Harap bijak memilih bacaan.
riview bintang ⭐ - ⭐⭐⭐ = langsung BLOK.!
Barra D. Bagaskara, laki-laki berusia 31 tahun itu terpaksa menikah lagi untuk kedua kalinya.
Karena ingin mempertahankan istri pertamanya yang tidak bisa memliki seorang anak, Barra membuat kontrak pernikahan dengan Yuna.
Barra menjadikan Yuna sebagai istri kedua untuk mengandung darah dagingnya.
Akibat kecerobohan Yuna yang tidak membaca keseluruhan poin perjanjian itu, Yuna tidak tau bahwa tujuan Barra menikahinya hanya untuk mendapatkan anak, setelah itu akan menceraikannya dan membawa pergi anak mereka.
Namun karena hadirnya baby twins di dalam rahim Yuna, Barra terjebak dengan permainannya sendiri. Dia mengurungkan niatnya untuk menceraikan Yuna. Tapi disisi lain Yuna yang telah mengetahui niat jahat Barra, bersikeras untuk bercerai setelah melahirkan dan masing-masing akan membawa 1 anak untuk dirawat.
Mampukah Barra menyakinkan Yuna untuk tetap berada di sampingnya.?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Clarissa icha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7
1 jam berlalu. Yuna tetap menunggu didepan ruang operasi tanpa memutuskan doa untuk Mama Rena.
Barra juga masih setia berada di samping Yuna meski sejak tadi sibuk dengan ponselnya.
Keduanya duduk bersebelahan, namun tidak ada obrolan apapun.
Selain canggung, Yuna juga sedang cemas memikirkan keselamatan orang tuanya yang sedang berjuang, jadi tidak sempat untuk bicara banyak dengan Barra.
"Sudah waktunya makan siang." Ucap Barra sambil menatap arloji di pergelangan tangannya. Tak lama menyimpan ponsel dalam saku celana, lalu beranjak dari duduknya.
Barra menatap Yuna yang masih menundukkan kepala, seperti tidak mendengar apa yang diucapkan oleh Barra.
"Sebaiknya makan dulu, operasinya masih lama."
Setelah mengencangkan suara, Yuna mulai memberikan respon dengan mengangkat kepala dan menatap Barra yang berdiri didepannya.
"Memang operasinya berapa lama.?" Tanya Yuna. Dia memang tidak tau dan belum sempat menanyakan hal itu pada dokter.
"Kemungkinan 3 sampai 4 jam." Jawab Barra.
Yuna sedikit kaget, tidak menyangka operasi yang sedang dilakukan oleh sang Mama akan memakan waktu yang cukup lama.
Seketika air mata kembali menggenang disudut mata Yuna. Rasa sakit dan takut kehilangan kembali menyelimuti hati. Entah bagaimana sang Mama bisa bertahan dalam waktu yang lama itu.
Yuna tidak sanggup membayangkan perjuangan yang tengah di hadapi oleh Mama Rena saat ini.
"Lama sekali." Gumam Yuna lesu. Dia menundukkan kembali kepalanya. Menyembunyikan kesedihan dan air matanya didepan Barra.
"Ka,,mu,, maksudku Mas,, makan duluan aja, aku belum laper." Yuna menolak halus ajakan Barra.
Dalam kondisi seperti ini, mana sempat Yuna memikirkan dirinya sendiri. Dipikirkannya hanya ada Mama Rena, sibuk berdoa dan mencemaskan keadaannya.
"Laper atau nggak, perut kamu harus tetep di isi."
"Jangan sampai kamu yang sakit setelah ini, bisa-bisa kondisi orang tua kamu down kalau liat kamu sakit."
"Ayo ikut.!"
Barra menarik tangan Yuna tanpa permisi.
Entah karna bentuk perhatian atau karna merasa Yuna adalah tanggung jawabnya, yang jelas sikap yang di tunjukkan oleh Barra sudah mencerminkan sikap seorang suami yang baik.
Walaupun pernikahan mereka bukan berlandaskan cinta, setidaknya Yuna diperlakukan dengan baik oleh Barra. Tutur katanya juga lembut, tidak semena-mena dalam memperlakukan Yuna meski sudah banyak uang yang dikeluarkan Barra untuk Yuna.
"Pakai mobil.? Memangnya mau makan dimana.?" Kening Yuna berkerut, menatap Barra yang menggandengnya sampai ke basement rumah sakit dan berhenti di samping mobil mewah.
"Restoran depan." Jawab Barra singkat. Dia membukakan pintu untuk Yuna.
"Ayo masuk." Perintahnya sembari menggerakkan kepala.
Yuna menurut, dia tidak mau banyak protes untuk menghindari obrolan panjang. Saat ini hanya ingin cepat selesai makan siang dan kembali lagi ke rumah sakit untuk menunggu Mama Rena di depan ruang operasi.
...***...
"Habiskan makanannya, jangan harap bisa kembali ke rumah sakit kalau masih ada makanan di piring kamu." Tegas Barra dengan sedikit ancaman.
Makanan di piringnya sudah habis 15 menit yang lalu, sedangkan Yuna masih menyisakan setengah makan di piringnya.
Akibat banyak melamun, Yuna jadi lambat menghabiskan makan siangnya.
"Aku sudah kenyang."
"Kita kembali saja ke rumah sakit." Yuna beranjak dari duduknya. Saat itu juga langsung mendapatkan tatapan tajam dari Barra.
"Duduk. Habiskan makanannya.!" Titahnya tegas.
Bibir Yuna langsung mencebik kesal. Menatap jengkel ke arah Barra sembari duduk kembali di kursinya.
