Benci jadi cinta, atau cinta jadi benci?
Kisah mereka salah sejak awal. Sebuah pertemuan yang didasarkan ketidaksengajaan membuat Oktavia harus berurusan dengan Vano, seorang idol terkenal yang digandrungi banyak kalangan.
Pertemuan itu merubah hidupnya. Semuanya berubah dan perubahan itu membawa mereka ke dalam sebuah rasa. Cinta atau benci?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Suci Aulia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tanggung Jawab?
"Sekarang bilang sama gue, siapa yang ngelakuin"
Satu jam berselang setelah dia curhat, Rina langsung gercep meluncur ke Apartemennya yang memang cuma berjarak 2 km dari rumah perempuan itu.
Okta yang sedang duduk di sofa memijit pelipisnya. Pusing. Hidupnya ambyarr gara-gara Vano.
"Vano" perempuan itu menjawab singkat.
Mata Rina membelalak lebar. Mau ngakak tapi melihat muka ngenes Okta dia jadi sungkan mau ketawa.
"Ta, ya ampun" Rina memegang dahi temannya sekilas. "Lo gak habis kepentok gagang sapu kan?. Okta, gue tau lo lagi pusing tapi halunya dikurang-kurangin napa neng. Mana mungkin Vano The Boys mau sama lau. Terus jangan bilang lo mau ngomong kalo cewek yang viral gara-gara dibawa masuk Vano ke hotel itu lo. Please deh Ta, ini gak lucu" wajah Rina berubah serius, Okta makin serius lagi. Ya kali hidupnya udah berantakan kayak nasi yang karetnya ilang tapi dia masih sempet-sempetnya ngelawak.
"Tapi itu emang gue Rina Yunita, gue gak boong. Gue serius dan gue gak lagi halu" tegas perempuan itu dengan wajah frustasi.
Rina memegang kedua bahunya, menatapnya dengan intens.
"Lo serius?. KOK BISA?"
Perempuan itu kembali membuang nafas. Mengulang kejadian malam itu membuat perutnya mules seketika.
"Jadi waktu kita tugas di Korsel dua minggu yang lalu, waktu gue nonton konser ada yang ngechat gue. Dia bilang kalo dia itu temen lo, namanya Tio. Terus dia ngomong kalo lo lagi mabok berat di Bar, nyuruh gue jemput. Ya gue dateng lah kesana, eh taunya dia ngejebak gue anjritt. Untung gue berhasil kabur pas gue nendang anunya dia. Tapi pas di jalan gue hampir ketabrak mobil, terus gue pingsan. Habis itu gue gak inget lagi, tau tau udah di hotel sama si Vano"
Okta menjelaskan panjang lebar, dan disitulah Rina mulai konek.
" Tunggu deh, waktu di Korsel gue ngga mabuk njirr. Ya emang gue ke Bar, tapi cuma buat ketemuan doang habis itu gue pergi ke restoran. Gue juga gak ada tuh temen yang namanya Tio"
Kepala Okta makin pusing memikirkan semuanya. Nanti hidupnya gimana, kariernya, terus anaknya kalo udah lahir gimana.
Ya Tuhan, Okta mau jadi cicak aja.
"Terus sekarang lo mau gimana?" sebagai seorang teman, Rina ikut prihatin dengan sahabatnya itu. Pasalnya dia tau Okta hidup disini sendirian, jauh dari sanak saudara.
"Gue bingung" sahutnya frustasi
"Saran gue lo datengin si Vano aja deh, minta pertanggung jawaban. Kan dia bapaknya. Enak banget habis ewitah tapi gaj mau tanggung jawab" Rina menyerocos panjang. Ada benarnya sih, tapi Okta ragu.
"Nanti kalo dia gak mau gimana?"
"Dicoba dulu Okta. Kalo dia gak mau, kita laporin bareng-bareng"
...****************...
Keesokan harinya, Okta membulatkan tekadnya untuk datang ke SA entertaiment. Agensi The Boys. Kebetulan grub itu baru selesai konser dan baru tiba di Ibukota kemarin.
Meski harus berdebat cukup alot dengan resepsionis dan security, Okta akhirnya berhasil masuk dan menemui seorang Geovano Davichi.
Dan disinilah dia sekarang. Duduk berhadapan dengan sang superstar di sebuah ruangan khusus pertemuan dengan tamu.
Vano tampil casual dengan celana panjang dan kemeja putihnya. Diam sambil menunggu Okta bicara.
"Jadi kamu siapa?" cowok itu bertanya lebih dulu. Okta berdecih, semudah itu dia dilupakan.
"Saya Okta, perempuan yang kamu tiduri dua minggu yang lalu waktu di Korsel" dia menjawab. Perempuan itu mencengkram kuat tas slempang merek dior di pangkuannya. Dia mendadak gugup.
"Sebelumnya saya gak pernah berhubungan 'itu' dengan pria lain. Cuma kamu, dan sekarang saya hamil anak kamu. Kita bisa tes DNA kalo kamu gak percaya"
Terlihat jelas wajah Vano sangat kaget, merasa bersalah. Semua tercampur menjadi satu. Atmosfer di ruangan ini mendadak berubah pengap.
"Saya gak akan mempublish ini ke media, saya juga gak akan membawa hal ini ke jalur hukum asal kamu mau kooperatif. Saya gak minta lebih ataupun berharap lebih. Saya cuma minta kamu biayai kehidupan saya dan menyediakan tempat tinggal untuk saya sampai saya melahirkan nanti. Setelah itu saya akan titipkan anak ini ke seseorang dan saya akan ambil kalo saya sudah siap nanti"
Okta menjelaskan dengan suara tidak gentar. Wajahnya lempeng, toh Vano yang bersalah disini.
"Kamu udah gila?!" cowok itu malah membentaknya. Okta jadi bingung. "Kenapa kamu mau titipin anak ini ke orang lain padahal orang tuanya masih lengkap"
Okta geleng-geleng takjub.
"Ya kamu pikir dong, saya masih single. Saya gak mau ya kena sanksi sosial cuma gara-gara perbuatan kamu. Belum lagi tentang pekerjaan dan keluarga saya. Gimana reaksi mereka kalo tau saya hamil di luar nikah?!" perempuan itu balas membentak. Jangan dipikir dia takut. Gini-gini waktu SMA dia menang juara debat antarkelas.
"Maksud saya kenapa kamu gak minta saya buat nikahin kamu?!. Kan itu lebih simple"
Mata Okta membelalak lebar. Ini Vano gak lagi ngelawak kan ya. Bahkan tadi waktu berangkat kesini, dia tidak menaruh harapan untuk dinikahi seorang Geovano. Diberi nafkah sampai melahirkan nanti saja dia sudah bersyukur.
"Kam-kamu serius?" tanya Okta memastikan.
Vano menghela nafas. Sejak kecil dia selalu diajari pentingnya sikap tanggung jawab. Dan mungkin ini saat yang tepat untuk menerapkannya.
"Bagaimana pun itu anak saya, saya pasti tanggung jawab. Kabari orang tua kamu, lusa saya bakal datang melamar"
Ya Tuhan, Okta nyaris pingsan.
bener itu amp hamidun🤔
kasian tuh sana sini musti pinter nyari jln