saja mata nggak bisa berbohong," gumam Yoga.
...🌿----------------🌿...
Jangan lupa like, vote dan coment ya. Bantu like dan vote setidaknya readers terkasih telah membantu ikut mempromosikan karya author Terima kasih ... 🙏☺️😘🥰 ....