Panggilan Emran, sang papa yang meminta Ghani kembali ke Indonesia sebulan yang lalu ternyata untuk membicarakan perihal pernikahan yang sudah direncanakan Emran sejak lama. Ancaman Emran membuat Ghani tak bisa berkutik.
Ghani terpaksa menyembunyikan status pernikahannya dari sang kekasih.
Bagi Khalisa bukan sebuah keberuntungan bertemu dengan Ghani kembali setelah tak pernah bertukar kabar selama tujuh belas tahun.
Bisakah Khalisa bertahan dengan pernikahan tanpa cinta ini, sedang suaminya masih mencintai perempuan lain.
***
"Kamu sendiri yang membuatmu terjebak." Ghani sudah berdiri di depannya, menyalahkan semua yang terjadi pada Khalisa. "Kalau kamu tidak menyetujui lamaran Papa tidak akan terjebak seperti ini." Sangat jelas kekesalan lelaki itu ditujukan padanya.
"Kalau kamu bisa menahan Papamu untuk tidak melamarku semua ini tidak akan terjadi Gha, kamu memanfaatkanku agar masih bisa menikmati kekayaan yang Papamu berikan."
"Benar, aku akan menyiksamu dengan menjadi istriku, Kha." Suara tawa yang menyeramkan keluar dari mulut lelaki itu. Membuat Khalisa bergidik ngeri, berlari ke ranjang menyelimuti seluruh tubuh. Ghani kemudian pergi meninggalkan kamar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Susilawati_2393, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
07
Seperti biasa setiap malam Ghani membuatkannya susu cokelat untuknya sebelum tidur. Tidak seperti malam sebelumnya suaminya itu tidak langsung keluar, malah duduk di sisi ranjang.
"Kha, aku harus ke Singapura besok. Kamu tinggal sebentar ya, tidak lama hanya dua hari. Keperluanmu di sini akan dibantu Tomi."
Deg!
Ada yang menjanggal di hati Khalisa. Apa Ghani ingin menemui kekasihnya yang tidak tau tinggal di mana. Khalisa berusaha menyembunyikan kecemasannya.
"Iya, gak papa. Aku bisa sendirian di rumah." Jawabnya sambil meminum susu yang sisa sedikit.
"Kamu jangan kemana-mana ya, kalau mau keluar biar diantar Tomi atau Guntur." Khalisa mengangguk memberikan gelas kosong ke tangan suaminya.
"Istirahat sana, jangan kebanyakan main hp." Ghani mengusap puncak kepalanya, menarik menyelimuti dan mematikan lampu sebelum meninggalkan kamar.
Sikapnya sungguh misteri, dia harus mencari tau apa urusan Ghani ke Singapura.
***
Pagi-pagi Ghani sudah menyiapkan sarapan dan berpakaian rapi. Dia memang selalu suka membuatkan sarapan untuk Clara. Hari ini mereka akan bertemu dan melepas rindu. Tapi ada perasaan aneh yang menjalar di hatinya. Rasa bersalah pada perempuan yang sudah berstatus sebagai istrinya.
Ghani menyambut istrinya di meja makan, rambutnya masih berantakan tapi malah terlihat sangat cantik. Ghani segera mengembalikan pikirannya, tujuan utamanya membujuk Khalisa agar saat dia pergi hatinya bisa tenang.
"Makan yang banyak Kha, jangan sampai sakit saatku tinggal."
Perempuan di hadapannya hanya mengangguk, terus menunduk sampai selesai sarapan. Kemudian beranjak ke kamar tanpa mengucapkan sepatah katapun.
Ghani mengikutinya ke kamar, sebentar lagi dia harus ke bandara. Rencana hari ini tidak boleh gagal, apalagi sampai terdengar di telinga papa. Jadi jangan membuat hati Kha gundah yang bisa membuat istrinya mengadu.
"Kha, aku berangkat ke bandara yaa." Ghani menarik tangan Khalisa lalu menatap kedua mata yang terlihat sendu itu.
Deg!
Perasaan hangat mengaliri tubuhnya, disertai debaran yang tak menentu saat menatap mata bulat yang berbulu lentik itu. Tidak, hatinya hanya milik Clara. Ghani tidak boleh terbawa perasaan seperti ini.
"Salim dulu." Ghani mengulurkan tangannya yang disambut Khalisa, kemudian menarik perempuan itu dalam pelukannya. "Jaga diri baik-baik ya di rumah." Perasaan nyaman saat mendekap perempuan yang halal menjadi miliknya itu.
Senyuman manis Khalisa membuatnya terhipnotis, sejenak Ghani membeku dalam pelukan itu diikuti debaran yang semakin tak menentu.
"Hati-hati Gha." Khalisa mengurai pelukannya mengantarkan lelaki itu ke depan pintu.
"Selama aku gak ada di rumah pakai pakaian rapi, Tomi dan Guntur akan bolak balik ke sini." Pesan Ghani pada sang istri, kenapa dia begitu peduli. Selama ini Clara berpakain terbuka juga tidak masalah baginya.