"Lagi sedih begini boro-boro bisa makan lahap, masuk 2 sampai 3 suap aja masih untung." Keluh Yuna. Dia sedikit kesal karna merasa Barra tidak bisa mengerti kondisinya.
"Mama aja nggak pernah maksa sampai ngasih ancaman. Kenapa Mas Barra seenaknya ngancam aku."
Yuna menyerocos panjang lebar sembari menyuapkan makanan kedalam mulut.
"Aku bukan Mama kamu, Yuna." Jawab Barra santai. Dia mengambil kopi miliknya dan menyeruputnya.
"Siapa yang bilang Mas Barra itu Mamaku." Balas Yuna ketus.
"Kamu emang nggak bilang secara langsung. Tapi dengan kamu membandingkan aku sama Mama kamu, itu sama saja kamu menyamakan aku dan Mama kamu."
Penjelasan Barra membuat Yuna mencebik kesal.
"Sebaiknya setelah ini kemasi barang-barang kamu sama Mama kamu. Rumah yang aku beli sudah bisa kalian tempati."
Tutur Barra sambil menatap Yuna yang tengah menghabiskan makanannya dengan raut wajah terpaksa.
"Mama masih operasi, nanti saja bahas masalah ini kalau Mama sudah diperbolehkan pulang."
Saat ini Yuna belum berfikir untuk pindah dari rumah yang dia sewa bersama sang Mama.
Dia hanya ingin fokus pada kesembuhan Mama Rena sebelum nantinya menjalani kehidupan di rumah baru dan status baru sebagai istri Barra yang penuh dengan misteri.
"Justru karna Mama kamu masih dirumah sakit, kamu bisa pindahin barang - barang kalian sekarang. Jadi kalau sudah diperbolehkan pulang, bisa langsung ke rumah itu."
"Kalau nggak sekarang, mau kapan lagi.?"
"Besok-besok belum tentu aku bisa bantuin kamu pindah karna harus kerja."
Yuna nampak berfikir, setelah itu menyetujui usul Barra.
Besok hari senin, sudah pasti Barra tidak akan datang ke rumah sakit, apalagi membantu untuk mengemasi barang-barang miliknya.
...****...
Barra menghentikan mobil di depan rumah sederhana namun tampak rapi dan bersih dari luar.
Barra sudah mendapatkan gambaran tentang rumah seperti apa yang selama ini ditempati oleh Yuna dan keluarganya.
Banyak informasi yang didapatkan Barra dari orang suruhannya 3 hari yang lalu.
Karna begitu mendapat cerita dari Dokter Alan, Barra langsung sigap mencari tau tentang kehidupan Yuna.
Yuna turun dari mobil, di ikuti Barra yang berjalan di belakangnya.
"Bagaimana Mas Barra bisa tau kalau rumah ini bukan milik kami.?" Nada bicara Yuna penuh rasa penasaran yang tinggi.
"Nggak penting aku tau darimana." Jawab Barra acuh.
"Kaku amat jadi orang, nggak asik." Cibir Yuna lirih. Dia berjalan cepat dan langsung membuka pintu.
"Aku denger Yuna.!" Tegur Barra.
Yuna berbalik badan, dia hanya menyengir kuda tanpa merasa bersalah sudah mencibir suaminya.
"Mas Barra duduk dulu aja disitu." Yuna menunjuk kursi diruang tamu, menyuruh Barra untuk menunggu disana.
"Kemasi baju dan barang yang penting saja. Rumah baru kalian sudah full furnitur dan perlatan dapur."
Ujar Barra. Dia duduk di kursi, sedangkan Yuna sudah masuk kesalah satu kamar setelah menjawab singkat ucapannya.
Barra menatap sekitar. Rumah yang disewa keluarga Yuna jauh dari kata mewah untuk ukuran orang berada seperti Barra.
Kehidupan yang di jalani oleh Yuna bisa membuat orang yang mengetahuinya ikut merasa iba.
Begitu juga dengan Barra. Dia merasa kasihan pada Yuna yang bertahun-tahun harus melewati kesulitan dalam hidupnya.
Setelah ini, kehidupan Yuna mungkin akan membaik untuk beberapa saat.
Dering ponsel menyadarkan Barra dari lamunan. Dia merogoh ponsel dari saku celana, menatap layar ponsel dan membaca nama yang tertera di sana.
Barra bergegas keluar untuk menerima panggilan.
"Hemm,, Ada apa.?" Tanya Barra lembut.
"Sudah. Aku masih di rumah sakit, orang tuanya masih di operasi. Setelah selesai, aku akan langsung pulang."
Sembari bicara, sesekali Barra menatap ke dalam rumah.
"Kamu itu bicara apa.!" Seru Barra. Raut wajahnya terlihat kesal.
"Aku akan tetap pulang." Ujarnya tegas.
"Kamu pikir aku bisa menjalani semua ini.?"
"Kenapa kamu harus memberikan pilihan yang sulit, sedangkan aku nggak pernah mempermasalahkan kekurangan kamu." Barra bicara dengan nada kekecewaan dan putus asa.
"Kita bicarakan lagi nanti. I love you,,,"
Barra mematikan sambungan telfonnya, setelah itu masuk kembali ke dalam rumah.
Saat masuk, Yuna juga baru keluar dari kamar dengan membawa 1 koper besar dan tas.
"Sudah, cuma ini saja." Tutur Yuna pada Barra seraya menunjukkan koper dan tas yang dia bawa.
Barra hanya merespon dengan anggukan kepala. Kemudian mengambil koper dari tangan Yuna untuk membawanya ke mobil.
"Ayo,,," Ajaknya sembari berjalan mendahului Yuna.
Keduanya langsung pergi menuju rumah yang dibeli oleh Barra untuk Yuna dan Mamanya.