Khalisa mengangguk melambaikan tangan padanya, Ghani berangkat ke bandara sendirian tidak diantar Tomi. Dia sudah membuat sepupunya itu tutup mulut pada Papa.
"Kha, kenapa aku jadi memikirkannya. Padahal Clara yang ingin kutemui sekarang."
Clara tidak boleh tau kalau dia sudah menikah, masih belum siap menjelaskannya. Ghani melepaskan cincin di jarinya menyimpannya dalam saku jaket.
Ghani mengambil ponsel ingin mengabari istrinya, mencari-cari kontaknya ternyata tidak ada.
Astaga Gha, nomor hp istri sendiri pun tidak punya. Sebegitu abainyakah dia sebagai suami dengan istrinya sendiri. Rasa bersalah hadir dipikirannya. Bagaimana kalau ada yang ingin melukai Kha, musuh dari persaingan bisnisnya cukup banyak.
Belum lagi dari kolega terdekatnya sendiri, karena perkembangan bisnisnya yang cepat melesat. Karena itu jugalah yang membuat Emran ingin menyerahkan semua bisnis padanya. Ditangannya semua bisa berkembang cepat atas kerja kerasnya. Papa yang perlu dia, tapi kenapa dia yang harus dipaksa menikah dan mau aja.
"Gha.. Gha.. sekarang semua tambah rumit."
Gha : Temani Kha, dia sendirian di rumah gue sudah dalam perjalanan. Kunci rapat semua pintu kalau lo meninggalkannya. Pasang cctv di setiap sudut halaman depan dan belakang.
Ghani mengirimkan pesan pada sepupunya, dia tidak mungkin bilang pada Tomi kalau tidak punya nomor Kha untuk memintanya berhati-hati di rumah.
Di sudut kamarnya Tomi gusar mendapati pesan Ghani pagi-pagi seperti ini. Bergegas mengambil jaket, membiarkan Guntur yang mengurus semua pekerjaan di kantor.
Tomi : Bodoh Gha, lo meninggalkan istri yang baru dinikahi hanya untuk menemui Clara.
Balasnya dengan kesal, mempercepat laju mobilnya menuju rumah Ghani, memastikan Kha aman di sana.
Ghani membaca balasan pesan Tomi dengan memijat kepalanya. Sebodoh inikah dia meninggalkan yang halal hanya untuk menemui perempuan yang tidak halal untuknya.
Ghani tidak buru-buru mengabari Clara kalau sudah sampai, ingin memastikan kalau Kha baik-baik saja di rumah. Rasa bersalah semakin besar menjalari hatinya. Gadis kecilnya itu tidak bersalah kenapa harus Ghani sakiti seperti ini.
"Kha.. maafkan kakak jahat padamu."
***
Khalisa bergegas berganti pakaian saat ada yang mengetuk pintu, seperti pesan Ghani, Tomi dan Guntur akan bolak-balik ke rumahnya.
Gadis itu beranjak menuju pintu saat sudah berpakaian rapi. Tomi berdiri di depan pintu dengan tersenyum manis padanya.
"Boleh aku masuk?"
"Yaa, silahkan. Inikan rumah Ghani." Khalisa balas tersenyum, mereka duduk di ruang keluarga.
"Kha, kamu mau nginap di sini apa pulang aja malam ini ke rumah ayah."
"Di sini aja Tom, kata Ghani jangan kemana-mana. Aku ambilin minum dulu ya." Khalisa melenggang menuju dapur, ada perasaan tidak nyaman saat hanya berduaan dengan lelaki lain tanpa ada suaminya. Khalisa kembali dengan membawakan segelas teh.
"Minum Tom."
Tomi mengangguk lalu menghirup teh panas itu.
"Tom...!" Panggil Khalisa.
"Yaa.."
"Maaf, aku tidak enak kalau harus berduaan denganmu di rumah walaupun kamu saudara Ghani."
Tomi terdiam sejenak memandang perempuan itu yang duduk di depannya. Kemudian mengalihkan pandangannya ke tempat lain.
"Cantik, sayang Ghani menyia-nyiakanmu Kha. Kalau waktu itu papa lebih dulu memintaku untuk menikahimu pasti akan kulakukan dengan tulus, tidak membuatmu terluka seperti ini. Ghani malah memilih menemui Clara." Gumamnya dalam hati. Sungguh, dia sangat tidak suka dengan pikiran adik sepupunya yang masih bersikeras mempertahankan Clara.
"Aku paham, aku akan menjagamu dari luar. Jangan lupa kunci semua pintu ya." Pesan Tomi sebelum beranjak meninggalkan Khalisa.
"Tidak perlu menjagaku seperti itu Tom. Aku baik-baik aja."
Tomi hanya tersenyum lalu meninggalkan rumah itu. Kamu tidak tahu berapa banyak musuh Ghani, Kha. Ketika Ghani menikahimu itu sudah otomatis menarikmu dalam bahaya.
Hidupmu tidak mudah setelah ini Kha, batin Tomi.